Mungkin karena itulah Wiji sangat ditakuti, bahkan masuk dalam daftar orang yang wajib dihilangkan. Karena terlalu berbahaya bagi kepentingan, hanya akibat satu orang biasa yang belajar secara otodidak.Â
Dia bukan seorang alumni universitas, dari golongan mampu, dia hanyalah orang biasa anak dari tukang becak di Solo. Sekolah pun hanya sampai bangku SMP, karena pendidikan menengah karawitan namun tak lulus. Sungguh inspiratif, bahwa pendidikan tak hanya terukur dalam nilai dan ijazah. Namun pendidikan adalah soal bagaimana kita belajar dan berpraxis.
Mungkin karena inilah, Film Istirahatlah kata-kata karya Yosep Anggi Noen perlu ditonton. Karena dia mengangkat tentang sisi lain dari Wiji, bukan soal kepahlawananya. Namun lebih kepada sebuah scene di mana kita akan dibawa pada suatu situasi, yang penuh gejolak, kecemasan, ketakutan dan kerinduan. Itulah yang dialami Wiji saat pelariannya menghindari sergapan penguasa, dari kota pindah ke kota lain termasuk ke Pontianak, dengan meninggalkan anak dan istri tercinta.Â
Film Istirahatlah Kata-Kata mungkin akan terasa tak sehebat Spiderman atau Ironman, namun paling tidak inilah film yang jujur dalam perspektifku. Mencoba membangun rasio baru, di mana mereka yang dihilangkan masih hidup meskipun dalam sebuah karya seni. Istirahatlah kata-kata, memang tidak banyak dialog bahkan bisa dibilang minim.Â
Namun pesan yang ingin disampaikan, sangat mudah diterima. Apalagi yang sudah menyelami dan mengenal wiji. Istirahatlah kata-kata sebuah upaya keluar dari rasionalitas hegemoni kultural, serta bukti jika Wiji boleh lenyap namun karya dan semangatnya akan tetap ada mengancam para penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H