Mohon tunggu...
Wahyuni Tri Erna
Wahyuni Tri Erna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasantri di Daar al-Qalaam Semarang

Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang. Karya Buku: Generasi Melek Lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keadilan Gender: Antara Kekerasan Seksual & Perikemanusiaan

4 Agustus 2023   21:39 Diperbarui: 4 Agustus 2023   21:46 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebagian perspektif masyarakat, sesuatu yang dulu nampak tabu kini nampak wajar-wajar saja. Zaman yang kian berkembang pesat semakin mempermudah akses sirkulasi paradigma sosial masyarakat yang tanpa filter. 

Sesuatu yang dahulu sangat dijaga dan dihormati, kini seperti bebas tanpa sekat pembatas. Meski sudah ada norma-norma yang mengikat, mereka seakan kebal dan jusru tetap melakukan hal yang tak beradab. Mengapa? Karena satu. Adat istiadat.

 Tidak dapat kita pungkiri, lingkungan yang demikian dapat memberikan negative effect bagi hidup seseorang. Orang yang dahulu berakhlak mulia dapat terjerumus dalam gelimang dosa. 

Orang yang taat dan patuh pada perintah agama dapat lalai menjauhi larangan Tuhan-Nya. Lantas, apa kabar orang yang sedari dahulu memang sudah berada dalam circle keburukan? Sedari kecil berada dalam lingkungan yang amoral. Tentu tidak dapat dibayaangkan bukan?

Sebuah tata aturan tanpa aksara sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia. Berawal dari ucapan, kemudian menjadi perbuatan. Perbuatan yang dilakukan secara kontinue menjadi kebiasaan. 

Kebiasaan tersebut lama-kelamaan akan menjadi adat yang menurut Koen Cakraningrat merupakan bentuk perwujudan dari kebudayaan yang digambarkan sebagai tata krama atau cara berperilaku. Ia adalah norma atau aturan yang tidak tertulis, tapi bersifat mengikat sehingga apabila ada masyarakat yang melanggarnya, maka akan dikenai sanksi

Sebut saja satu contoh adat budaya yang masih berlaku di masyarakat Indonesia dan mungkin di beberapa belahan di dunia adalah adat patriarki. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul "Pengantar Gender dan Feminisme", patriarki berasal dari kata patriat, berarti struktur yang meletakkan posisi laki-laki sebagai penguasa tunggal, pokok dan segala-galanya. 

Meskipun Indonesia adalah negara hukum tetapi nyatanya payung hukum tersebut belum cukup kuat untuk mengalahkan kekuatan aturan adat. Alasannya pun sederhana, perempuan masih dianggap hanya boleh bergerak dalam ranah domestik. Jadi, tidak ayal apabila adat patriarki masih terus merajalela di tengah arus modernisasi dunia.

Sistem patriarki yang masih mendominasi kebudayaan masyarakat akan memberikan dampak negatif berupa kesenjangan dan ketidakaadian gender. Patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang tinggi dan berkuasa membuat kaum perempuan menjadi kaum inferior atau termarginalkan dalam segala bidang, baik dalam sosial, politik, hukum, pendidikan maupun ranah pernikahan sendiri. Pembatasan-pembatasan perempuan oleh budaya patriarki menyebabkan sulitnya perempuan dalam mengakses sarana dan prasarana masyarakat. 

Selain itu, kebijakan pemerintah yang kerap kali tidak memihak perempuan dalam artian kurang menyesuaikan kebutuhan perempuan membuat kaum perempuan terjebak dalam kebijakan pemerintah yang pada hakikatnya merugikan kaum perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun