Mohon tunggu...
Diani
Diani Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Educational Technology Student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

One Size Does Not Fit All: Customizing Learning For Different Generations

19 Desember 2023   11:39 Diperbarui: 19 Desember 2023   11:45 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.freepik.com

Pendahuluan

Artikel ini ditulis oleh mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, mata kuliah Metode dan Model Pembelajaran dengan topik yaitu Generational Comparison and Its Implications for Instructional Design.

Perkembangan teknologi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Para pendidik saat ini menghadapi kelas yang berisi beragam generasi yang memiliki karakteristik, preferensi, dan gaya belajar yang berbeda-beda yang dibentuk oleh konteks teknologi dan sosial masa mereka. Memahami perbedaan antar generasi ini sangat penting untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif sehingga dapat melibatkan semua peserta didik. Artikel ini akan menganalisis tiga generasi utama Generasi X, Generasi Milenial (Y), dan Generasi Z serta membahas implikasinya terhadap desain pembelajaran dalam konteks kelas modern saat ini.  

Analisis Generasi

Istilah "generasi" mengacu pada sekelompok orang yang lahir pada rentang waktu yang sama, yang mengalami peristiwa penting dalam kehidupan pada tahap perkembangan yang serupa yang memengaruhi sudut pandang mereka (Hung, Gu & Yim, 2008). Berdasarkan definisi ini, sebuah generasi dapat dicirikan dengan memiliki kesamaan sifat dan pandangan dunia yang terbentuk oleh perubahan teknologi dan sosial yang terjadi selama masa kecil mereka. Bagian ini akan mengupas konteks latar belakang dan ciri-ciri yang melekat pada Generasi X, Milenial, dan Generasi Z.

Generasi X (1965-1980)

Berada di antara Baby Boomer sebelumnya dan Milenial berikutnya, Generasi X mengalami masa transisi antara era analog dan digital. Mereka tidak tumbuh dengan teknologi maju tapi beradaptasi dengan munculnya teknologi tersebut di awal masa dewasa. Peristiwa penting yang membentuk Generasi X adalah Perang Vietnam, munculnya Komputer, krisis AIDS pertama, Perang Teluk, dan media penyiaran berkembang pesat yang mengudarakan banyak kekacauan ini secara langsung di TV (Berkup, 2014). Akibatnya, Gen X belajar untuk menerima keragaman di tengah dunia yang terus berubah. Mereka juga menumbuhkan lebih banyak kreativitas karena memiliki akses terbatas ke teknologi selama masa kecil dibanding generasi setelahnya. Generasi X cenderung mandiri, berorientasi tujuan, dan cakap dalam menilai situasi untuk menemukan solusi dengan cepat (Kriegel, 2013).

Dalam hal preferensi komunikasi, Gen X kurang menyukai menulis dan lebih memilih surat elektronik daripada surat. Mereka juga sering menggunakan perangkat seluler untuk keperluan sosial dan pekerjaan. Meskipun lebih mahir secara teknologi daripada generasi sebelumnya, keterampilan mereka masih kalah dibanding generasi sesudahnya. Setelah dibesarkan oleh Baby Boomer yang berfokus pada pekerjaan, Gen X tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, tidak sabar, dan berorientasi target. Mereka bersedia untuk bekerja keras dan menginginkan otonomi dalam pengambilan keputusan. Generasi X merespon dengan baik pengembangan terstruktur dan pembinaan yang konsisten. Mereka dapat bersikap skeptis namun haus akan pengetahuan dan umpan balik. Kelompok ini umumnya lebih menyukai pembelajaran di tempat kerja (Cook & Macaulay, 2017).

Generasi Milenial (1981-1996)

Milenial, juga dikenal sebagai Gen Y, merupakan “generasi teknologi” pertama yang tumbuh seluruhnya di era digital. Ciri paling khas dari Milenial adalah kecenderungan mereka untuk menanyakan “mengapa” saat dihadapkan pada situasi tertentu, sehingga julukan mereka “Generasi Mengapa” (Berkup, 2014). Kemajuan pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan dinamika utama yang membentuk Milenial menjadi generasi global pertama. Selain itu, peristiwa lain yang membentuk kepribadian Milenial antara lain Pembubaran Uni Soviet, Perang Timur Tengah, dan Isu Rasisme.  

Milenial beranjak dewasa pada periode pertumbuhan ekonomi yang pesat, munculnya media sosial dan reality show, serta memudarnya nilai-nilai modernis, yang semuanya diperkuat dengan semakin menguatnya internasionalisasi dan pengaruh kuat budaya pop (Parments, 2011). Akibatnya, Milenial percaya diri, optimis, dan yakin bisa mengadakan perubahan positif saat sesuatu tidak beres. Fleksibilitas dan vitalitas mereka juga memungkinkan mereka multitasking dengan cakap (Hung, 2008). Ciri paling menonjol Milenial adalah minat mereka yang besar akan teknologi. Tidak seperti generasi lain, mereka lahir bersama teknologi dan mengikuti perkembangannya setiap hari. Milenial secara naluriah memanfaatkan gadget untuk mengerjakan tugas. Sebagian besar kehidupan dan interaksi sosial generasi Milenial diwarnai oleh teknologi digital, media sosial, lingkaran pertemanan, kegiatan kemasyarakatan, dan hobi (Palfrey & Gasser, 2013). Milenial mengharapkan umpan balik rutin tentang kinerja mereka, terutama dari rekan kerja. Dalam konteks pembelajaran, Milenial lebih senang bekerja kolaboratif dalam beragam kelompok atau komunitas dengan akses mudah ke teknologi, yang akan mereka gunakan secara intensif di berbagai kegiatan. Mereka menikmati belajar sambil bekerja dengan pendampingan yang berkelanjutan (Cook & Macaulay, 2017).

Generasi Z (1997-2010)  

Merupakan generasi pertama yang lahir sepenuhnya di era digital, Generasi Z secara alami memiliki teknologi tertanam dalam DNA mereka. Mereka terhubung dan berjejaring secara global di dunia virtual. Namun, Gen Z bukan sekadar perpanjangan dari generasi Milenial. Gen Z memiliki ciri khas tersendiri di luar minat bawaan mereka akan teknologi. Mereka fleksibel, lebih cerdas, dan lebih toleran terhadap perbedaan budaya dibanding pendahulu mereka (Kriegel, 2013).  

Kehidupan generasi Z tidak terlepas dari internet dan media sosial. Mereka digambarkan sebagai “penduduk asli digital” sejati yang merasa sangat akrab dengan teknologi. Gen Z juga dikenal karena kepedulian sosial dan aktivisme mereka terkait isu perubahan iklim, kesetaraan gender, rasisme, dan hak asasi manusia. Teknologi memberdayakan suara mereka dan memungkinkan partisipasi dalam gerakan sosial melalui media sosial dan platform online. Seringkali didorong oleh hasrat murni untuk menciptakan perubahan positif di dunia, aktivisme Gen Z mewujudkan pergeseran sikap masyarakat terhadap partisipasi warga negara (Kennard, 2017).   

Perbandingan di atas menunjukkan Generasi X, Milenial dan Gen Z berbagi sifat toleransi, kemandirian, dan kemahiran teknologi, meskipun ketangkasan menggunakan gadget meningkat pada demografi yang lebih muda. Baik Milenial dan Gen Z menampilkan kesamaan sikap seperti fleksibilitas, pola pikir global, dan keakraban dengan teknologi karena tumbuh di dunia digital yang baru muncul. Dilihat dari media komunikasi pilihan, ketiganya terus mengintegrasikan teknologi dalam aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Ditinjau dari gaya belajar, Gen X dan Milenial menginginkan umpan balik, sementara Milenial dan Gen Z lebih suka proyek kolaboratif dan pembelajaran berbasis pengalaman.  

Perbedaan mencolok terlihat dalam keahlian teknologi dan orientasi belajar. Gen X menunjukkan kemampuan digital lebih rendah daripada penerusnya namun lebih baik dibanding pendahulu. Pola pembelajaran mereka juga sangat kontras. Gen X cenderung menyukai pelajaran kelas tradisional sementara Milenial dan Gen Z responsif terhadap konten multimedia interaktif daring dan pendidikan mandiri dengan memanfaatkan sumber daya virtual.

Input suImage by wayhomestudio on Freepikmber gambar
Input suImage by wayhomestudio on Freepikmber gambar

Digital Immigrant vs. Digital Native

Konseptualisasi kategori digital immigrant dan digital native berasal dari pakar teknologi pendidikan Marc Prensky (2001), yang menggambarkan bagaimana akses terhadap teknologi pada masa formatif menghasilkan perbedaan kemampuan yang sangat signifikan antar generasi.  

Digital immigrant merujuk pada individu yang tidak lahir dan dibesarkan di dunia digital namun harus beradaptasi dengan teknologi yang sudah memenuhi hampir semua aktivitas di kemudian hari. Mereka masih menyimpan peninggalan cara berpikir era pra-digital dan mungkin kesulitan mengintegrasikan teknologi secara utuh dalam rutinitas sehari-hari. Sebagai contoh, pendatang digital bisa saja menggunakan analogi seperti "memutar kembali" saat berinteraksi secara daring.  

Sebaliknya, digital native mewakili mereka yang lahir setelah 1980 dan dewasa selaras dengan kemajuan eksponensial teknologi digital melalui 1980-an, 1990-an dan seterusnya. Mereka secara intuitif memahami dan menguasai bahasa teknologi. Setelah mengadopsi sepenuhnya internet, game video, dan media sosial sejak usia perkembangan, alat-alat digital menjadi pendamping seumur hidup yang tak terpisahkan, bukannya temuan baru yang memerlukan adaptasi sadar (Gallardo-Echenique et al., 2015).  

Kategorisasi ini melahirkan perbedaan pengalaman dan pandangan belajar antarkelompok generasi ini. Siswa Gen Y dan Z asli digital secara naluriah memanfaatkan beragam sumber belajar multimedia, bergabung dalam jaringan mahasiswa secara daring, dan sangat tertarik pada video games dan simulasi. Digital immigrant lebih kesulitan mengadopsi dan menciptakan pembelajaran berbasis teknologi (Creighton, 2018). Mereka cenderung bertahan dengan kuliah tatap muka konvensional ketimbang memfasilitasi kolaborasi secara digital. Namun, dengan pelatihan dan pengalaman, pendatang digital dapat sukses menggabungkan teknologi untuk mengakses materi pembelajaran dan melaksanakan pengajaran jarak jauh (Bates & Sangra, 2011).

Relevansi terus-menerus kategori ini dalam konteks pendidikan saat ini adalah untuk menyoroti bagaimana sikap dan keterampilan terkait teknologi memerlukan strategi pembelajaran yang disesuaikan agar tidak ada pelajar dari generasi tertentu yang tersisihkan.  

Input sumber gaImage by rawpixel.com on Freepikmbar
Input sumber gaImage by rawpixel.com on Freepikmbar

Implikasi bagi Desain Pembelajaran

Perbedaan lintas generasi sangat memengaruhi pertimbangan desain pembelajaran dalam lingkungan belajar. Sebagaimana pola komunikasi yang berbeda di antara kelompok usia Gen X mandiri yang menggabungkan pertemuan tatap muka, sedangkan siswa Milenial dan Gen Z yang sangat sosial dan terbiasa dengan teknologi lebih menyukai berbagi multimedia demikian pula konten pembelajaran harus disesuaikan untuk selaras dengan cara tiap generasi menyerap informasi dengan optimal (Siemens, 2005).  

Selain itu, setiap generasi mungkin memiliki pandangan berbeda tentang metode pengajaran terbaik. Pelajar Gen X umumnya merasa paling terlibat melalui kuliah kelas tatap muka dengan rencana pelajaran terstruktur. Sebaliknya, Milenial dan Gen Z tampak lebih responsif bila pembelajaran berpusat pada platform interaktif yang memungkinkan kolaborasi jarak jauh, partisipasi berbasis permainan, dan simulasi yang mencerminkan praktik dunia nyata (Oblinger & Oblinger, 2005).  

Dalam hal pengintegrasian teknologi pendidikan, pengajar dari digital immigrant mungkin memerlukan pelatihan tambahan untuk memanfaatkan alat-alat media baru dengan cakap dibandingkan siswa penduduk asli digital pemula yang dengan antusias dan cepat mengasimilasikan video podcast, media sosial, dan sistem daring lainnya sebagai bagian dari pembelajaran. Kesenjangan kelancaran teknologi antar rentang usia ini menimbulkan pertimbangan tambahan seputar akses yang setara dan kesinambungan pengalaman pengguna (Johnson dkk., 2015).

Faktor lain yang harus diperhitungkan desainer pembelajaran mencakup pemilihan kerangka teori yang sesuai untuk khalayak sasaran. Pendekatan yang lebih bersifat behavioris dengan tujuan terdefinisi dan urutan konten yang terstruktur cenderung lebih disukai pelajar Gen X pragmatis yang sudah akrab dengan format kuliah tradisional. Sementara itu, Milenial dan Gen Z dapat memetik manfaat maksimal dari model konstruktivis atau konektivisme yang mendorong mereka dalam kerjasama, eksplorasi, dan pembelajaran mandiri (Anderson, 2011). Tentu saja, kelas heterogen yang mengandung banyak generasi akan diuntungkan oleh rencana pembelajaran campuran yang menggabungkan kekuatan pelengkap setiap demografi.  

Strategi Pembelajaran yang Bisa Disesuaikan dengan Kebutuhan tiap Generasi 

Beberapa strategi desain pembelajaran yang dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi X, Y dan Z antara lain:

Pembelajaran campuran yang memadukan penyampaian tatap muka dan daring. Sesi sinkronus berbasis kelas memenuhi preferensi Gen X untuk interaksi fisik di kelas, sementara tugas dan diskusi berbasis web memberi fleksibilitas jadwal yang diinginkan pelajar Milenial/Gen Z (Johnson dkk., 2015).  

Konten multimedia dan ragam sumber belajar. Gen X mungkin lebih menyukai buku teks dan kuliah statis, Gen Y merespons lebih baik video dan podcast, Gen Z menginginkan modul permainan interaktif. Penggunaan media dan modalitas yang diferensiasi meningkatkan inklusivitas (Kriegel, 2013).   

Dengan menerapkan strategi di atas, diharapkan rancangan pembelajaran yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan belajar yang beragam dari peserta didik yang berasal dari generasi yang berbeda.

https://www.freepik.com/free-photo/businessmen-hands-wooden-table-with-documents-drafts_7514938.htm#query=strategi%20Pembelajaran&position=35&from_view=search&track=ais&uuid=30e36e19-e5aa-45a0-8751-74ef17b4e62eInput sumber gambar
https://www.freepik.com/free-photo/businessmen-hands-wooden-table-with-documents-drafts_7514938.htm#query=strategi%20Pembelajaran&position=35&from_view=search&track=ais&uuid=30e36e19-e5aa-45a0-8751-74ef17b4e62eInput sumber gambar
Kesimpulan

Kehadiran teknologi yang kian merambah dalam keseharian memiliki implikasi mendalam bagi pendidikan. Memahami perbedaan generasi utama dalam kaitannya dengan teknologi, pola komunikasi, dan kecenderungan belajar memungkinkan perancang pembelajaran merancang strategi pengajaran tanggap yang mengakomodasi siswa penduduk asli digital dan pendatang digital melalui pengintegrasian metode penyampaian multidimensi, sumber daya disesuaikan, dan struktur pendukung khusus yang menyatukan ketimbang memisahkan berbagai generasi. Riset lebih lanjut terkait isu penjembatanan kesenjangan pembelajaran antar generasi dapat memastikan akses yang setara dan pengalaman akademik yang dinamis bagi siswa dari spektrum demografis yang luas.

Referensi:

Anderson, T., & Dron, J. (2011). Three Generations Of Distance Education Pedagogy. International Review Of Research In Open And Distance Learning, 12(3), 80-97.

Bates, A. W., & Sangrà, A. (2011). Managing Technology In Higher Education: Strategies For Transforming Teaching And Learning. John Wiley & Sons.

Bennett, S., Maton, K., & Kervin, L. (2008). The 'digital Natives' Debate: A Critical Review Of The Evidence. British Journal Of Educational Technology, 39(5), 775-786.

Berkup, S. B. (2014) Working With Generations X And Y In Generation Z Period: Management Of Different Generations In Business Life. Mediterranean Journal Of Social Sciences, 5 (19), https://Doi.Org/10.5901/Mjss.2014.V5n19p218

Creighton, T.B. (2018). Digital Natives, Digital Immigrants, Digital Learners: An International Empirical Integrative Review Of The Literature.

Gee, J. P. (2007). Good Video Games And Good Learning: Collected Essays On Video Games, Learning, And Literacy. Peter Lang.

Hung K., F. Gu, C. Yim,(2008) A Social Institutional Approach To Identifying Generation Cohorts In China With A Comparison Of American Consumers, Journal Of International Business Studies, 38, Pp.836-853

Johnson, L., Adams Becker, S., Estrada, V., & Freeman, A. (2015). Nmc Horizon Report: 2015 Higher Education Edition. The New Media Consortium.

Kennard, J. (2017, March 21). Learning & Development: Across The Generations - Training Journal. Training Journal -. https://Www.Trainingjournal.Com/2017/Business-And-Industry/Learning-Development-Across-Generations/

Kriegel, J. (2013). Differences In Learning Preferences By Generational Cohort: Implications For Instructional Design In Corporate Web-Based Learning. Drexel University, Pennsylvania.

Oblinger, D. G., & Oblinger, J. L. (2005). Educating The Net Generation. Educause.

Palfrey, J., Gasse, U. (2013) Born Digital: Understanding The First Generation Of Digital Natives. Basic Books, New York.

Parment, A. (2011)  Generation Y In Consumer And Labour Markets. Routledge, New York.

Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants, Part II: Do They Really Think Differently? On The Horizon 9(6), 1-9.

Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants Part I: On The Horizon, 9(5), 1-6.

Siemens, G. (2005). Connectivism: A Learning Theory For The Digital Age. International Journal Of Instructional Technology And Distance Learning, 2(1), 3-10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun