Menjalani kehidupan sebagai seorang manusia pasti membuat kita sadar bahwa kehidupan sebagai seorang manusia begitu beragam dan dinamis. Manusia akan berlari dan mencari pelampiasan atas semua yang mereka hadapi, prilaku ini wajar mengingat sifat manusia yang dapat dikatakan lemah dan mudah dipengaruhi.Â
Manusia juga memerlukan ruang untuk dirinya, dimana di ruang tersebut mereka bisa menemukan dan menemui hal-hal baru yang bisa saja membuat mereka berubah, baik berubah menuju lebih baik maupun sebaliknya. Ruang-ruang dimana manusia bisa saling berkumpul dan berinteraksi disebut ruang publik.Â
Ruang publik adalah tempat dimana masyarakat atau komunitas dapat berkumpul untuk meraih tujuan yang sama, berinteraksi, sharing pengalaman dan lain sebagainya, tidak hanya dalam dunia nyata ruang publik juga ada di dunia maya.
Jika kita membahas mengenai ruang publik di dunia maya, maka kita akan menghadapi beragam macam ruang virtual yang ada disana. Di ruang-ruang tersebut berbagai macam jenis manusia dapat berkumpul, melempar pertanyaan, memberikan pernyataan dan jawaban, mengekspresikan diri, menunjukkan ekistensi sampai lupa jati diri. Dari kalangan menengah bawah, menengah atas, remaja, sampai orang tua berkumpul, berinteraksi saling bergesekan disana.
Menurut Peg Streep (dalam Jatmika, 2013), menjelaskan bahwa salah satu alasan remaja menggunakan media sosial adalah untuk menumbuhkkan citra mereka, mereka menjadikan ruang publik tersebut sebagai ajang pembentukan citra positif sehingga memberikan kesan bagus untuk orang yang melihatnya.Â
Sikap inilah yang menyebabkan bagaimana ruang publik media maya banyak berisi remaja-remaja yang sangat eksis, dalam berbagai macam platform media maya kita akan menemukan berbagai jenis penarikan atensi remaja. Mulai dari curhat di media sosial, narisisme, mengekspos foto dengan boombastis, bertengkar di media sosial hingga ekspos hal-hal privasi lainnya.Â
Dilansir dari KumparanWoman, psikolog Arina Megumi M.Psi., menyatakan membeberkan masalah pribadi di media sosial sangat berbahaya, karena kehidupan pribadi kita akan diketahui oleh orang lain, hal itu sangat berbahaya karena menjadi rekam jejak digital, ini akan membuat citra kita akan turun apalagi sampai rekam jejak digital ini menyulitkan kita di masa depan, baik dalam mencari pekerjaan, relasi dan lainnya.
Ruang publik virtual ini bukan hanya berisi hal itu, ada satu hal lagi yang tak kalah panas dari sekedar curhat di media sosial, hal tersebut adalah hate speech. Hate speech atau ujaran kebencian merupakan pernyataan mengani ketidaksukaan seseorang pada suatu objek, dengan melontarkan kata-kata kasar, tajam dan kadanf memprovokasi masyarakt lainnya untuk ikut membenci.Â
Terdapat banyak kasus ujaran kebencian yang terjadi di Indonesia, sasaran ujaran kebencian ini tidak hanya tehadap seseorang, namun juga terhadap partai politik, daerah, suku, agam, budaya sampai kehidupan entertaintment. Pola ujaran kebencian pun beragam, berupa komentar mengejek, mencela, menghina, hingga ancaman kekerasan.
Sebenarnya yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa pertambahan prilaku tersebut semakin banyak? Bukankah sudah ada peraturan yang mengikat?
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah mengambil tindakan tegas untuk semua jenis prilaku tidak benar di media sosial, UU ITE akhir-akhir ini sangat gencar dilakukan, sudah didapatkan banyak pelaku-pelaku kejahatan di media sosial serta mereka telah mendapatkan sanksi yang sesuai, baik denda sampai penjara.Â