Mohon tunggu...
ENDAH WAHYUNI
ENDAH WAHYUNI Mohon Tunggu... -

Editor, writter, sleeper, dreamer

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Anton Bukan Idiot

2 Januari 2014   17:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan usaha yang tidak begitu keras akhirnya aku lolos sebagai pengajar di lembaga bimbingan belajar ini. Ya maklum, hanya bimbel lokal, pemiliknyapun ternyata juga seorang mahasiswa yang sedang belajar bisnis. Namun senang sekali rasanya, akhirnya hidupku tidak hanya sebatas kuliah dan kos-kosan, aku bisa belajar mengajar, memanfaatkan ilmu yang kudapat di kampus. Bosku bernama Given, perempuan etnis peranakan Cina. Meskipun pemeluk Budha, tapi dia sangat menghormatiku sebagai muslim.


Aku mengajar bocah-bocah SD, mencakup semua mata pelajaran, padahal bidang asliku adalah bahasa Indonesia. Ah, diterima saja sudah untung, sebab hampir semua bimbel tidak menerima pengajar dari jurusan bahasa Indonesia. Kebanyakan kalau tidak bahasa Inggris ya hanya bidang ilmu-ilmu eksak. Aneh, padahal pada ujian nasional, nilai yang kerap anjlok justru di bahasa Indonesia. Hanya di Indonesia, masyarakat sering meremehkan bahasa sendiri, dianggap tak penting, dianggap setiap hari sudah ngomong bahasa Indonesia, tak perlu lagi dipelajari.


Nama bimbel ini Brilliant. Tidak akan didapati ruang yang nyaman dan representatif seperti bimbel-bimbel yang sudah tersohor di Indonesia. Given membuka lapaknya di salah satu kampung kecil. Dia menyewa satu ruangan di rumah milik pamannya sebagai kelas. Ya, hanya satu ruangan. Lesehan.


Ini hari pertamaku. Murid-murid telah datang. Hanya empat orang. Itupun hanya anak-anak kampung sekitar. Salah seorang yang menarik perhatianku adalah Anton. Nama lengkapnya Anton Subekti. Menurutku itu adalah nama yang cukup keren bagi anak yang tinggal di daerah kecil seperti ini. Sekilas kupandangi perawakannya, terlalu biasa, dengan warna kulit coklat gelap dan kusam, efek terlalu sering bermain di bawah terik matahari.


Aku menyapanya dengan riang, namun dia membalasku dengan tatapan aneh, semacam ada ekspresi cuek, takut, namun tetap siaga waspada terhadap orang asing. Dia diam, tak mengeluarkan sepatah katapun, tenggelam asyik bermain motor-motoran plastik yang sepertinya hadiah dari jajanan chiki yang sedari tadi dipeganginya.


Anton masih kelas dua, salah, seharusnya sudah kelas lima SD. Dia sering tinggal kelas karena bodoh. Ya, setidaknya itulah sekilas informasi yang kudapat dari Bayu dan Senja, dua anak lain yang sedang kuajar. Sedangkan dari Given, dia hanya memberitahuku bahwa Anton memang lambat belajar.


Learning disability?


Given menggeleng. Bukan karena dia tahu apa yang terjadi, tapi karena dia memang tidak tahu menahu soal Anton. Ah tentu saja, Given kuliah di jurusan manajemen, mana dia tahu soal beginian. Yang dia tahu hanyalah dia mengelola bimbelnya dengan baik, urusan anak didik dia serahkan kepada pengajar. Given hanya tahu orangtua Anton mendaftarkan anaknya di Brilliant agar Anton bisa belajar dengan baik dan naik kelas dengan nilai bagus.


Aku semakin terkejut. Anton tidak bisa membaca, padahal untuk usia seperti Anton seharusnya dia sudah mampu membaca novel anak-anak. Pantas saja ketika kusuruh mengerjakan soal dia tak bergerak sedikitpun. Padahal sudah kupaksa, bahkan sempat kubentak, karena sedari tadi dia hanya diam, bahkan terus saja bermain dengan mainan motor plastiknya.


Lalu bagaimana sekolah Anton selama ini? Bagaimana dia mengerjakan tugas? Bagaimana dia bisa mengerjakan ulangan?


Aku dekati Anton, kulihat bukunya. Dia bisa menulis. Tulisannya kacau, tegak bersambung dan tidak proporsional. Dia menyerahkan LKS IPS kepadaku, memintaku membantu mengerjakannya. Aku mengangguk, meskipun aku harus membantunya dengan cara yang kurang wajar sebagai pengajar. Aku memberitahu jawabannya mentah-mentah─sesuatu yang sebenarnya selalu kuhindari karena membuat murid tidak mau berpikir dan kreatif─,  lalu membimbingnya mendikte setiap huruf dari jawaban itu. Waktu mendadak berjalan lambat. Sudah kudikte dengan jelas, namun Anton masih saja salah menulis huruf. Dia sering menghapus tulisannya, membuat LKS nya begitu kusam dan kumal. Rasanya sungguh jengkel karena harus mengejakan huruf untuknya berulang-ulang.


Aku berbincang dengan Given, menanyakan riwayat belajar Anton.


“Dulu dia pernah didaftarkan orangtuanya di Sekolah Luar Biasa, tapi dia ditolak karena Anton dinilai normal dan tidak menyandang cacat. Itulah mengapa sampai saat ini dia tetap belajar di sekolah umum,” terang Given seadanya.


Aku mengangguk. Anak itu memang lambat dalam belajar. Butuh perhatian ekstra, apalagi dia sudah berkali-kali tinggal kelas.


Kubuka textbook psikolinguistik. Tak salah lagi, Anton menderita disleksia. Semua ciri-ciri sudah menempel padanya. Tidak bisa mengeja, menulis tanpa spasi, perhatian mudah teralih, sulit berkomunikasi, dan lain sebagainya.


Hari-hari selanjutnya aku lebih memerhatikan Anton. Bayu, Senja dan Atika sudah cerdas, jadi lebih gampang dikendalikan. Namun Anton tidak. Dia harus belajar benar-benar mulai dari awal. Kugunakan waktu untuk mengajari Anton mengeja huruf, lalu menulis namanya sendiri. Rasanya memang jauh berbeda ketika harus mengajari anak yang tidak memiliki gangguan serupa disleksia. Hanya untuk menulis ‘Anton’ saja membutuhkan waktu hampir setengah jam.


Di hadapan Anton mendadak aku merasa menjadi orang yang sangat berguna. Padahal sebelumnya aku merasa hidupku sangat datar, aku tidak terlalu pandai di kampus, juga tidak mempunyai prestasi yang bisa dibanggakan. Tapi ketika membantu Anton belajar, aku merasa mendapat kepuasan batin yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Aku memang tak bisa memberikan apa-apa untuk Anton, tapi setidaknya aku tahu kalau dia menderita disleksia, sehingga orangtua Anton tahu kalau anaknya bukanlah anak bodoh atau abnormal.


Hanya inilah yang bisa kuberikan pada Anton. Bukan uang, atau mainan mahal, tapi hanya bisa mengajarinya mengeja, membaca dan menulis huruf. Aku harap ketika sudah dewasa Anton tidak rendah diri dengan kekurangannya ini. Bukankah Thomas Alfa Edison, Walt Disney dan Tom Cruise juga penderita disleksia?


Benar apa kata Christopher McCandless: happiness is only real when shared. Kebahagiaan itu ada jika kita mau berbagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun