Mohon tunggu...
Wahyu Pradana
Wahyu Pradana Mohon Tunggu... -

seorang pengagum kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Guru Sejati? Sebuah Refleksi pada Hari Guru

26 November 2014   01:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, sebuah petikan lagu wajib yang kerap dinyanyikanpada peringatan hari guru nasional itu serasa menyentuh dalam sanubari kita sebagai masyarakat pendidik yang juga sekaligus siswa pembelajar. Ingatanku pada guru yang telah mendidik kita memunculkan sebuah permenungan “siapakah sang guru sejati itu?”

Markus Marlon dalam sebuah tulisannya bercerita bahwa ada seorang Guru Buddhis yang terkenal dari India diundang datang ke Tibet untuk"membabarkan" Dharma. Guru ini membawa serta seorang laki-laki yang tidak hanya bawel dan tidak bertanggung jawab, tetapi juga sebagai tukang masak yang "judes". Setelah mengamati selama beberapa waktu, orang-orang Tibet mendekati sang guru dan berkata dengan penuh hormat, "Mengapa guru begitu tenggang rasa dengan tukang masak yang tidak berguna itu? Ia kelihatannya cuma menimbulkan masalah, alih-alih membantu guru." Sang Guru tersenyum dan menjawab, "Ah, kalian tidak mengerti. Ia bukan pelayanku, ia adalah guruku." Orang-orang Tibet kaget dan memohon penjelasan, "Kenapa bisa begitu?" Sang guru menjelaskan, "Kalian lihat, perangainya yang rewel dan tidak menyenangkan itu telah mengajariku untuk bersikap sabar dan bertenggang rasa setiap hari. Karena itulah aku menghargainya dan menyebutnya sebagai guruku."

Ketika kita membaca cerita di atas, tentu kita membayangkan bahwa suatu sikap yang tidak gampang, menganggap orang lain yang dianggap rewel, rusuh, ribet, secara tidak langsung diangkat menjadi guru oleh Sang Buddhis. Memang benar bahwa guru itu diidentikan dengan seseorang yang mengajar di depan kelas, yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada para peserta didiknya. Bahkan banyak cerita yang sering kita dengar bahwa seorang anak yang nakal di rumah, hanya takut kepada gurunya di sekolah. Ini tentu fenomena yang menarik di mana guru ditempatkan oleh sang anak seagai sosok yang diugemi, sebagai panutan yang tutur kata dan tindakannya harus diikuti. Dalam masyarakat Jawa juga kita kenal istilah guru iku digugu lan ditiru. Tentu ini sebuah beban yang tidak mudah, di mana guru harus memposisikan dirinya seolah-olah bagai malaikat di depan muridnya, yang segala tindakannya akan ditiru oleh anak didiknya. Dalam konteks kehidupan jaman sekarang, pameo tersebut bisa saja masih relevan tapi bisa juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Mengapa demikian? Di tengah arus modernitas dan keterbukaan informasi yang sedemikian vulgar, anak bisa memperoleh informasi dan mencontoh apapun dari siapapun, termasuk dari internet yang justru sekarang ini jauh melebihi kehebatan para guru kita. Kalau jaman dulu guru ditempatkan sebagai seorang figur yang tahu segalanya, kini oleh masyarakat mulai digeser kedudukannya oleh internet. Sedikit sedikit anak mulai manja dengan mbah google. Sang gurupun tak bisa mengelak dan menolak, bahkan pada beberapa hal yang mestinya peran itu diambil oleh guru, malah sang guru itu pula yang meminta anak mencari di internet. Memang tidak salah, asal jangan sampai mereduksi peran guru sebagai pendidik sekaligus pengajar. Jangan sampai anak-anak kita menganggap mbah google sebagai mbah guru dan kemudian menurunkan kepercayaan pada guru riil yang mereka hadapi di dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang guru biasanya identik dengan penampilan yangrapi, berbicara santun dan berbudi halus. Memang benar bahwa bimbingan sang guru secara formal tersebut sangat penting. Namun apakah kita juga sadar bahwa dalam hidup ini kita memilki "guru-guru" yang bisa mengembangkan kepribadian kita. Semesta alam menyimpanpelbagai inspirasi untuk dijadikan "guru". Dalam Ramayana, wejangan seorang Guru kepada muridnya tercetus dalam "Hastabrata" yakni delapan pedoman untuk meneladan kepada alam semesta. Seorang murid diharapkan meneladan pada matahari yang memanasi bumi dengan cahayanya secara sabar dan tanpa bosan, sehingga air menguap dan menyirami bumi serta memberi rejeki yang melimpah ruah. Air, angin, tanah, api adalah guru-guru yang diwejangkan dalam Hastabrata. Kalau pada masa-masa kecil kita dulu mungkin masih mengalami bagaimana ketika asebelum tidur, orangtua menceritakan sebuah dongeng pada anaknya.ini dimaksudkan supaya sang anak mampu memetik buah-buah pelajaran dari dongeng tersebut, bahkan dari seekor hewan yang ternyata juga dapat kita ambil pelajarannya.

Guru yang “baik”, menurut Grosswith adalah guru yang  selalu belajar dengan mengajar (lewat mengajar ia mendidik) para muridnya, dan dengan mengajar sang guru memiliki kesempatan untuk terus belajar dari para muridnya. Guru yang baik adalah  guru yang dicintai murid-muridnya bukan karena kelonggarannya ‘membiarkan’ ketidakbaikan membudaya, tapi karena kasih sayang yang bersandar pada nilai-nilai kebaikan yang selalu mengingatkan. Apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad (570 - 632) dan Sidharta Buddha Gautama (563 - 483) serta Yesus Kristus (± 6 SM - 30 SM), supaya umat manusia berguru dan mencintai kepada yang lemah, juga menjadi inspirasi penting yang harus dimiliki kita semua.

Semoga dengan momentum hari Guru ini, kita bersama sebagai masyarakat pendidik, masyarakat terdidik dan masyarakat yang selalu siap untuk dididik, mampu menghadirkan diri sebagai cermin yang mengedepankan nilai-nilai humanisme, pendekatan personal pada peserta didik dan selalu mau berkembang dengan belajar pada alam, sesama, dan belajar pada dunia yang memberi banyak guru yang bijak. Semoga Pemerintah yang baru ini juga mampu memberi teladan pada kita semua dan mampu menelurkan kebijakan-kebijakan yang pro pendidikan dan bersifat edukatif hingga mengahantar kita menjadi Sang Guru Sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun