Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Ramah Anak?

3 Mei 2021   14:26 Diperbarui: 3 Mei 2021   14:42 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada sekolah ramah anak, barangkali memang ada sekolah yang tidak ramah anak. Di sebuah sekolah, saya pernah melihat sebuah papan nama sekolah dengan menuliskan 'Sekolah Ramah Anak'. Di tempat-tempat lain, saya tidak menemukan hal tersebut. Kalau demikian, apakah sekolah pertama sungguh-sungguh sebagai sekolah yang ramah anak? Dan, sekolah kedua tidak ramah? Tentu saja, tidak mudah untuk menahbiskan diri sebagai sekolah ramah anak.  

Menjadi sekolah ramah anak tentu memberi nilai lebih bagi sebuah sekolah. Di zaman ketika isu mengenai perundunungan sering kita dengar, orang tua akan lebih percaya diri menitipkan anaknya di sekolah yang ramah anak. Orang tua bisa melakukan observasi dulu sebelum memutuskan memilih sekolah.  Sekolah-sekolah yang dihuni guru-guru galak tidak sulit untuk diidentifikasi. 

Ujung Rotan yang Hilang

Bagi saya yang bersekolah di SD pada tahun 80-an, perundungan baik antarmurid maupun oleh pendidik sering terjadi. Pendidik selalu berlindung bahwa apa yang dilakukan tak kurang dan tak lebih demi pembentukan karakter anak agar anak memiliki sikap menghargai guru orang tua, disiplin belajar, atau sopan santun. 

Saat saya bekerja di sebuah tempat di Flores NTT sekitar tahun 2007, saya mendengar ungkapan "Di ujung rotan, ada cinta kasih". Memukul dengan rotan atau bilah bambu adalah hal yang wajar dan begitulah guru harus mendidik. Guru yang lunak kepada anak-anak bisa berdampak buruk pada anak-anak. Mereka bisa menjadi pemalas, tidak disiplin, atau berani dengan orang tua. 

Dalam sebuah perjumpaan dengan seorang tokoh masyarakat setempat, beliau pernah bertanya, "Kamu berani pukul anak-anak sini? Saya jawab "Tidak".  Jawaban sesungguhnya dari saya adalah "Tidak mau", bukan "Tidak berani." Beliau justeru memberi respon yang tak terduga, "Kau harus berani pukul mereka. Kalau tidak, mereka pukul kau dulu!"

Di hari-hari berikutnya, saya baru yakin bahwa tokoh masyarakat tersebut tidak sedang bercanda. Saya menyaksikan sendiri seorang guru menampar anak hingga terjengkang. Menampar muka seperti halnya menggunakan rotan menjadi sebuah hal yang 'ditoleransi' demi kebaikan anak di kemudian hari. Setidaknya, itu kesan yang saya tangkap dari apa yang diyakini para pendidik di sana waktu itu. Mungkin itu pula pesan yang mau disampaikan tokoh masyarakat tersebut. 

Pernah saya mendiskusikan hal tersebut dengan guru bersangkutan dalam kesempatan 'ngobrol santai'. Si guru malah bercerita kalau anak-anak malah diperlakukan lebih ngeri saat di rumah: ditendang atau dibanting. Wah! "Di sini tidak bisa mengajar macam di Jawa," tambah guru lain dengan nada menyindir. Padahal di Jawa, saya melihat sendiri kekerasan seperti itu juga terjadi. Di manapun di dunia pendidikan, kekerasan dengan dalih untuk kebaikan anak terjadi. 

Perubahan zaman rupanya menuntut sekolah terus berbenah untuk menjadi lingkungan yang nyaman untuk tumbuh kembang mereka anak-anak dan tumbuh kembang pengetahuan mereka. Warning yang ditujukan kepada pendidik menjadi jelas ketika Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Sekarang, anak-anak bisa berlindung dari perilaku salah yang ditujukan kepada mereka, khususnya dari perlakuan kasar pendidik (orang dewasa). Baik secara fisik maupun psikis, anak-anak mendapatkan jaminan untuk merasa aman dan nyaman. Pendidik tak punya alasan yang membenarkan perilakunya melakukan kekerasan kepada anak-anak. 

Berperspektif Anak

Sekolah ramah anak tidak semata-mata sekolah yang menjamin tiadanya perundunungan. Lebih dari itu, sekolah tersebut memberi jaminan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak selama berada di sekolah. 

Salah satu prinsip pengembangan SRA adalah kepentingan terbaik bagi anak. Maka, cara pandang dalam semua aktivitas di sekolah harus berorientasi kepada anak. Terbentuknya pendidik yang berperspektif anak dalam proses pembelajaran dan pengambilan kebijakan di sekolah menjadi penting. 

Secara natural, hal ini sebenarnya memang menjadi prinsip institusi penyelenggara pendidikan. Tanpa sekolah harus bermetamorfosa mengikuti program SRA, apalagi karena ada daerah yang mengajukan menjadi Kota/Kabupaten Layak Anak dan SRA menjadi salah satu indikatornya, setiap sekolah semestinya menjadi SRA. 

Pilihan untuk memberi yang terbaik untuk anak bukan perkara mudah. Di sekolah, tak jarang sebuah keputusan diambil berdasarkan prerogatif pengambil kebijakan, yaitu kepala sekolah yang kemudian disetujui oleh guru-guru. Penggunaan dana BOS, misalnya, dibelanjakan berdasar pertimbangan performa sekolah,  selain efisiensi. Sekolah lebih cemas tidak memiliki taman yang cantik dengan berbagai tanaman daripada memiliki perpustakaan dengan buku-buku cerita yang menarik. Buku-buku cerita dianggap kurang penting karena tidak mengandung pengetahuan sebagaimana diatur dalam kurikulum. 

Dengan kebijakan seperti ini, sebenarnya ada hak-hak anak yang terabaikan. Rasa nyaman anak-anak salah satunya terjadi karena mereka bisa mengakses bagian terpenting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu perpustakaan yang nyaman. Dengan demikian, kemudahan mengakses buku-buku, termasuk buku-buku cerita terjadi. 

Lalu, apa kaitannya dengan SRA? Selama pandemi ini, ketidaksiapan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) mereduksi kegiatan belajar mengajar menjadi pemberian materi dan penugasan. Penelantaran kepada anak-anak sangat riskan terjadi. Anak-anak anak yang tidak terjangkau dari istruksi guru untuk mempelajari materi atau mengerjakan tugas yang dishare lewat wa atau berbagai aplikasi daring, sangat mungkin tidak akan belajar. Kesempatan belajar yang menjadi hak anak hilang (learning loss). 

Sekolah yang ramah akan bersikap bijak dan mencari anak-anak yang hilang tersebut lalu melakukan upaya alternatif untuk memastikan mereka belajar. Yang menjadi pertanyaan, adakah semua guru melakukan itu? Lalu, bagaimana peran sekolah, termasuk sekolah-sekolah yang percaya diri memajang plang "Sekolah Ramah Anak"? 

Plang "Sekolah Ramah Anak" rupanya tidak perlu lagi. Pada hakikatnya, semua sekolah harus ramah kepada anak. Pembentukan Satgas atau Tim Sekolah Ramah Anak juga hanya akan berbuah pada formalitas saja. Sekolah perlu untuk menggeser hal-hal yang berorientasi pada performa sekolah yang diukur dari hasil lomba, laporan kedinasan yang administratif, dan berbagai macam akreditasi. Filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah itu 'taman', tidak lain bahwa segala upaya harus mengarusutamakan kepentingan terbaik untuk anak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun