Rumah Ibu-Bapak
Usia 0-3 Bulan, diTahun 1991, saat saya lahir di sebuah Desa di Kabupaten Bolaang Mongondow, wilayah yang saat ini dapat ditempuh 3 jam dari Kota Manado. Pada saat itu mungkin bisa 4 hingg 5 jam dengan keterbatasan moda zaman dulu.Â
Di Desa Poigar, tempat tugas ibu saya mengajar di salah satu sekolah menengah sebagai guru matapelajaran matematika, kami menempati rumah dinas berukuran 3x4 meter berderetan 4 unit dengan tetangga, dengan fasilitas kamar mandi yang terpisah dari bangunan rumah dan di dukung oleh sebuah sumur konvensional.Â
Pilihan merumah tersebut tidak banyak dipikirkan oleh ibu-bapak saya yang memang tidak punya pilihan. Desa tersebut bukan juga kampung halaman mereka, hanya Surat Tugas sebaga seorang guru menjadi satu-satunya alasan mereka datang di desa itu, dan menempati fasilitas murah tersebut.
Masa bayi yang saya tidak ingat persis tersebut diceritakan sang ayah yang pada saat itu masih mahasiswa. Kami cukup menikmati suasana desa yang gelap saat malam hari, listrik yang hanya menyala hingga pukul 20, saya dan kakak berumur 3 tahun tumbuh bugar.Â
Rumah dinas yang di kontrak tersebut dekat dengan pesisir pantai, persis depan lapangan sepak bola, yang kami makan, yang kami hirup dan yang kami minum adalah segala macam fasilitas alam yang segar.
Usia 3 Bulan-3 Tahun, di Rumah Kakek-Nenek
Pada saya berusia 3 bulan, kesulitan ekonomi menimpa ayah-bapak saya. Bapak harus kembali ke kampus untuk menyelesaikan tahap akhir studinya, sementara ibu harus menerima kenyataan bahwa gajinya akan di rapel beberapa bulan.Â
Melalui teknologi surat-menyurat yang seadanya, Nenek saya datang dari Kota Ternate untuk menjemput saya tinggal bersama kakek dan nenek.Â
Ini juga tentu bukan menjadi pilihan dan pertimbangan teoritikal saya yang masih belia, dorongan ekonomi dan motivasi menjaga kualitas pertumbuhan seorang anak, adalah satu-satunya pertimbangan sang kakek, seorang pensiunan (veteran) polisi mengevakuasi cucunya dari ancaman kemiskinan.
Di Ternate, rumah yang saya tempati adalah rumah kakek, keluarga dengan 9 anak. Memiliki 5 kamar yang saling terhubung, ruang tamu yang sangat besar, sejajar dengan ruang keluarga hingga ke dapur. Saya tumbuh besar sebagai pewaris marga kakek, ayah saya satu-satunya laki-laki dalam 9 bersaudara tersebut.Â
Saya tinggal di kamar urutan ke dua dari depan rumah, setelah kamar kakek dan nenek. Secara arsitektural, rumah di Kota Ternate zaman dulu semua menghadap ke laut, dan memunggungi gunung. Sehingga ketinggian pondasi depan rumah kami mencapai 2 meter dan bagian dapur hanya 10 cm. secara filosofis ini juga menunjukan level kekuasaan tertinggi penghuni di dalam setiap rumah tersebut.