Mohon tunggu...
Wahyu Heriyawan
Wahyu Heriyawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar untuk lebih kritis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Secawan Teh Hangat Untuk Menonton Drama Bangsa

15 Oktober 2011   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ibu yang duduk di beranda rumahnya mengelus dada, sikapnya itu hampir sering dilakukan bila mendengar berita di stasiun televisi. Beliau memang bukan tamatan universitas ternama, bahkan beliau hanya lulus hingga jenjang SMK. Terkadang, tangan kanannya dikepal sambil meninju-ninju ke tangan kirinya. Berita yang disajikan sore itu adalah tertangkapnya pelaku korupsi yang menjabat sebagai birokrat pemerintah.

Dia enggan menyekolahkan anaknya untuk menjadi seorang birokrat. Pemerintah ini sudah terkontaminasi, dia enggan anaknya terjerembab dalam dunia yang nista, menjerumuskan orang lain pada kesengsaraan dan kemiskinan.

Penulis sering mungusap dada setiap mendengar berita di telivisi, bagaimana dengan anda? Kehancuran bangsa kita sudah terlalu akut. Masalah yang tak pernah usai, menjadikan sejarah paling mengerikan sepanjang masa. Kita sedang berperang dengan bangsa kita sendiri, berperang melawan arus kejahatan birokrat yang terorganisir dengan rapih. Penulis tidak menyalahkan semua birokrat kita, karena disitu ada guru, PNS yang baik dan sebagainya. Penulis hanya memfokuskan diri pada oknum birokrat yang tak manusiawi.

Kejamnya seorang pembunuh tidak ada apa-apanya dibanding dengan kejamnya seorang birokrat. Politik ini bagaikan mata pisau, dia hendak membahayakan semua orang. Teramat baik bila dipakai oleh orang yang benar benar ikhlas dalam menjalankan fungsinya dengan baik. Arus kecacatan birokrasi kita penulis petakan menjadi 2, structural dan kultural.

Secara struktural kita mengakui bangsa ini masih lemah, banyaknya lembaga pemerintah yang tidak tepat fungsi menyebabkan borosnya belanja Negara untuk membayar gaji bulanan para karyawan. Kelemahan tersebut ditambah dengan para ponggawanya yang tidak sesuai dengan proporsi keahliannya. Menteri perhubungan kita apakah seorang lulusan sarjana dan pascasarjana transportasi? Menteri komunikasi kita apakah seorang jebolan ITB atau ITS atau universitas teknik lainnya? Penulis meyakini, bahwa penempatan para pemimpin institusi kita didominasi para elit politik yang hanya mementingkan kepentingan partainya. Politik anggaran dan APBN kita saya kira juga belum sepenuhnya baik. “penyunatan” anggaran untuk proyek dan pembangunan di daerah masih sering terjadi. Aliran dana dari pemerintah pusat ke daerah selalu menciut dikala sampai ke tingkat daerah. Untuk masalah APBN apa lagi. Saya “keukeuh” dengan pendirian saya bahwa pendidikan merupakan investasi yang paling menjanjikan. Pembentukan sumber daya insani perlu dioptimalkan dalam rangka membangun karya bangsa yang membanggakan. Apakah anda tahu dengan india? Berpakah jumlah Ph.D bidang sains disana? Sebuah data yang cukup mencengangkan, India menempati posisi pertama untuk di kalangan Negara ketiga untuk volume Ph.D bidang sains. Maka tak ayal, produksi otomotif India mampu menggedor pasar Indonesia yang konsumtif. Sebut saja Bajaj, market sharenya berangsur angsur naik hingga 5% untuk penjualan sepeda motor.

Nampaknya india benar benar bersungguh sungguh dalam membangun negaranya lebih baik lagi, bagaiman dengan kita? Kita masih berkutat dengan harga sembako yang mahal. Kita masih terisolasi dengan masalah internal kita dan nampaknya belum ada rancangan inovasi ke depan. Kapan Indonesia mampu mengekplorasi blok-blok minyak kita sendiri? Kapan Indonesia mampu membangun industri manufaktur dengan baik dan menghentikan industri bahan mentah?. Ini berakar dari masalah struktrural kita. Sistem mengikat kita untuk tidak dapat berinovasi membangun bangsa. Sekilas ini adalah drama, tapi benarkah, kapan berakhirnya? Eposide melankolis, tangis tangisan sudah kita lewati bersama, namun tak pernah berujung. Lelah

Membangun bangsa tanpa kultur itu nonsense. Bangsa kita kaya akan budaya. Sebagian ada yang mengatakan bahwa budaya akan menghambat laju pembangunan bangsa. Saya kira itu salah. Setiap Negara yang maju justru dibangun atas budayanya masing. Jepang dibangun atas busaya disiplin dengan kesungguhan. Amerika dengan segala kontroversinya dibanguan atas budaya teknologi dan informasi. Budaya justru merupaka ruh bangsa. Tanpa ruh bangsa akan mati. Budaya memang mengakomodir seluruh entitas mikro. Selalu berpulan kepada pribadi kita masing masing. Budaya inkonsisten, undisipliner, berbohong, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak menjadi hal yang aneh untuk bangsa kita, itu biasa. Kita dibentuk oleh kolonialis menjadi bangsa inlander. Yang terburuk adalah saat kolonialisasi belanda. Kultur menjilat penguasa, suap, malas bekerja, dan lain sebagainya sudah menjadi warisan leluhur yang masih “ dipegang teguh “.

Secawan teh hangat yang sedang kita nikmati terasa pahit saat menonton drama bangsa. Kecemasan atas masa depan yang lebih baik selalu menghantui kita setiap saat. Semoga kita dapat menikmati teh hangat yang benar benar nikmat dan manis.Semoga, cogito ergo sum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun