Mohon tunggu...
Wahyu Indra Sukma
Wahyu Indra Sukma Mohon Tunggu... lainnya -

Hidup itu Indah

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kartu Kredit: Perlu atau Tidak?

29 November 2014   12:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:32 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14172409521577867120

[caption id="attachment_379078" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi: Shutterstock/Kompasiana"][/caption]

Dunia sekarang ‘serasa’ semakin tanpa batas. Kejadian dibelahan dunia lain bisa kita ketahui dalam hitungan jam bahkan menit, di hari yang sama. Perkembangan teknologi informasi yang semakin efisien juga memungkinkan setiap orang dapat berkomunikasi langsung secara online dan tanpa batas. Bahkan, pengetahuan dan informasi apapun hampir tersedia seluruhnya di dunia maya. Hanya cukup berselancar dalam internet, semuanya bisa didapatkan. Ini sesuai dengan konsep “global village” (desa global) yang diajukan Marshall McLuhan. Menurutnya, desa global terjadi sebagai akibat dari penyebaran informasi yang cepat dan masif di masyarakat. Penyebaran ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (media massa) sehingga tidak ada lagi batas waktu dan tempat. Desa global juga mengacu pada perkembangan media komunikasi modern sehingga memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia dapat saling berhubungan.

Tanpa disadari, boleh dikatakan kita sudah terkepung informasi. Bukan saja informasi, kita juga dibombardir oleh penawaran-penawaran berbagai produk. Entah lewat email, telepon atau bahkan SMS yang isinya penawaran-penawaan produk. Entah dari email/nomor telepon yang anda kenali, sampai kepada email/nomor telepon yang tidak anda kenali. Penawaran dari dalam negeri ataupun dari luar negeri. Penawaran kartu kredit pun juga semakin marak dan sepertinya tetap terus ditawarkan. Bahkan tidak hanya melalui media email, telepon dan SMS. Iklan di televisi, koran, majalah, serta booklet juga terus dibanjiri informasi kartu kredit.

Fenomena yang sama juga terjadi ketika sedang menyetel radio didalam mobil. Jeda lagu-lagu yang diputar sebuah stasiun radio juga tak luput dari tawaran kartu kredit. Bahkan, sekarang pihak kartu kredit juga lebih canggih. Ketika suami tidak berminat tawaran kartu kredit, maka jalan masuk penawarannya dari istri. Bekerjasama dengan pusat-pusat perbelanjaan ataupun merchant melalui promo-promo menarik, pihak kartu kredit melakukan penawaran kepada istri untuk menggunakan kartu kredit. Tentunya dengan ‘rayuan’ diskon, bonus serta keunggulan-keunggulan lainnya membuat setiap orang tergiur untuk apply (mendaftar) kartu kredit. Semua penawaran tersebut bahkan dikemas lebih menarik lagi. Semakin sering digunakan, semakin besar peluang mendapat hadiah. Simpelnya, semakin sering kita berhutang, kemungkinan besar mendapat keuntungan. Apakah benar? Belum pernah ada yang membuktikan secara pasti.

Di sisi lain, sekarang juga semakin banyak keluhan dari pengguna terhadap penggunaan kartu kredit. Coba kita klik di google tentang keluhan kartu kredit. Lebih dari 300.000 hasil yang ditemukan terkait ‘keluhan kartu kredit’, dari ketidakpuasan pemegang kartu sampai solusi bebas masalah kartu kredit.

Masalah apa lagi yang seringkali menimpa pemegang kartu kredit? Cukup banyak tentunya. Secara garis besar, masalah-masalah pemegang kartu bisa dikelompokkan beberapa hal. Pertama, jumlah hutang yang semakin besar. Hal ini terjadi akibat pembayaran hutang yang dilaksanakan hanya pembayaran minimum saja, sementara penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran transaksi semakin meningkat. Kedua, bank belum terlalu optimal dan responsif dalam menangani kartu kredit. Ketika ada keluhan, bank cenderung ‘defense’, dan pemegang kartu merasa diabaikan. Ketiga, adanya teror dari debt collector (baik secara halus maupun kasar) yang bertubi-tubi akibat ketidakmampuan membayar tunggakan kredit. Bahkan, terkadang keluarga turut menjadi sasaran teror. Keempat, dimasukkannya pemegang kartu dalam daftar hitam BI akibat tunggakan kredit yang belum clear mengenai kesalahan para pihak. Dampaknya, pemegang kartu tidak akan bisa memperoleh fasilitas kredit (kartu kredit, KPR, KTA, dan lain-lain) dari bank manapun.

Dua sisi fenomena kartu kredit diatas sangatlah menarik. Pihak bank semakin asyik mengiklankan dan berusaha mengajak orang untuk aktif dan continue memakai kartu kredit. Sementara, pihak pengguna kartu kredit banyak juga yang terjerumus dengan kartu kreditnya.

Siapa yang Salah?

Setiap kasus tentunya memiliki karakteristik sendiri. Namun, semua itu dapat kita cegah semenjak dini ketika kita mengerti tujuan penggunaan kartu kredit. Kita harus sadar bahwa kartu kredit adalah solusi sementara sebagai alat pembayaran. Jika kita tidak membawa uang yang cukup untuk membayar suatu transaksi, bisa kita gunakan kartu kredit. Artinya, kartu hanya ‘pemain pengganti’ dari uang tunai yang kita miliki.Bedanya, transaksi pakai uang Rupiah (tunai) langsung dibayarkan diawal (saat transaksi), sedangkan transaksi menggunakan kartu kredit akan dibayarkan oleh bank dan ditagihkan kepada pengguna kartu kredit di akhir bulan. Artinya, kita mendapatkan kredit (hutang) dari bank yang harus dilunasi pada saat jatuh tempo.

Kalau sudah begini, penting ngga sih punya kartu kredit? Jawabannya relatif. Bagi orang-orang yang bisa merencanakan keuangannya dengan baik, kartu kredit akan memberikan keuntungan tersendiri. Namun, bagi orang-orang yang pola/gaya hidupnya konsumtif, penggunaan kartu kredit harus lebih hati-hati. Apalagi jika pemegang kartu kredit tidak paham betul apa ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Atau malah, cenderung hobi menggunakan kartu kredit (KK) tanpa memikirkan penghasilan yang mampu diperoleh. Apa konsekuensinya?

Misalkan kita memiliki tagihan pada bulan Januari 2014. Lalu,kita memutuskan untuk tidak melunasi sekaligus di akhir periode pembayaran, maka akan ada bunga yang harus Anda bayarsesuai dengan ketentuan.Kalaupun anda menginginkan membayar sebagian agar tidak dianggap kredit macet, bank penerbit kartu kredit biasanya memberikan kemudahan berupa ketentuan pembayaran minimal. Besarnya beragam, antara 5-10 persen dari jumlah tagihan bulan tersebut. Yang biasanya menimbulkan masalah adalah ketika pola pembayaran ‘menunda’ (tidak secara penuh) ini mulai dibiasakan. Yang dilunasi hanya tagihan minimal saja. Dampaknya, jumlah utang semakin meningkat sedangkan frekuensi dan nilai pemakaian kartu kredit malah mengalami peningkatan.

Ilustrasinya sebagai berikut. Pak Rianto memiliki total pemakaian kartu kredit bulan Januari 2012 sebesar 1 juta Rupiah. Ketika lembar tagihan (billing statement) datang, hanya dilunasi sebesar tagihan minimum (misal 10%), yaitu 100.000 Rupiah. Pada bulan Februari, total pemakaiannya adalah Rp 2,5 juta (termasuk tagihan bulan lalu yang belum dibayar sebesar 900 ribu Rupiah ditambah bunga sesuai ketentuan). Ketika tagihan datang, pelunasannya hanya sebesar 250.000 Rupiah. Pada bulan Maret, total pemakaiannya adalah 4 juta Rupiah (termasuk tagihan bulan lalu yang belum dibayar sebesar Rp 2,25 juta ditambah bunga sesuai ketentuan). Ketika tagihan datang, pelunasannya hanya sebesar 400.000 Rupiah. Begitu seterusnya sampai 1 tahun berjalan.

Nah, masalah akan timbul dengan pola pembayaran seperti ini karena hutang (pokok dan bunganya) akan terus bertambah. Pertama, jumlah pokok tagihan (diluar bunga) yang terus bertambah karena pola pembayaran bulanan yang hanya dilunasi sebagian sehingga secara akumulatif pokok tagihan semakin membesar. Kedua, akan muncul bunga dari tagihan baru. Apalagi, jika tagihan bulan-bulan sebelumnya hanya dilunasi sebagian atau sesuai pembayaran minimum. Tentunya bunga yang dikenakan semakin meningkat seiring membesarnya pokok hutang. Implikasinya, satu tahun kedepan jumlah tagihan akan meningkat tinggi sehingga Pak Rianto tidak mampu lagi melunasinya sekaligus. Hal ini akan bertambah masalah jika Pak Rianto memiliki kartu kredit yang banyak dengan pola pelunasan yang sama, maka semakin sulitlah untuk lepas dari jeratan tagihan.

Jika sudah begini, siapa yang salah? Pihak bank atau Pak Rianto? Tentu saja Pak Rianto yang tidak mampu mengukur kemampuan membayarnya sehingga terus menggunakan kartu kredituntuk keperluan yang konsumtif. Pak Rianto sudah menganggap kartu kredit sebagai media tambahan penghasilan. Bagi Pak Rianto, memiliki kartu kredit dengan limit tertentu (katakan 3 juta Rupiah) sama saja dengan memperoleh tambahan pendapatan sebesar 3 juta Rupiah. Inilah pemahaman yang salah dan harus diluruskan.

Kartu kredit seharusnya ditempatkan sebagai alat pengganti uang tunai. Tiap kali menggunakan kartu untuk bertransaksi, implikasinya akan ada uang kita yang berkurang untuk membayar harga barang atau jasa yang sudah dibeli. Memang berkurangnya nanti, ketika telah menerima lembar tagihan (billing statement) dan pemegang kartu melakukan pembayaran. Namun, hal inilah yang sering membuat terlena. Karena transaksi bisa dibayar belakangan serta diperkenankan membayar minimum dari total tagihan, bisa menimbulkan keinginan untuk terus berbelanja (konsumtif) dan hanya membayar minimum pembayaran.

Jadi, apakah kartu kredit itu penting dan perlu? Tergantung kebutuhan kita masing-masing. Jika kita disiplin dan mampu merencanakan keuangan (pengeluaran dan pendapatan) dengan seimbang dan baik, penggunaan kartu kredit akan berguna. Jika kita tidak mampu, sebaiknya perlu memikirkan berkali-kali sebelum menggunakan kartu kredit. Dan perlu diingat, beragam fasilitas yang ditawarkan kartu kredit bukan juga berarti free of charge (gratis), kita harus hati-hati dan mengukur kemampuan diri sendiri. Introspeksi terhadap kemampuan finansial pribadi sebaiknya dimulai dari diri sendiri, jangan hanya karena mengikuti life style. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Mari berpikir bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun