Mohon tunggu...
Wahyu Eko Widodo
Wahyu Eko Widodo Mohon Tunggu... profesional -

Manchester United Fans, Alumni Ganesha 10, entrepreneur, aktivis sosial @desainovasi, suka sama tema sains-teknologi, ekonomi, dan sosial-politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghargai Konsensus, Kunci Hidup Damai dalam Keberagaman

16 Maret 2013   00:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:42 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13633935191759686635

Indonesia banyak terjadi konflik? antar suku, antar agama, antar alirang agama, antar sekolah, antar kampung bahkan sampai antar tetangga. Hmm mungkin tidak sebanyak apa yang diopinikan media massa, dibanding jumlah penduduk Indonesia yang hampir 250 juta jiwa, jumlah konflik di Indonesia masih cukup sedikit dibanding negara-negara lain. Namun yang sedikit ini perlu juga disolusikan, agar tidak membesar. Hidup dalam keberagaman memang memerlukan aturan-aturan bersama, tidak bisa saling memaksakan kehendak pribadi. Mungkin anda pernah mendengar kata konsensus? menurut saya menghargai konsensus inilah salah satu cara agar bangsa ini damai. Konsensus berasal dari kata cōnsēnsus yang berarti persetujuan, kesepakatan, juga dari kata cōnsentiō yang berarti merasa bersama, setuju (wiktionary.org). Secara istilah konsensus berarti:

  1. A process of decision-making that seeks widespread agreement among group members.
  2. General agreement among the members of a given group or community, each of which exercises some discretion in decision-making and follow-up action.

Bagaimana dengan konsensus di Indonesia? bangsa kita ini sebenarnya sudah mempunyai konsensus yang disepakati, dalam tataran berbangsa dan bernegara kita mengenal Pancasila, UUD 45 dan produk hukum turunannya, di dalam agama kita mempunyai lembaga agama masing-masing seperti MUI, Walubi dsb yang disepakati mengambil fatwa dalam agama masing-masing di Indonesia. Ada juga norma-norma tak tertulis seperti kesusilaan, kesopananan dll, di suatu organisasi pun ada konsensus berupa AD/ART dan seterusnya. Tentu konflik akan sangat minim terjadi bila semua orang menghargai konsensus ini. Sebagai contoh, dalam satu organisasi ada konsensus cara pemilihan ketua umumnya dengan musyawarah, setelah musyawarah selesai dan terpilih satu orang, semua orang menghormati hasilnya dan bekerjasama kembali mewujudkan visi bersama. Contoh lebih besar dalam pilkada, ada peraturan-peraturan seperti dilarang black campaign, money politics, voting langsung dan sebagainya. Ini kesepkatan bersama, tentu tidak akan terjadi konflik bila aturan ini dilakukan dan dihargai bersama. Contoh yang lebih krusial lagi yang menyangkut agama, misal ada kelompok yang bernama Ahmadiyah mengaku bagian dari Islam, padahal MUI sebagai lembaga yang disepakati memberikan fatwa menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam karena pokok ajaranya menyimpang. Maka harusnya semua orang menghargai konsensus yang ada. Satu lagi tentang pendirian rumah Ibadah, ada produk hukum SKB 3 menteri dsb, salah satunya ada aturan bahwa saat pendirian rumah ibadah harus ada persetujuan warga sekitar. Maka jika warga sekitar tidak menyetujui, ya harusnya menghargai, di Bali yang mayoritas Hindu, masjid sangat sedikit, ya karena saat akan mendirikan masjid ternyata warga sekitar tidak setuju, ya sudah kembalikan ke aturan/konsensus yang ada, hargai. Setiap orang mungkin punya standar kebenaran dan kebaikan masing-masing, membuatnya sama adalah suatu hal yang mustahil. Maka untuk membuat kedamaian, meminimalisasi konflik, membuat suatu kesepakatan bersama, aturan-aturan bersama, konsensus, lalu menghargai dan melaksakannya adalah salah satu jalan keluarnya. konflik terjadi ketika masing-masing orang bebas seenaknya mengikuti apa yang menurutnya benar, sering dikaitkan denga liberalisme ala barat yang kebablasan, tidak menghargai aturan bersama. Mungkin ada yang tidak puas dengan konsensus yang ada, ada yang tidak sepakat dengan pancasila, ada yang tidak sepakat dengan SKB 3 menteri, ada yang tidak setuju dengan AD/ART organisasi dan sebagainya. Menyikapi hal ini harusnya ada 2 opsi, pertama kita menghargai dan ikut walau berat hati, kedua mengubah konsensus tersebut dengan cara legal-formal, cara yang sesuai konsensus juga. Tidak ada opsi menggunakan cara sendiri di luar konsensus karena tentu akan menjadi konflik. Contoh mudahnya misal kita warga Belanda dan kita tidak setuju dengan undang-undang legalisasi pernikahan segender. Apa langkah harusnya kita lakukan? ya kita ikut pemilu, masuk menjadi anggota parlemen dan mempeejuangkan perubahan undang-undang itu, ini cara yang legal-formal sesuai konsensus. Bukan dengan cara menge-bom gedung parlemen, demo anarkis dan sebagainya. Ini yang akan jadi konflik dan kalaupun berhasil, bisa saja nanti dibalas dengan hal serupa. Sebagai seorang muslim, saya sendiri kagum dengan apa yang dilakukan Rasulullah dalam menghargai konsensus. Pernah ada perjanjian hudaibiyah antara Rasul dengan Penguasa mekkah, di satu sisi merugikan Islam karena tidak boleh masuk Makkah, namun Rasulullah menghargai perjanjian tersebut sampai akhirnya penguasa mekkah sendiri yang mengingkari perjanjian. Pun begitu dengan piagam Madinah, dalam keberagaman, dibuatlah sebuah undang-undang bersama antar elemen bangsa, termasuk dengan yahudi. Semua sepakat, hak-hak dan kewajiban masing-masing terdefinisikan jelas. Rasulullah yang saat itu sebagai penguasa Madinah menghargai konsensus tersebut, sampai pada akhirnya kamu yahudi sendiri yang mengingkari konsensus, yaitu membantu Romawi menyerang Madinah. Karena hal inilah kemudian yahudi diusir dari Madinah, bukan karena beda golongan, tapi karena mereka melanggar konsensus, kesepakatan bersama. Hidup dalam keberagaman memang membutuhkan kesabaran, hargai konsensus yang ada, jikalaupun kita tidak setuju dengan segala peraturan yang ada karena tidak sesuai dengan ideologi kita, maka ubahlah dengan cara yang konstitusional, yang sesuai konsensus, jangan seenaknya sendiri, semau diri kita, liberalisme kebablasan, karena kita tidak hidup sendiri maka menghargai kesepakatan-kesepakatan bersama adalah kunci hidup damai dalam keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun