Diri manusia terdiri dari dua bagian besar. Sisi raga yang secara nyata dan secara fisik terlihat secara visual. Yang kedua adalah sisi jiwa, di mana sisi ini adalah bagian yang menopang sebagian besar ekspresi raga. Kata orang, kedua sisi ini harus berjalan secara seimbang, untuk menghasilkan keseimbangan dalam hidup manusia.
Apakah jiwa itu? Jiwa adalah diri yang autentik, diri asli tanpa topeng. Diri yang selalu meronta-ronta saat belajar, bekerja, atau melakukan aktififitas apa pun yang tidak selaras dengan apa yang kita inginkan. Jiwa merupakan ruh dalam diri kita yang menjadikan seluruh potensi diri tergerak, termotivasi, dan bahkan bergairah untuk melakukan sesuatu. Jiwa menjadikan diri kita hidup lebih hidup. Tanpa jiwa, seluruh aktifitas terasa hampa, begitu kata Waidi Akbar(2012).
Secara nyata, hal inilah yang terimplementasi dalam menekuni pekerjaan atau profesi tertentu. Bertahun-tahun lamanya (7 tahun tepatnya) menekuni profesi sebagai pengajar. Saya sangat nyaman dengan profesi tersebut pada saat itu. Saya merasa calling dan passion saya memang dengan anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang dan sungguh sebuah kebanggaan saya bisa menjadi bagian dalam keterlibatan untuk mewarnai arah kehidupan mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermakna (Amin).
Namun ternyata ada sesuatu yang pada waktu itu (belum lama juga sih) seakan-akan menarik saya ke dalam “dunia lain” yang di dalam konsep pikiran terbilang akan dapat membawa diri ini kepada apa yang disebut orang sebagai “kesuksesan” (dalam arti sempit). Loh emangnya ada ya kesuksesan dalam arti luas? Nanti kita diskusikan..
Sebagaimana manusia normal lainnya, ketika ada tawaran (sekaligus tantangan) untuk bekerja di luar sektor pendidikan yang potensinya lebih menjanjikan (dari sisi finansial) ternyata raga itu tak kuasa untuk tidak meng-iya-kan-nya. Maka terjunlah ia ke dalam dunia non pendidikan yang selama ini tidak dibayangkan (atau hanya terbayang tapi tidak terwujud). Setelah sekian bulan masuk ke dalam “dunia lain” inilah ternyata ada semacam pergulatan batin dalam jiwa, sekalipun raga tidak menolak suatu apapun. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam diri ini. Sapaan salam, senyum, dan hangat dari anak-anak kini sudah tak dijumpai lagi. Aktivitas-aktivitas menulis, mempersiapkan materi, membuat silabus dan RPP, mengajak diskusi, mengajak sharing, mendampingi, mengarahkan, membuat soal, mengkoreksi, memberi nilai, membagi hasil ulangan, upacara bendera, kini sudah menjadi aktivitas yang tak mungkin ditemukan lagi. Ini rupanya sudah menyangkut jiwa. Aku menekuni dunia pendidikan sejak kecil, sebab kedua orang tua saya berprofesi sebagai guru. Inikah yang kemudian mewaris pada diri jiwa ini? Dilahirkan dan dibesarkan dari darah guru, mengalir jiwa seorang guru pulalah dalam diri saya. Tetapi lagi-lagi, ketika berada di persimpangan, ada sebuah pilihan. Dan setiap pilihan katanya membawa konsekwensinya masing-masing. Jiwa yang tertanam dan boleh dibilang mendarah daging ini sekarang harus mulai diganti oleh darah dan daging yang lain. Sesuatu yang tidak mudah,sesuatu yang perlu perjuangan, mengalahkan rasa dan gejolak jiwa yang sudah terinternalisasi menjadi satu dengan raga.
Lalu apa dampaknya? Pertama, tentu terhadap pekerjaan yang dihadapi sekarang. Masih tertanam dalam memori bagaimana indahnya mengajar, dan tentu ini menjadikan pekerjaan saat ini menjadi tidak fokus. Kedua, muncul pertanyaan besar, sebenarnya passion dan panggilan jiwa saya berada di mana? Mungkinkah seseorang bekerja pada dunia yang bukan menjadi passionnya? Cita=cita waktu kecil memang menjadi seorang guru, tetapi tawaran-tawaran dari dunia lain yang membuat jiwa itu menjadi setengah goyah. Sebenarnya Aku sudah menemukan diri saya ketika berprofesi sebagai pengajar, tapi mungkin pikiran-pikiran pragmatislah yang membawa raga itu ke jalan yang lain. So, what should I do? Bisakah kembali menemukan diriku di tempat yang lain? Apakah “kesuksesan” bisa diperoleh di rel yang bukan menjadi “track” jiwanya? Haruskah linier antara pekerjaan dan passion? Di tengah pergulatan, perjudoan, perkaratean, pertaek-wondoan, atau apapun namanya, yang jelas Aku sudah dan harus melalui track itu. Kini tinggal bagaimana menemukan jiwa yang hilang itu, dan kalau tidak ketemu, adakah solusi yang bisa memberi jawab? Salam mengajar !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI