[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu film James Bond pernah shooting di pulau ini, Ko Tapu, Ao Phang Nga."][/caption]   Sebuah pulau nun jauh di negeri seberang, sebuah pulau yang terpencil dari negerinya sendiri dimana nenek moyangnya adalah orang Indonesia. Ini adalah potongan perjalanan sewaktu di Phuket, Thailand, saya ceritakan terlebih dahulu karena ini potongan yang menarik dari hasil backpacker ke pulau-pulau di Laut Andaman. Laut Andaman secara geografis menghubungkan Pulau Langkawi-Malaysia, lalu Aceh-Indonesia, dan Phuket-Thailand, penyatuan ini dikenal sebagai satu lempeng Sunda. Kali ini saya bertutur soal kehidupan umat muslim di suatu pulau kecil di Laut Andaman, Phuket. Bicara soal Phuket memang identik dengan pantai tapi dalam perjalanan kali ini saya lebih banyak singgah ke pulau-pulau yang tersohor indah di lautan Phuket, termasuk pulau yang akan saya ceritakan ini. Kapal besar yang kami naiki sudah meninggalkan Ko Ping-Gan dan Ko Tapu atau lebih dikenal James Bond Island, kini kami dialihkan dengan kapal-kapal kecil untuk menuju Koh Panyee (Pulau Panyee). Lihat pulau ini di Google. Kali ini sembari jalan kita bisa menyentuh air karena pakai kapal kecil dan tentu kadang kita mesti beralih tempat ke kiri atau ke kanan untuk keseimbangan.  Gugusan pulau di Laut Andaman Maklum dalam perjalanan ini saya bersama dengan turis negeri-negeri Eropa yang kekar dan gemuk sedang kapal kami kecil dan berombak walau tidak besar. Memang para nakoda dan pengelola wisata ini sudah tahu benar kapan mesti menuju tempat-tempat wisata supaya air tidak pasang atau saat ada ombak besar datang.
Kapal menuju Koh Panyee Sekitar 20 menit kapal kecil ini menepi di dermaga, yang paling menjadi perhatian saya adalah peringatan tsunami. Kalau memang terjadi tsunami tentu saja satu pulau ini habis warganya.
Koh Panyee pier Pulau ini walaupun mempunyai dataran yang menjulang tinggi tapi penduduknya semuanya tinggal di dataran rendah, di tepian pantai. Nenek Moyangnya Berasal dari Pelaut Indonesia Konon ada seorang nelayan laki-laki Jawa, Indonesia, bernama Toh Baboo yang sejak 200 tahun lalu datang ke pulau ini beserta dua keluarga lainnya meninggalkan negeri kita, Indonesia, guna mencari tempat baru untuk hidup mereka. Tentu mendapatkan lahan di daratan Thailand adalah hal yang tidak mudah. Maka Toh Baboo dan keluarganya mencari pulau yang sekiranya bisa dihuni. Ketiga keluarga tersebut pun bersumpah di internal mereka:
Jika salah satu dari mereka menemukan sebuah tempat di mana ada banyak ikan dan di mana semua orang bisa hidup, maka yang menemukan tempat tersebut harus memberi tahu dengan cara menaikkan bendera di sebuah gunung setinggi mungkin, sehingga orang lain bisa melihat dan bergabung dengan mereka.
Akhirnya Toh Baboo menemukan pulau dimana berkelimpahan ikan dan dia pun ingat akan janjinya. Lantas dia menaikkan bendera di atas tebing yang menjulang tinggi. Dan inilah akhirnya menjadi nama pulau itu, Koh Panyee (Pulau Bendera). Pulau ini berpenduduk sekitar 1.500 jiwa dari sekitar 315 keluarga, mereka sebenarnya mempunyai garis keturunan yang dekat. Tentu akan menjadi hal yang menarik jika suatu saat saya menelusuri bagaimana pernikahan mereka apakah ada hubungan sedarah atau tidak. Bendera itu Ada di Tebing yang Tinggi Ya, cerita tadi memang kalau dilihat benar adanya. Pulau ini mempunyai tebing yang sangat tinggi disisi kanan dari dermaga, di gambar dibawah ini tebing itu nampak pada bagian kiri yang terpotong karena saya tidak bisa mengambil sampai bukit atasnya.
Jajaran tebing yang tinggi dan keramba ikan Tepat di bawah tebing itulah berdiri masjid. Hampir semua pulau di sekitar Koh Panyee ini tinggi besar dan menjulang serta berkapur.
Masjid Koh Panyee, sedang dalam tahap renovasi Pulau ini berpenduduk muslim, dan terkenal pula dengan Moslem Village, ada pula yang menyebutnya Muslim Floating Fishing Village karena penduduknya bermata pencaharian nelayan. Kehidupan adalah Survival Saya dan 2 orang Australia memilih berpisah untuk menelusuri pulau ini, saya lihat mereka berdua mempunyai minat yang sama dengan saya, suka dengan 'people touch' masuk dalam lingkup kehidupan penduduk lokal dan berdialog kecil dengan mereka. Hanya sedikit orang yang minat untuk berkunjung dan masuk ke pulau ini karena di pulau ini yang dijual menjadi wisata bagi Pemerintah Thailand adalah sejarah bukan keindahan seperti tempat pembuatan film James Bond, cuma kalau kita cermati akan takjub luar biasa, mereka bisa bertahan hidup dimana jauh sekali dari kota, mereka membuat teknik menancapkan batangan-batangan kayu untuk membuat rumah diatas laut yang dangkal, air minum yang mesti mereka tampung dari bukit yang tinggi, dan bermula tidak ada listrik sampai sekarang akhirnya mereka bisa menyediakan generator sendiri. Suatu teknik yang luar biasa, itulah survival! Saya menyadari bahwa survivallah yang membuat manusia akan selalu berpikir dan menjadi maju.
Kehidupan yang bermula dari nelayan menjadi destinasi wisata Pada saat ini kehidupan mereka pun bergeser, dari nelayan menjadi kehidupan bersumber kepada pariwisata. Mereka membuka restoran dengan sajian ikan yang sangat segar, menjual baju dan souvenir serta membuat penginapan untuk wisatawan. Dinas pariwisata Phuket pun selalu menjual destinasi wisata ke pulau ini, patut kita hargai dan ditauladani usaha ini. Salam tak Terjawab Wajah penduduk pulau ini memang nampak seperti wajah Indonesia, paras negeri melayu. Saya tidak diperkenankan untuk mengambil foto di kerumunan penduduk tempat mereka jualan, kata sang guide dia akan meminta balik sejumlah uang kalau dilakukan. Saya menurut saja. Namun berikut saya dapatkan foto dari traveler lain yang berkunjung ke Koh Panyee. Dari mukanya sangat mirip dengan paras orang Jawa.
Penduduk lokal yang wajahnya berparas suku Jawa, Indonesia. Foto courtesy by: http://www.flickr.com/photos/jamiemonk/ Kulit penduduk lokal pulau ini lebih hitam karena tersengat panas, sebuah kehidupan di pantai. Saya menyusur dengan sesekali merunduk karena banyak dagangan mereka yang digantung-gantung, nampak mereka menjual baju muslim juga. Yang laki-laki pun memakai topi muslim dan yang perempuan berkerudung. Saya temui dan saya ucapkan salam "Assalamu alaikum". Ah tapi kok mereka tidak menjawab ya? Mungkin cara 'pronunciation' saya yang kurang tepat, karena memang intonasi Thai dengan Indonesia sedikit berbeda pikir saya, atau yang lain ya?
Travel Tips: Jika hendak ke Koh Panyee diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat, tidak terlalu pendek. Layaknya berkunjung ke tempat-tempat ibadah muslim umumnya. Saya dan 2 orang Australia tadi menuju ke sebuah sekolah, ya saya beruntung karena saat ini sedang jam sekolah.
Sekolah terletak ditepian pantai dengan latar belakang pulau-pulau lainnya   Saya menyapa gurunya, nah kali ini 'Assalamualaikum' saya terjawab. Senyumlah saya saat itu.
Suasana dalam kelas yang cukup sederhanda Tahu saya masuk ke ruang kelas, 2 orang Australia ini pun ikut masuk. Saya ikut duduk dalam kelas, kelihatannya kelas ini rilek, kata orang Australia itu "lovely school" sambil berdecak-decak kagum dan diulang beberapa kali, keliatan sekali dari mukanya dia terkesima. Sekolahan ini pun berada diatas air, bau lumpur laut pun tercium, dan dibawahnya banyak terdapat kepiting khas dimana salah satu capitnya besar sebelah.
Kepiting jenis fiddler menarik betinanya dengan capit besar sebelah Dan coba Anda amati capit yang mana yang lebih besar, kanan atau kiri? Ya kepiting jenis fiddler untuk yang jantan mempunyai capit kiri yang lebih besar guna menarik betinanya. Saya pamit dan keluar kelas, dan temen Australia tadi memberikan oleh-oleh boneka koala, saya membaca ketulusan mereka yang sudah mempersiapkan cindera mata dari negaranya, suatu yang patut saya tiru dimanapun nanti jika saya traveling. Ada kisah nyata dari Koh Panyee ini, yang akhirnya dijadikan short film salah satu bank di Thailand, video ini sangat menyentuh hati dan penuh dengan ide dan semangat. Diluar nampak ada lapangan sepak bola yang di beton, dan beberapa tempat dikasih lubang untuk mengalirnya air. Lapangan sepak bola ini diilhami dari video diatas awal mulanya, jadi sekarang mereka bisa bermain di daratan dengan background laut dan pulau-pulau yang indah. Ditepi lapangan ada green house untuk pembelajaran hidroponik, ya ini mulia karena di tengah laut pasti sayuran sangat mahal.
Jendela sekolah yang ditempeli gambar satwa laut Sekolah ini pun mengenalkan lingkungan laut, di jendela sekolah tampak berbagi gambar satwa laut. Juga mempunyai sample species berbagai awetan dari satwa laut di ruangan tersendiri.
Kondisi bangunan Koh Panyee School, terbuat dari papan kayu Terakhir saya kunjungi kantin sekolah ini, dari struktur bangunan sekolah terbayang kesederhanaan kehidupannya tapi tersirat kemampuan survivalnya.
Rumah penduduk lokal Kembali menyusuri rumah-rumah penduduk, tentu seperti menyusuri kehidupan kampung nelayan. Lihatlah apakah kali ini saya sedang di Indonesia? Bentuk rumah dan pakaian batik yang dijemur itu serta gilingan tebu sama dengan suatu wajah rumah di Muara Angke, Jakarta.
Memelihara burung Belum lagi ada penduduk yang hobi memelihara burung dan jenisnya pun burung kutilang, ukiran sangkar burungnya saja yang berbeda dengan negeri kita. Bertandang ke Masjid Koh Panyee Ujung perjalanan saya adalah ke masjid, nampak sudah masuk waktu dzuhur, bahkan beberapa warga sudah keluar dari dalam masjid usai sholat. Saya bertemu dengan beberapa remaja di samping masjid, kembali saya ucapkan salam tapi kembali lagi tidak terjawab. Saya sempat mengulanginya namun tetap sama saja, tidak dijawab.
Penduduk lokal sedang di depan masjid, nampak tempat berwudhu Hal ini sampai saat ini masih menjadi pertanyaan tersendiri bagi saya. Apakah mereka berbeda agama, padahal ini kan kampung muslim memang. Entahlah!. Saya dapat kode dari pemilik kapal untuk segera naik, niat sholat dzuhur di Pulau Koh Panyee urung, sayang sekali kesempatan untuk melakukan sholat di masjid di tengah laut ini terlewatkan.
Pandangan di dalam Masjid Koh Panyee  Namun sebelum pulang saya sempatkan memasuki masjid ini beberapa saat, saya bertemu dengan seorang Ibu tua di dekat kotak dana infak. Secara dialog lisan memang tidak tersambung, tapi secara bahasa tubuh Ibu ini sangat 'welcome' dan mengucapkan terima kasih. Inilah akhir dari perjalanan saya di Koh Panyee, dalam beberapa buku travel disebutkan bahwa tempat ini diberikan kategori "tempat yang tidak umum, yang tidak bisa ditinggalkan" Akhirnya selamat tinggal saudaraku, inilah syair untukmu:
Ciptaan: Ibu Sud (1940)
 Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudera Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai  Source dari http://wahyuhandoko.blogspot.com yang merupakan pemilik blog tersebut dan account Kompasiana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya