Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Guru Indonesia Sulit Berkreasi?

21 September 2021   07:40 Diperbarui: 21 September 2021   07:42 4097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kreativitas guru sangat menentukan dalam keberlangsungan proses pembelajaran. Diantara faktor keberhasilan belajar di kelas salah satunya adalah kreasi guru. Terlebih di masa pandemi, guru dituntut untuk selalu memberikan pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik.

Dewasa sekarang, kreativitas dimaksudkan sebagai variasi mengajar, baik dalam lingkup materi, strategi hingga evaluasi. Belajar di masa transisi butuh banyak variasi. Apalagi dengan materi yang sulit, tentu perlu media yang unik untuk menyederhanakan pemahamannya.

Namun, kenyataan di lapangan, guru di Indonesia seringkali memberikan pembelajaran secara monoton. Banyak dari guru (bahkan hampir semua) menggunakan gaya mengajar di era lama, yakni dengan metode ceramah satu arah. Padahal, siswa hanya mampu fokus di 20 menit awal pembelajaran. Selebihnya dipengaruhi lingkungan kelas.

Oleh karenanya diperlukan stimulus yang tepat dalam proses pembelajaran, baik offline maupun online. Pernyataan yang beredar di negara ini adalah guru banyak yang tidak profesional dan berkualitas saat menyampaikan pembelajaran. Gaya dan cara mengajar yang lama yang dinilai sudah kadaluarsa, masih diterapkan di satuan pendidikan.

Melalui proses pemikiran dan pengamatan di lapangan, setidaknya penulis merangkum beberapa alasan guru di Indonesia sulit melakukan kreativitas dalam pembelajarannya, antara lain:

Pertama, kesejahteraan guru rendah. Hal ini tentu mempengaruhi kinerja dari seorang guru. Tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan guru tidak fokus dalam mengajar dan mendidik. Beberapa guru bahkan harus berjualan, menjadi buruh harian hingga ojek online setelah pulang mengajar. Laku lampah guru tersebut tidak bisa disalahkan, karena hajat hidup memang harus dipenuhi. Terlebih jika tanggungan hidup yang besar, tentu guru cenderung mencari penghidupan di luar sekolah.

Kedua, kualifikasi guru tidak linear. Beberapa kasus di lapangan, penulis temui guru yang bukan berkualifikasi pendidikan guru. Jika dilihat keluasaan manfaat dan situasi darurat guru, maka hal ini dapat dimaklumi. Selama guru itu mampu memberikan pembelajaran yang menarik dan terstruktur, tentu tidak mengapa. Namun, guru diluar pendidikan guru hendaknya memahami ilmu-ilmu keguruan, terutama penguasaan kelas dan desain pembelajaran.

Ketiga, letak geografis Indonesia. Negara ini sangat luas membentang dari ujung ke ujung. Perbedaan satu wilayah dengan wilayah lain sangat mencolok. Hingga perbedaan itu mempengaruhi goals pendidikan nasional. Guru di perkotaan dengan mudah berinovasi teknologi dibanding guru yang berada di daerah 3T, dengan segala keterbatasannya. Bisa menjalankan proses pembelajaran saja sudah bersyukur.

Keempat, ruang lingkup kerja guru. Satuan pendidikan sebagai tempat guru mengabdikan diri punya pengaruh yang sangat besar dalam proses pembelajaran. Sekolah sebagai ujung tombak pendidikan menjadi refleksi dari sistem yang telah dibentuk oleh para ahli. Di lapangan, ilmu-ilmu yang didapatkan seorang guru di perguruan tinggi sulit bahkan mendekati mustahil diterapkan di sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak sebab, mulai dari efisiensi kebijakan hingga penyederhanaan teori pendidikan. 

Kelima, penolakan lingkungan terhadap inovasi guru. Beberapa guru yang penulis temui mencoba bersikap idealis dengan menerapkan prinsip pendidikan mereka di sekolah. Namun, penolakan prinsip itu kerap terjadi. Sebagai contoh, ketika guru ingin menaikkan kemampuan belajar siswa dengan sentuhan teknologi, orang tua siswa yang menolak dengan alasan-alasan tertentu. Saat pandemi, guru mencoba memberikan pembelajaran dengan classroom, orang tua yang "gaptek" mengatakan belajarnya sulit. Padahal guru senantiasa diminta untuk melek teknologi, sementara daya dukung dari orang tua begitu rendah.

Sebenarnya masih banyak alasan guru sulit berkreasi. Benar kata para aktivis, ada niat pasti ada jalan. Tidak ada niat tentu banyak alasan. Tulisan ini hanya memaparkan alasan guru yang sulit berkreasi, bukan guru yang tidak berniat memberikan pembelajaran terbaik. Semoga seluruh stakeholder pendidikan mampu bekerja sama menghasilkan insan terbaik meneruskan perjuangan pahlawan terdahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun