Niat dan Rasionalitas: Wujud Manusia Profesional
Anak muda itu punya semangat, bahkan semangatnya sangat tinggi. Dengan semangat, bisa mengalahkan segala macam kemungkinan buruk, seperti ketakutan, kehancuran dan kealpaan hidup.
Tetapi semangat itu justru bisa menjadi boomerang kehidupan. Contohnya, dalam menegakkan kebaikan dan mencegah kebatilan. Dengan semangat yang tinggi, terus menerus ingin berbuat baik, seperti sholat sepanjang waktu. Saking semangatnya, tidak memandang lagi sudah masuk waktu atau belum. Bahkan, sholat dzuhur dikerjakan berkali-kali dengan dalih semangat.
Hal demikian tidak akan terjadi jika semangat disertai ilmu. Maka, pentingnya mengarahkan semangat untuk kebaikan dengan ilmu. Ingin menegakkan kebenaran, tidak cukup dengan semangat, tetapi juga ilmu yang mumpuni. Membela kebenaran, bukan hanya dengan semangat yang membara, tapi harus disertai ilmu yang kompeten. Tidak mungkin kan, seseorang membela Alquran, kalau dia sendiri tidak bisa baca Alquran? Justru membela Alquran, dimulai dari mempelajari cara membaca Alquran.
Tetapi punya ilmu saja tidak cukup, kalau tidak ada pengamalan. Seorang muslim harus seimbang, antara ilmu dan amalnya. Tidak beramal tanpa ilmu, serta berilmu dahulu sebelum beramal. Itu sebuah keseharusan.
Kejahatan itu bukan hanya banyaknya orang jahat, tetapi juga diamnya orang baik. Orang yang berilmu tapi diam, justru menjadi awal kehancuran. Bahkan, orang berilmu yang tidak mengamalkannya, bagaikan manusia tetapi tidur sepanjang hayat. Ada, tetapi dianggap tiada. Hidup, tapi tidak berguna.
Beramal itu wujud daripada iman. Beramal itu refleksi kebaikan diri. Seseorang dinilai baik oleh manusia karena perbuatannya, ucapannya, dan tabiatnya. Soal hati adalah rahasia Ilahi, tetapi manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bukti.
Tetapi tidak semua amal membuahkan kebaikan. Karena amal kembali kepada niat, harus ikhlas dan bersih dari pengharapan. Berharap pujian, berharap balasan, berharap dunia dan sebagainya. Lakukan, lupakan. Selesai urusan. Jangan menambah amal itu dengan bumbu-bumbu manis, yang sebetulnya adalah racun bagi diri.
Keikhlasan itu menjadi kunci, tetapi bukan hal yang final. Harus ada keyakinan dalam hati, bahwa apa yang telah dilakukan benar-benar dipersembahkan sebagai kebaikan diri, kebaikan umat, dan kebaikan bersama.
Ikhlas hanya sekadar kalimat tanpa arti, jika tiada keyakinan dalam diri. Ikhlas adalah buah manis, jika disertai haqqul yakin.
Semua hal diatas, adalah wujud manusia profesional. Seluruhnya dikemas dalam bingkai niat dan rasionalitas yang baik. Jangan menyebut diri sebagai manusia, jika keseluruhan poin diatas tidak disertai dalam bertindak dan berbuat. Semua ada perhitungannya, dan setiap perhitungan ada tindakan dan balasannya.