Setitik bintang yang kulihat kini telah hilang, jatuh entah kemana. Yang jelas tergambar hanya kesendirian. Dalam gelap malam ini begitu banyak kepedihan menemaniku. Duduk disampingku dan setia mendampingiku selama beberapa bulan. Membuatku cukup lelah, cukup jenuh, dan tak memiliki hidup.
Terduduk sendiri ku di sebuah kursi tua yang terletak di bawah cendela sebuah ruang. Sekelilingku begitu gelap, hanya sebuah lilin kecil di meja tua dekat kursi yang memberi cahaya dan menghangatkanku. Remang-remang ku kenali bentuk tempat tidur yang biasa menjadi tempat melepas lelah ketika menjalani hidupku. Disampingnya ada sebuah lemari dan cermin tempatku biasa berdiri memandangi kepedihan di dalam diriku
Suara gemuruh menyadarkanku pada sebuah dunia yang saat ini sedang kujalani. Dunia yang hanya ada aku dan semua hal yang memeras air mataku. Dunia yang selalu menuntut aku untuk berlari. Dunia yang tidak pernah membiarkan aku tertawa.
Perlahan aku merasakan air mulai turun dan memandikan malam ini dengan tangis. Memberi dingin yang sangat menusuk. Sakit namun tak sesakit luka yang tertinggal oleh sebuah kenangan bersamamu. Jalas tergambar bagaimana dirimu meninggalkanku. Langkahmu yang terus menjauh ditemani langkah seorang wanita. Aku tak mampu melihat cintamu lagi kala itu. Cinta yang dulu menemaniku dan selalu membuatku merasa menjadi seorang wanita yang istimewa.Tak mampu lagi ku lihat kesetiaan dimatamu saat dirimu menghianati semuanya. Semua kenangan yang terukir tidak sedikitpun nampak diraut wajahmu.
Apa semua kisah ini harus benar – benar berakhir. Telah hilangkah semua ingatanmu ketika kita bertemu dan mengawali cinta. Pertanyaan yang tak pernah mampu untuk ku jawab. Kehancuran yang akan selalu ada di setiap hembusan nafasku. Hanya air mata ini yang mampu tenangkanku dan mengantarku ke dalam istirahat malam.
Seandainya kau ada di sini denganku mungkin ku tak sendiri
Nada dering yang telah lama tak ku dengar kini membangunkanku. Ku baca nama yang terlihat di layar, Evan.
“hallo”
“pagi Gwen. Gw ganggu g?”
“….”
“koq lu diem sih? G seneng gw telfon?”
“…”
“hallo, Gwen.”
“iya, Evan??”
“lu baru bangun? Koq lemes gitu?”
“iya. Semalem banyak tugas. Jadi lembur. Makanya sekarang baru bangun. Kenapa?”
“tar siang ada waktu g? temeni gw makan ya.”
“tapi,,”
“kenapa?kamu sibuk?”
“g kenapa - kenapa. Jam berapa?”
“gw jemput jam 10 ya.”
“ya.”
“see u.”
Mimpikah aku? Suara yang tak pernah aku dengar selama 1 tahun ini tiba – tiba kembali terdengar. Bahkan membayangkannya pun tidak. Siang ini jam 10 aku akan bertemu kembali dengan orang yang sangat ku cinta, masih ingatkah dia dengan cintaku? Tapi, bagaimana dengan gadis yang bersamanya kala itu? Entahlah. Saat ini semua pertanyaan itu telah tersapu dengan angan-angan pertemuan siang ini. Untuk pertama kalinya aku benar-benar tidak ingin peduli dengan perasaan orang lain. Tak peduli jika akan nada wanita lain yang terluka dengan perbuatanku.
Sejak telfon itu, aku hanya sibuk berdiri di depan lemari memilih pakaian mana yang dapat kukenakan. Ku coba mengingat kembali warna kesukaan Evan, tiba-tiba ku lihat sebuah pakaian yang sudah lama tak ku kenakan. Pakaian yang penuh kenangan bersama Evan, pakaian yang membuatnya selalu berkata bahwa aku cantik, pakaian pemberian Evan ketika ulang tahunku yang ke-17. Haruskah ku kenakan pakaian itu? Ku pandangi pakaian itu, masih secantik dulu ketika aku memakainya untuk pertama kali. Warnanya pun belum pudar sedikitpun. Warna hijau yang sangat lembut, dengan bordir di beberapa tempat. Kain yang begitu lembut jatuh sampai lututku. Bagian atas pakaian ini berbentuk kotak mengelilingi leherku dan lengan balonnya menutupi sebagian kecil lengan atasku. Haruskah ku kenakan pakaian ini?
Seandainya kau ada di sini denganku
“ hallo”
“hai Gwen, lagi apa?”
“terima telfon kamu”
“hahaha, ya udah. 2 jam lagi aku jemput ya.”
“iya.”
“dandan yang cantik ya. Pucca.”
“….” Pucca? bukankah itu adalah nama yang Evan pakai untuk memanggilku ketika kami masih pacaran dulu. Tapi kenapa saat ini dia menggunakanya lagi? Apa maksud dari semua ini?
“koq diem? Kamu marah? G suka ya? maaf…”
“oh, ga. Ga pa pa. aku ga marah.”
“oya? Koq ga jawab panggilanku? Atau kamu lupa?”
“aku inget, Garu.”
“sampai nanti.”
Pucca? Garu? 2 jam lagi? Ya Tuhan, ada apa sebenarnya? Jantungku menari-nari seakan ingin lepas dari ikatannya. Apakah aku merasa bahagia? Ku lihat jam yang menggantung di dinding. Aku sadar waktu terus berjalan, bergegas ku berjalan keluar untuk ke kamar mandi. Kemudian ku putuskan mengenakan pakaian yang telah ku pilih. Ku bersihkan wajahku, ku taburkan bedak setelah mengoleskan foundation. Ku sapukan beberapa warna untuk menyempurnakan riasanku. Masih ada 30 menit. Ku rapikan tasku dan mulai mengenakan sepatu.
Tok tok tok
“Gwen.”
“ya, ma.”
Wajah mama terlihat sedikit mengintip kamarku dan berbisik
“ada Evan.”
Senyumku mengembang melihat tingkah mama.
“iya ma. Makasih.”
Pintu kamar mulai terrtup kembali dan aku bergegas untuk keluar.
“hai.”
Ada rasa aneh menyelimutiku, lebih dari setahun yang lalu ketika aku dan Evan masih menjadi kekasih, dia selalu duduk di kursi itu setiap datang menjemputku. Dan setelah lama aku tak melihatnya, kini dia kembali terlihat duduk di kursi yang biasa dia pakai untuk duduk. Kemeja berwarna hijau pastel lengkap dengan jam tangan pemberianku ketika ulang tahunnya yang ke-17. Aku tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Dia begitu tampan. Bahkan lebih tampan dari Evan yang setiap hari singgah dalam mimpiku. Saat ini dia benar-benar ada di hadapanku.
“hai.”
“kamu cantik.”
“makasih.”
“berangkat sekarang?”
“…”
“kenapa?”
“g. tumben adja. Biasanya kamu telat kalo janjian gini. Tapi sekarang kamu datang lebih awal.”
“ya, kan nie special.”
Dia tersenyum dan menatapku. Tak banyak rasa yang aku mengerti. Hanya satu yang jelas tergambar. Aku merasa terlepas dari segala hal. Aku merasa begitu ringan. Aku merasa kakiku tak menyentuh tanah lagi. Aku, merasa terbang begitu tinggi. Hingga sebuah sapaan menyadarkanku dan mengembalikan aku ke bumi.
“makasih tante.”
“iya, apa kabar? Lama g keliatan?”
“iya tan. Maaf baru sempat mampir. Kemarin sibuk di kampus banyak kegiatan. Kan saya juga masih adaptasi di kampus.”
“iya, mahasiswa baru kan.”
“ini tan. Ada makanan kecil kesukaan tante.”
“apa ini?”
“kue bandung coklat”
“wach, makasih ya Evan.”
“iya tante.”
“ayo diminum dulu tehnya.”
Mama dan Evan begitu akrab. Evan tahu betul cara menyenangkan hati mama. Dulu Evan juga membawa kue bandung ketika datang kerumah untuk pertama kali. Menemui ayahku dan sedikit berbincang dengan beliau. Kedatanganya malam minggu itu cukup aneh. Dia tidak mengajakku keluar atau mengobrol diluar sebagai sepasang kekasih yang baru jadian. Dia justru membawa setumpuk buku matematika dan membahas beberapa soal yang ada di dalamnya. Evan.
“Gwen”
“ya ma.”
“ngapain berdiri di situ? Sini.”
Ku hampiri mama yang tengah berbicara dengan Evan. Pemandangan yang tak dapat kubayangkan ketika Evan mengakhiri semuanya. Pemandangan yang sangat kurindukan, kini dapat ku nikmati lagi. Senyum mama ketika berbincang dengan Evan. Mama begitu sayang pada Evan, tak pernah kulihat mama sedekat ini dengan teman priaku sebelumnya. Mama telah menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Evan. Ya, aku tidak terlalu heran. Selaiwajahnya yang bersih dan tampan, pakaiannya yang selalu rapi, cara bicaranyapun lembut dan penuh perhatian. Membuat semua orang nyaman berlama – lama berada disampingnya untuk berbincang – bincang. Nyaman, mungkin hal ini yang membuat banyak wanita mengelilinginya dan menjauhkan dia dari hidupku.
“iya tante.”
Suara Evan menyadarkanku dari ikatan mesin waktu.
“saya mau minta izin buat ngajak Gwen keluar. Tante keberatan?”
“oh, kalian mau keluar? Kemana?”
“saya mau ngajak Gwen makan dan jalan – jalan. Setelah itu sorenya saya mau ngajak Gwen ke pembukaan kafe teman kami waktu SMA.”
“teman kita waktu SMA? Siapa?”
“masih inget Inez?”
“ya. dia udah lama punya keinginan itu. Kesampaian juga. Dia pasti seneng.”
“ya sudah. Pulang jam berapa Evan?”
“sebelum jam 6 saya sudah antar Gwen pulang tante. Mungkin jam tujuhan sudah sampai. Apa kemalaman tan?”
“kalo dulu tante akan bilang iya. Tapi karena sekarang kalian sudah besar, ya sudah lah. Boleh kamu anter Gwen pulang jam segitu. Tapi ingat. Jangan terlalu malam. Dan hati – hati bawa motornya. Jangan ngebut.”
“iya tante. Makasih tan.”
“pergi dulu ya ma.”
“iya, hati – hati.”
“permisi tante.”
“ya”
Kami segera keluar. Di depan rumah terparkir sepeda motor yang biasa Evan gunakan ketika mengantarku pulang dari sekolah ataupun menjemputku.
“kenapa? Kamu masih mau kan naik motorku?”
“iya. Kenapa?”
“aku pikir udah g mau.”
Aku hanya tersenyum melihat wajahnya. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti dengan apa yang dia pikirkan. Mengapa dia tiba – tiba datang kembali dihidupku. Mengapa dia melakukan semua ini. Aku benar – benar tidak mengerti. Namun aku tak memungkiri, bahwa aku sungguh merasa bahagia. Hal ini merupakan hal yang telah lama kunanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H