Mohon tunggu...
Diani
Diani Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Educational Technology Student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

One Size Does Not Fit All: Customizing Learning For Different Generations

19 Desember 2023   11:39 Diperbarui: 19 Desember 2023   11:45 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-photo/businessmen-hands-wooden-table-with-documents-drafts_7514938.htm#query=strategi%20Pembelajaran&position=35&from_view=search&track=ais&uuid=30e36e19-e5aa-45a0-8751-74ef17b4e62eInput sumber gambar

Generasi Z (1997-2010)  

Merupakan generasi pertama yang lahir sepenuhnya di era digital, Generasi Z secara alami memiliki teknologi tertanam dalam DNA mereka. Mereka terhubung dan berjejaring secara global di dunia virtual. Namun, Gen Z bukan sekadar perpanjangan dari generasi Milenial. Gen Z memiliki ciri khas tersendiri di luar minat bawaan mereka akan teknologi. Mereka fleksibel, lebih cerdas, dan lebih toleran terhadap perbedaan budaya dibanding pendahulu mereka (Kriegel, 2013).  

Kehidupan generasi Z tidak terlepas dari internet dan media sosial. Mereka digambarkan sebagai “penduduk asli digital” sejati yang merasa sangat akrab dengan teknologi. Gen Z juga dikenal karena kepedulian sosial dan aktivisme mereka terkait isu perubahan iklim, kesetaraan gender, rasisme, dan hak asasi manusia. Teknologi memberdayakan suara mereka dan memungkinkan partisipasi dalam gerakan sosial melalui media sosial dan platform online. Seringkali didorong oleh hasrat murni untuk menciptakan perubahan positif di dunia, aktivisme Gen Z mewujudkan pergeseran sikap masyarakat terhadap partisipasi warga negara (Kennard, 2017).   

Perbandingan di atas menunjukkan Generasi X, Milenial dan Gen Z berbagi sifat toleransi, kemandirian, dan kemahiran teknologi, meskipun ketangkasan menggunakan gadget meningkat pada demografi yang lebih muda. Baik Milenial dan Gen Z menampilkan kesamaan sikap seperti fleksibilitas, pola pikir global, dan keakraban dengan teknologi karena tumbuh di dunia digital yang baru muncul. Dilihat dari media komunikasi pilihan, ketiganya terus mengintegrasikan teknologi dalam aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Ditinjau dari gaya belajar, Gen X dan Milenial menginginkan umpan balik, sementara Milenial dan Gen Z lebih suka proyek kolaboratif dan pembelajaran berbasis pengalaman.  

Perbedaan mencolok terlihat dalam keahlian teknologi dan orientasi belajar. Gen X menunjukkan kemampuan digital lebih rendah daripada penerusnya namun lebih baik dibanding pendahulu. Pola pembelajaran mereka juga sangat kontras. Gen X cenderung menyukai pelajaran kelas tradisional sementara Milenial dan Gen Z responsif terhadap konten multimedia interaktif daring dan pendidikan mandiri dengan memanfaatkan sumber daya virtual.

Input suImage by wayhomestudio on Freepikmber gambar
Input suImage by wayhomestudio on Freepikmber gambar

Digital Immigrant vs. Digital Native

Konseptualisasi kategori digital immigrant dan digital native berasal dari pakar teknologi pendidikan Marc Prensky (2001), yang menggambarkan bagaimana akses terhadap teknologi pada masa formatif menghasilkan perbedaan kemampuan yang sangat signifikan antar generasi.  

Digital immigrant merujuk pada individu yang tidak lahir dan dibesarkan di dunia digital namun harus beradaptasi dengan teknologi yang sudah memenuhi hampir semua aktivitas di kemudian hari. Mereka masih menyimpan peninggalan cara berpikir era pra-digital dan mungkin kesulitan mengintegrasikan teknologi secara utuh dalam rutinitas sehari-hari. Sebagai contoh, pendatang digital bisa saja menggunakan analogi seperti "memutar kembali" saat berinteraksi secara daring.  

Sebaliknya, digital native mewakili mereka yang lahir setelah 1980 dan dewasa selaras dengan kemajuan eksponensial teknologi digital melalui 1980-an, 1990-an dan seterusnya. Mereka secara intuitif memahami dan menguasai bahasa teknologi. Setelah mengadopsi sepenuhnya internet, game video, dan media sosial sejak usia perkembangan, alat-alat digital menjadi pendamping seumur hidup yang tak terpisahkan, bukannya temuan baru yang memerlukan adaptasi sadar (Gallardo-Echenique et al., 2015).  

Kategorisasi ini melahirkan perbedaan pengalaman dan pandangan belajar antarkelompok generasi ini. Siswa Gen Y dan Z asli digital secara naluriah memanfaatkan beragam sumber belajar multimedia, bergabung dalam jaringan mahasiswa secara daring, dan sangat tertarik pada video games dan simulasi. Digital immigrant lebih kesulitan mengadopsi dan menciptakan pembelajaran berbasis teknologi (Creighton, 2018). Mereka cenderung bertahan dengan kuliah tatap muka konvensional ketimbang memfasilitasi kolaborasi secara digital. Namun, dengan pelatihan dan pengalaman, pendatang digital dapat sukses menggabungkan teknologi untuk mengakses materi pembelajaran dan melaksanakan pengajaran jarak jauh (Bates & Sangra, 2011).

Relevansi terus-menerus kategori ini dalam konteks pendidikan saat ini adalah untuk menyoroti bagaimana sikap dan keterampilan terkait teknologi memerlukan strategi pembelajaran yang disesuaikan agar tidak ada pelajar dari generasi tertentu yang tersisihkan.  

Input sumber gaImage by rawpixel.com on Freepikmbar
Input sumber gaImage by rawpixel.com on Freepikmbar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun