Hati itu milik Tuhan, manusia tidak bisa kontrol sepenuhnya rasa yang muncul di hati. Benci, cinta, sayang, kesal, atau jengkel, terhadap sesuatu, bisa tiba-tiba hadir tanpa pernah diundang. Manusia hanya menjadi tempat lewatnya semua perasaan yang ada. Kuasa yang diberikan Tuhan kepada manusia terhadap rasa hanya sebagai pemanis hidup, bukan pengendali jiwa.
Beberapa orang yang telah kami tanya, menyatakan bahwa memiliki rasa yang tidak pernah tercapai hanya melahirkan luka di hati. Harapan kepada manusia akan berakhir kecewa, sementara berharap kepada Tuhan menghadirkan kebahagiaan. Begitu kiranya sikap yang harus dimiliki setiap insan.
Hadirnya harapan itu karena ada suatu kesamaan rasa di hati. Ada perilaku, ucapan atau rupa yang terkoneksi dengan rasa. Karena itulah lahir sebuah harapan untuk memiliki. Buah dari harapan itu biasanya disebut cinta. Padahal konsep cinta itu tidak harus memiliki, sehingga tidak boleh kecewa ketika tidak sesuai dengan harapan hati.
Cinta itu lima huruf yang tidak pernah membuat urusan selesai. Hilang satu perkara, datang perkara berikutnya. Bertubi-tubi silih berganti hari berlalu, problematika yang ditimbulkan cinta selalu bermacam ragam. Begitu kata juru dakwah era dahulu.
Sehingga muncul sebuah argumen, bahwa, kalau engkau cinta kepada sesuatu, cintailah secukupnya. Sebaliknya, jika engkau benci terhadap sesuatu, bencilah seperlunya. Jangan terlalu cinta, nantinya akan berakhir benci. Tetapi jangan pula terlalu benci, sebab tidak akan pernah bahagia manusia bila saling membenci.
Seorang guru pun begitu, menghadirkan cintanya kepada murid. Cinta dalam wujud perhatian ketika menafkahi ilmu dan hikmahnya. Cinta dalam wujud doa disetiap malamnya. Cinta dalam wujud pikiran, baik saat berdiri, duduk atau berbaring. Tetapi apakah murid juga demikian?
Entahlah. Kebanyakan mereka ketika telah menjadi "manusia" yang sebenar-benarnya manusia, akan mulai pergi menjauh menemui pelabuhan yang baru. Bagi seorang guru, kepergian itu hanyalah menunggu waktu. Saat masa itu tiba, para guru tidak akan pernah kaget atau bimbang, ia akan dengan lapang dada melepas kepergian muridnya untuk kehidupannya.
Hingga sekarang, guru itu hanya mengenang kisah indah kebersamaan yang selalu ditorehkan dengan tinta kebahagiaan. Masa itu tidak akan pernah bisa diulang, atau diganti dengan hari kemudian. Masa itu melekat abadi dalam ingatan kepala, saat duduk bersama menabuh alunan suara. Masa itu melekat selamanya di dalam dada, saat duduk bersama menikmati secangkir kopi dan cerita jenaka. Masa itu tidak akan pernah hilang, walau jasad dan ruh saling berpisah.Â
Semoga cinta seorang guru tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan. Memori indah, akan diberikan balasan yang hakiki, yakni surga dan semua keinginan si empunya.
Wahai murid, sampai jumpa kita di surga, tempat yang tidak akan pernah berpisah lagi selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H