Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Lebih pagi untuk mengucek mata, lebih pagi untuk ibadah, lebih pagi untuk membuka jendela, lebih pagi untuk menyapu rumah dan lebih pagi untuk minum segelas air putih. Hal ini bahkan nggak terbesit dikepalaku semalam, karena memang nggak aku rencanakan sebelumnya. Percayalah aku adalah orang paling buruk dengan segala rencananya.Â
Akhir-akhir ini aku benar tersentuh dengan segala perilaku adik laki-lakiku. Dia masih 9 tahun baru saja bulan ini, tapi usaha dan niatnya untuk sholat tepat waktu bikin aku kicep karena masih suka nanti-nanti untuk berangkat ambil wudhu dan sholat. Ya meskipun memang secara psikologi usia 9 tahun sudah mengenal Tuhan dalam dunianya yang nyata tapi, aku yakin anak-anak tetaplah anak-anak yang melakukan semua kegiatannya lebih karena reward dan punishment-proses belajar.
Kemudian setelah menelisik lebih jauh-hasil wawancara dengan ibu-aku tau kalau dibalik rajinnya adik manisku ini, karena ingin segera dikhitan sekaligus simulasi nanti setelah lulus sekolah dasar akan belajar di pesantren. Aku trenyuh, serius! Dulu ketika umur 9 tahun aku nggak pernah terpikir untuk belajar sholat awal waktu. Kakak mana yang nggak bahagia adiknya bisa tumbuh dengan hati yang begitu tulus nan tabah.Â
Padahal sejak aku membersamai pertumbuhannya dari masuk taman pendidikan qur'an Ibuk sama sekali nggak pernah memaksa untuk sholat apalagi diawal waktu. Hanya selentingan kecil kayak, "Ayo nang ganteng sholat, katanya mau disunat? mau masuk pesantren?" dari situ biasanya adikku akan nyengir dan kabur untuk ambil wudhu.
Pola asuh masing-masing anak berbeda ya karena jelas orang tuanya beda juga sudah pasti visi missinya pun beda. Aku jadi ingat sedari kecil aku nggak pernah dipaksa untuk melakukan suatu hal sampai bab sholat, dan bahkan aku sempat setahun penuh mogok tidak mau sekolah TPQ. Tapi ya ibuk nggak pernah ngomel apalagi sampai marah-marah dan menghukum layaknya anak yang bandel tidak mau sekolah.Â
Hanya satu yang wanita cantik itu pegang dalam mendidik anaknya, "Anak itu punya masanya sendiri, ibuk nggak mau anaknya pinter karena terpaksa apalagi kamu udah gede pasti tau mana yang baik dan buruk. Ibuk percaya anak-anak ibuk semuanya pinter dan amanah jadi ibuk nggak mau maksa-maksa kamu. Anak punya alarm alaminya, nanti kalo sudah waktunya pasti mau ngaji lagi, sekolah TPQ lagi dan juga sholat."Â
Dan pagi ini aku percaya, meskipun aku belum menjumpai alarm alamiku seenggaknya hari ini aku bangun pagi karena ingin bukan hasil sugesti kemarin atau semalam sebelum tidur. Bahkan aku adalah orang yang nggak bisa memaksa diriku sendiri untuk melakukan segala hal yang sudah aku rancang sebelumnya. Aku hanya ingin begini terus berjalan pada sebuah ingin yang memang berangkat dari hati.Â
Begitulah ibuk dalam mencentak anak-anaknya, membuat pola paling indah untuk kelak dijahit menjadi baju-kehidupan-yang indah pula. Tentu meskipun polanya sama aku dan saudaraku yang lain punya motif dan warna yang berbeda. Satu lagi petuah ibuk yang aku sungguhan setuju, dimana ibuk nggak pernah memaksa kami untuk memakai baju yang sama. Memaksa mencintai makanan yang sama, memaksa untuk menjalani kehidupan dengan cara yang sama. Ibuk selalu bilang, "Wayang sak kotak kui isine bedo-bedo. Amergo proses gawene yo bedo."
Meskipun beda tapi juga jangan dibedakan, meskipun sama tapi jangan juga disamaratakan. Didik anak dengan porsi dan kebutuhannya masing-masing maka anak akan tumbuh dengan tubuh dan tabah yang begitu hebat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H