Mohon tunggu...
Wahyu Hidayat
Wahyu Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (20107030059)

Hanya ada dua pilihan, menulis atau ditulis oleh sejarah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengenal Hustle Culture, Budaya "Gila Kerja" yang Tak Kenal Cuti Kerja

12 Juni 2021   01:05 Diperbarui: 12 Juni 2021   01:38 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Source : lovepik.com)

"Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik"

Sebuah kutipan yang sudah familiar di telinga orang -- orang ini agaknya memang sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam melakukan berbagai kegiatan, agar seseorang mengetahui "porsi" yang cukup untuknya. 

Karena jika di aplikasikan dalam berbagai hal, melakukan suatu kegiatan secara berlebihan atau diluar "porsi" tersebut memang dapat memberikan berbagai dampak negatif, misalkan ketika makan secara berlebihan, tidur secara berlebihan, dan tak terkecuali juga bekerja secara berlebihan.

Bekerja secara berlebihan itu sendiri dapat menyebabkan budaya "Gila Kerja" atau biasa disebut dengan Hustle Culture. Tren ini mulai banyak digandrungi oleh generasi muda di berbagai negara seperti Amerika, Jepang dan tak terkecuali Indonesia. Jika mungkin masih banyak pekerja yang mencoba mencuri jatah cuti atau izin kerja maka tren ini sangat bertolak belakang dengan tipe pekerja seperti itu.

Di Jepang sendiri para pekerjanya sangat membenci cuti atau izin kerja, dengan presentase sebagian besar pekerjanya hanya mengambil setengah dari seluruh jatah cuti tahunan yang ada. 

Mungkin tipe pekerja seperti itu terlihat baik apalagi dimata korporasi atau perusahaan, namun ternyata budaya "Gila Kerja" ini juga memberikan efek negatif terutama bagi pekerjanya itu sendiri. Apa saja kah itu? Mari mengenal Hustle Culture.

Hustle Culture merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk  beristirahat, kesibukan berlebihan tersebut membuat masyarakat modern jadi kehilangan banyak hal berharga dalam kehidupannya karena hanya fokus untuk mendapatkan uang, jabatan, atau pencapaian bisnis yang cemerlang.

Orang yang terkena budaya Hustle Culture akan bekerja secara terus menerus dalam setiap waktu, entah itu hari biasa atau ketika hari libur sekalipun akan menuntut dirinya sendiri untuk bekerja. Karena dengan dia yang bekerja keras terus menerus, dia berpikir bahwasannya dia akan lebih cepat sukses ketimbang orang yang bermalas -- malasan, atau orang yang memiliki porsi kerja lebih rendah dibandingnya.

Penyebab dari fenomena ini biasanya adalah obsesi pada pekerjaan yang terlalu tinggi yang biasanya didasarkan pada gengsi. Gengsi yang meningkat saat bekerja di perusahaan yang "bonafide" atau ternama, gengsi yang meningkat karena ingin dianggap sebagai orang yang bekerja keras lebih keras dibanding yang lain sehingga memiliki peluang sukses yang lebih besar, gengsi untuk memenuhi gaya hidup yang semakin meningkat, dll. 

Dampak dari Hustle Culture kerap ditemukan dalam kehidupan sehari hari, biasanya salah seorang teman atau kenalan di lingkungan yang ketika diajak untuk "meet up" atau "nongkrong" oleh teman -- temannya kerap beralasan sibuk bekerja. Biasanya mereka yang terkena tren ini akan merasa bangga akan kesibukannya, sehingga akan semakin bersemangat untuk menjadi seseorang yang sibuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun