Tulisan ini saya mulai dengan sebuah do'a dan harapan. Agar sekiranya Allah kuatkan hati ini untuk senantiasa tetap teguh dalam dakwah di tengah-tengah sepinya peminat yang mengambil jalan ini dan enggan mengambil bagian dari apa yang telah Allah jamin untuk mereka, seperti yang telah Allah katakan di dalam QS. Muhammad Ayat 7 bahwasanya Allah SWT menjamin sesiapa pun yang menolong agamanya maka ia pasti akan di tolong oleh Allah dan di teguhkan kedudukannya. Maka siapa lagi manusia paling beruntung di muka bumi selain mereka yang mendapatkan pertolongan secara langsung dari sang Maha Khaliq.
Saya hendak berbagi sekelumit cerita untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagaimana perjalanan dakwah itu mempunyai pasang dan surut juga dihadapkan dengan berbagai problem yang kompleks berikut dengan cara menyelesaikannya.
Saya mulai mencintai jalan ini sesaat setelah Allah pertemukan dengan seorang guru yang hingga kini masih melekat didalam ingatan saya tentangnya. Ia mengajarkan banyak hal tentang kehidupan juga bagaimana cara kita agar dapat berdiri di atas kaki sendiri untuk membersamai dakwah di samping memang berjamaah merupakan pilihan yang paling baik.
Empat tahun membersamai beliau dari masjid satu ke masjid yang lain, mimbar satu ke mimbar yang lain dan majelis satu ke majelis yang lain merupakan sebuah perjalanan yang saya anggap sebagai bentuk pengabdian kepada seorang guru berikut juga sebagai bentuk dalam mengambil bagian dari apa yang disebut dengan pengabdian dan ngalap berkah dari orang alim.
Saya mendefinisikan beliau sebagai seseorang yang mewakafkan dirinya untuk agama dan kegiatan-kegiatan positif, tiada hal lain selain bergerak untuk menebarkan kebaikan juga kebermanfaatan bagi orang lain. Beliau adalah tauladan bagi saya pribadi dikala jiwa kehilangan arah, sudah tentu Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya uswah akan tetapi dari mana kita mengambil itu selain kepada orang-orang yang menjadi penghulu agama dan juga ahli waris dari apa yang telah Rasulullah SAW tinggalkan untuk umatnya.
Saya memandang beliau dengan penuh hormat dan hasrat ingin seperti beliau tumbuh. Bagaimana caranya berceramah, berbicara dan cara beliau mencintai ilmu merupakan beberapa hal yang ingin sekali saya tiru. Beliau menjadikan rumahnya sebagai taman-taman pengetahuan, tidaklah ketika seseorang bertamu kerumah beliau selain mendapati seluruh dinding-dinding yang ada di setiap rumahnya buku-buku dengan berbagai macam genre, Kitab-kitab para ulama, Buku pergerakan, Novel, Sejarah, Pelajaran dan sebagainya.
Yang selanjutnya ingin saya tiru adalah ketika beliau menikah dan menghadiahkan mahar berupa beberapa kitab untuk istrinya. Saya lupa nama kitab nya dan menghindari salah informasi maka saya urungkan untuk menebak-nebak. Tapi yang pasti lagi-lagi sebab kecintaan nya kepada ilmu lah yang mengantarkan beliau untuk melakukan hal demikian, beliau sadar betul bahwasanya seorang istri merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak.
Sesuai dengan apa yang pernah di sampaikan oleh penyair ternama Hafiz Ibrahim beliau mengatakan "al Ummu Madrasatul ula, iza a'adadtaha al'dadta sya'ban thayyibal a'raq”, artinya: ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Sungguh merupakan keromantisan yang sangat didambakan oleh saya sebagai seorang murid beliau.
Singkat saja, Setelahnya qadarallah Allah pisahkan kami di tempat yang berbeda. Beliau melanjutkan pengabdiannya sebagai guru di wilayah lain yang cukup jauh dari tempat sebelumnya dan beliau menitipkan satu pesan di samping banyak pesan dan nasihat lain yang sebelumnya pernah juga beliau sampaikan. Beliau mengatakan "Selama ini wahyu menemani bapak dari masjid satu ke masjid yang lain. Sekarang bapak pindah bukan untuk berhenti tapi melanjutkan dari apa yang sudah sama-sama kita kerjakan disini, Setelah ini wahyu yang akan menggantikan bapak."