Mohon tunggu...
Wahyu Fajar Lestari
Wahyu Fajar Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer - Mahasiswa

Menyukai pendidikan, menulis, dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Tradisi Megengan di Kabupaten Pacitan, Kearifan Lokal Masyarakat Sambut Bulan Ramadhan

5 Januari 2024   16:55 Diperbarui: 5 Januari 2024   17:01 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat yang terletak di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan masih kental dengan tradisi leluhur, salah satu tradisi yang masih dilaksanakan secara turun temurun adalah tradisi Megengan. Tradisi ini dikhususkan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam bahasa Jawa, Megengan dapat diartikan menahan diri atau lebih tepatnya mempunyai makna puasa. Selain di Kabupaten Pacitan, tradisi Megengan ini juga dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa. Beberapa tempat menyebut tradisi ini dengan tradisi Ruwahan. Tradisi Megengan biasanya dikemas dalam bentuk hajatan/kondangan yang dilakukan oleh tiap-tiap kepala keluarga dengan mengundang teman atau saudara untuk bersama-sama menikmati hidangan yang telah disajikan. Sebelumnya, acara tersebut akan diawali dengan doa bersama dengan diiringi kalimat tahlil atau yasin serta dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat.

Sebelum acara Megengan dilaksanakan, biasanya masyarakat terlebih dahulu akan melakukan ziarah kubur untuk mendoakan sanak saudara mereka yang sudah meninggal. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sya'ban, tepatnya setelah hari kesepuluh. Orang Jawa sering menyebut dengan bulan Ruwah. Menurut beberapa sumber yang ada, bulan Ruwah ini maknanya ruh. Disebut Ruwah karena pada bulan ini masyarakat mentradisikan mengirim doa dan menziarahi makam-makam leluhurnya. Tradisi Megengan ini biasanya dilakukan secara berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Namun saat ini, ada beberapa daerah yang melaksanakan tradisi Megengan cukup di masjid atau mushola. Biasanya masing-masing keluarga ditugaskan untuk membawa makanan yang dibungkus daun atau sejenisnya, mirip nasi bungkus, atau lebih sering disebut tempelangan. Setelah acara doa bersama selesai, tempelangan tersebut akan di bagian secara acak dan dinikmati bersama-sama.

Di samping itu, ada sajian unik yang selalu ada ketika tradisi hajatan Megengan ini dilakukan, yakni selalu tersedia makanan yang disebut apem. Apem adalah sejenis jajanan khas masyarakat Jawa yang terbuat dari campuran tepung beras, gula jawa, dan santan yang kemudian di bungkus dengan daun salam.  Menurut sejarah, kata apem berasal dari bahasa Arab yaitu afuan atau afuwwun yang memiliki arti ampunan. Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah apem. Secara tidak langsung, apem adalah sebuah simbol bagi masyarakat Jawa untuk meminta ampunan atau sebagai harapan agar diampuni dari segala kesalahan dan dosa. Makanan ini juga sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas rezeki yang sudah didapatkannya.

Selain apem, makanan khas Jawa yang sering dihidangkan pada saat pelaksanaan tradisi Megengan adalah kolak. Kolak adalah sajian makanan manis yang terbuat dari ubi, pisang, kolang-kaling, atau isian lainnya yang kemudian direbus bersama kuah santan dan gula jawa. Menurut beberapa sumber sejarah, nama kolak sendiri dipercayai berasal dari bahas Arab yaitu kata "Khalaqa" yang artinya menciptakan atau juga dari kata "Khaliq" yang berarti sang pencipta. Dengan kata lain, kolak merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kolak adalah simbol harapan dari pembuatnya agar selalu ingat kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi Megengan yang sudah menjadi kebiasaan warga Pacitan ini patut dilestarikan, karena selain memiliki nilai budaya juga memiliki nilai-nilai positif terutama berkaitan dengan makna kehidupan. Yang pertama adalah tentang rasa syukur, rasa syukur karena masih diberikan umur yang panjang sehingga masih dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Wujud rasa syukur yang diajarkan dari tradisi ini yaitu dengan mendoakan sanak keluarga yang sudah meninggal dan diakhiri dengan hajatan Megengan. Yang kedua adalah makna ukhuwah dan kebersamaan. Dengan adanya tradisi ini, diharapkan dapat mempererat tali persaudaraan dengan saling bersilaturahmi dan bertatap muka. Yang ketiga, melalui acara hajatan megengan ini kita dapat menikmati wisata kuliner karena biasanya akan ada banyak makanan yang disajikan dalam acara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun