Mohon tunggu...
Wahyu Hidayat
Wahyu Hidayat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Insan Akademis, Pencipta dan Pengabdi. Follow @wahyu_fa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelas Menengah Sedang "Diteror"

23 April 2012   06:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335163921963848983

[caption id="attachment_183732" align="aligncenter" width="630" caption="http://minimalistpackrat.com/2011/10/16/occupy-daytona-florida-raise-your-voice/"][/caption]

Setelah menelusuri Film Capitalism: A Love Story karya Michael Moore, saya merasa ada yang aneh terhadap perilaku masyarakat kita. Dalam film tersebut, Michael Moore mencoba mengkritik kapitalisme di Amerika yang sudah tak bermoral dan tak beretika. Praktek kapitelisme telah membuat keuangan AS menjadi rontok dan berakhir tragis karena kasus Subprime Mortgage (Kredit Kepemilikan Rumah dengan Jaminan berupa hak Tanggungan). Kasus tersebut menandai goyahnya kelas menengah di AS, yang kemudian menyebabkan warga kelas menengah di AS bangkrut dan kehilangan Rumahnya karena telah disita Bank.

Fenomena diatas telah mulai marak ditengah-tengah kita. Dengan berbagai macam fasilitas kemudahan yang ditawarkan oleh pemodal, dengan perlahan-lahan telah menyeret kita kepada perilaku bodoh, yakni budaya konsumtif dan budaya mengutang. Kecemasan saya adalah masyarakat dengan mudahnya terbawa pada arus zaman yang tak faham substansi. Konsumsi, hari ini telah menjadi basis pokok dalam tatanan sosial, advertising 'reklame' sebagai “fungsi tanda” telah mengambil alih tanggung jawab moral bagi masyarakat dan menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer dari hypercivilization (peradaban kelas tinggi).

Siapa yang membangun persepsi paling kuat adalah pemenangnya. Persepsi itu, meskipun bukan kenyataan yang sebenarnya, diyakin banyak orang sebagai kebenaran. Saat itulah terjadi yang dipercayai sebagai sumber kebenaran bukanlah realitas. Melainkan simulacra. Pemegang media adalah pemegang kebenaran. Hal ini yang terjadi sekarang, sebagai warga kelas menengah mencoba untuk mengikuti apa yang telah di persepsikan oleh media. Misalnya, orang kaya itu ketika ia memiliki rumah mewah, mobil, fashion terbaru, gadget yang sebenarnya itu bukan realitas, namun asumsi publik yang dibangun oleh pemodal untuk meraup untung yang banyak. Di era moderen, pasar menjadi dasar dan uang ibarat “Tuhan”.

Padahal, warga kelas menengah yang ingin memiliki barang produksi tersebut sebenarnya jebakan dari kapitalisme. Kebebasan yang diperoleh dalam hypercivilization, menurut baudrillard sepenuhnya berasal dari sistem komoditas.Membeli komoditas adalah aktifitas yang sebenarnya direkayasa, sehingga siapa yang menggunakan jam Rolex berada pada status sosial tinggi. Bagi penulis, itulah spirit kapitalisme yang sedang dibangun di masyarakat.

Syahwat Konsumtif

Warga kelas menengah merupakan mereka yang memiliki dana sisa diluar untuk kebutuhan sandang, pangan, papan dasar (disposable income) yang cukup besar. ukurannya adalah 1/3 dari pendapatan kelas menengah adalah disposable income. Akhirnya, mereka leluasa membeli kebutuhan diluar kebutuhan dasar seperti membeli TV, AC, Lemari Es, liburan di bioskop, Restoran, Cafe-cafe dll. Disposble income ini telah menjadikan kelas menengah memiliki keleluasaan belanja dan juga mendorong mereka untuk berperilaku konsumstif. Misalnya, antrean diskon HP BlackBerry, Tiket Konser Suju dll.

Perilaku “mengutang” saat ini ibarat gunung es, fasilitas kosumtif yang difasilitasi kredit mempermudah masyarakat, misalnya jika ingin membeli motor cukup dengan DP Rp 0-500 Ribu. Meskipun pelan tapi pasti, sehingga sekali saja sudah memperoleh kemudahan, kita akan mencari kemudahan-kemudahan lain guna memenuhi syahwat konsumtifnya. Sebuah ironi, Negara mengutang, masyarakatnya pun ikut mengutang.

Kelas menengah yang rapuh, mudah tergoda dengan hutang, untuk memenuhi kebutuhan diluar kebutuhan dasar. Dengan uang yang pas-pasan, namun berani membeli ‘gaya’ demi menaikan status sosial. Tentu, sebagai mahasiswa kita mulai mengatur keuangan, jangan demi pergaulan malah galau dalam kebutuhan dasar seperti makan, buku tulis, sabun, sampo dll. Setidaknya, jangan sampai kita terpengaruh terhadap sesuatu hal yang tidak substansial. Karena, ketika gaya hidup konsumtif sudah mendarah daging, niscaya perekonomian keluarga gonjang-ganjing dan kebangkrutan pun mengintai setiap saat. Wallahua’lam. semoga bermanfaat.

UIN Sunan Kalijaga, 23/4/2012 pkl 14.00 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun