Terorisme di Indonesia seperti "agenda rutin" yang selalu muncul setiap periodenya. Mulai dari komplotan Noordin M. Top, Doktor Azhari, dan hingga sekarang selalu beregenerasi dengan subur. Meskipun gembong terorisnya sudah dibasmi, pemimpin pesantrennya sudah dipenjara sekian lama, namun seperti masih banyak akar-akar yang berhasil menerbitkan tokoh baru. Bahkan ada juga aktor lama yang sudah aktif puluhan tahun muncul ke permukaan.
Pemerintah terlihat sangat fokus untuk mengatasi masalah ini, mulai peran intelejen yang selalu menyelinap mencari mereka di dunia nyata dan maya, hingga membuat list "pendakwah" yang dikatakan aman. Seakan ada framing darimana para teroris itu datang, bagaimana mereka bisa menjadi teroris, dan siapa yang kemungkinan memfasilitasi mereka.
Media masa juga melakukan hal yang sama, mereka menambahkan label keislaman dalam pemberitaan mengenai teroris. Label ini seperti menambahkan garam dalam sayur, sebegitu penting untuk menarik khalayak. Media biasanya menambahkan latar belakang keislaman, penampilan ketimur-tengahan yang identik keislaman, istri bercadar, dan buku-buku sitaan yang berisi jihad dan doktrin keislaman. Terbaru ada terduga teroris yang diekspos lembaga tempat dia berkarya yaitu MUI sebagai tajuk utama pemberitaan.
Keislaman memang sebuah komoditi yang menarik untuk diberitakan, pro dan kontra selalu muncul dan menjadi poin utama untuk terus membuat berita. Padahal jelas dalam pedoman perilaku penyiaran, labelisasi berdasarkan agama, golongan, dan kelompok tidak diijinkan saat media menyiarkan tentang terorisme. Tentu saja peraturan ini untuk meminimalisir masalah yang lebih besar daripada terorisme itu sendiri, yaitu perpecahan dan adu domba. Kenapa praktik ini masih menjamur?
Patut dipertanyakan peran KPI dalam mengawasi dan "nyemprit" praktik ini. Kapitalis tentu akan berfikir bagaimana mendapatkan cuan besar, keinginan dan kebutuhan penontonlah jawabannya, namun apakah masalah yang muncul setelahnya tidak sebaiknya dipertimbangkan dengan lebih jernih?
atau "power" lembaga pemangku kepentingan, lembaga pengawas, bahkan pemerintah tidak lebih besar dari kapitalis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H