Film itu?
Film adalah gambar hidup, yang merupakan refleksi kehidupan manusia. Lahir dari imajinasi berbasis realitas, serta kreativitas untuk mengambarkan serta menceritakan kehidupan manusia. Bukan hanya manusia namun apa yang terjadi disekitar kita, masa lalu hingga gambaran masa depan. Begitulah aku memandang sebuah film.
Film juga bisa menjadi sebuah karya untuk memberikan sebuah pandangan baru, merekonstruksi pemikiran seseorang sehingga kadang terhegemoni oleh cerita dalam film tersebut. Salah satu film yang digunakan untuk mengubah stigma ialah Rambo, dimana diceritakan kemenangan Amerika serta kekejaman pasukan merah Vietkong. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, Amerika lah yang tunduk membisu, sementara Vietnam lah yang keluar membusungkan dada sebagai pemenang.
Sama seperti ketika kita disuguhi dan dijejali kisah heroik Soeharto, dalam film Janur Kuning (serangan umum 1 maret 1949) dikisahkan jika Soeharto adalah pahlawan. Secara tidak langsung, bagi kita yang tidak mengetahui kondisi sebenarnya akan mutlak percaya. Apalagi berbekal nama besar sebagai pahlawan, presiden dan raja Indonesia.
Bukan hanya itu saja, film juga sebagai alat propaganda. Menceritakan kisah sejarah yang meragukan kebenaranya, medekonstruksi lalu merekonstruksi pemikiran tetang sebuah ideologi. Arifin C. Noer dengan G-30-Snya mampu membius penontonya, bahkan mampu mengubah padangan berjuta-juta orang terkait sebuah peristiwa.
Berbondong-bondong manusia digiring dan diwajibkan menonton film tersebut, suka tidak suka harus melihatnya. Sebagian besar dari mereka percaya, namun sebagian kecilnya lagi menolaknya. Film tersebut diceritakan seolah-olah nyata, adegan hingga alur ceritanya. Walaupun cukup membosankan, namun pada beberapa bagian berhasil membius kognitif penontonya. Akibat dari pengetahuan yang hanya melihat dari satu perspektif, maka beberapa scene dalam film tersebut mutlak dipercaya sebagai kebenaran.
Bayangkan jika si penonton sudah paham dan dibekali pengetahuan yang berbeda, maka mereka akan terawa terbahak-bahak melihat film tersebut. Apalagi mereka keluarga dari orang yang telah dilenyapkan dan dihancurkan hak-haknya sebagai manusia. Pasti mereka akan tertidur pulas ketika film itu diputar, bahkan akan muncul sumpah serapah dihati mereka.
Film G-30-S sungguh menggelikan, minim riset dan hanya alat propagandis. Alur cerita monoton serta kurang menceritakan kondisi nyata. Layaknya sebuah sinetron, banyak adegan lebai bertolak belakang dengan cerita para pelaku sejarah. Lihatlah Aidit berkumis tebal dan merokok, faktanya Aidit bukan maniak rokok. Bahkan pernah mengusulkan jika anggota partai berhenti saja merokok, demi menghemat uang agar bisa melaksanakan kongres.
Film memang sarat penggiringan isu, walaupun hanya sebagai hiburan dikala jenuh. Namun juga merupakan kampanye terselubung, propaganda, dan edukasi terkait hal yang ingin disampaikan. Film juga merupakan padangan imajinasi akan kehidupan menurut si pembuat, tak jarang terkadang film merupakan alat unjuk kedigdayaan.
Diluar film dalam makna serta pemahaman yang subjektif. Aku menantikan reborn dari G-30-S. Berharap Soleh Solihun memerankan Aidit dan G Pamungkas berperan sebagai Njoto, Sementara Soeharto diperankan oleh Desta. Oh iya yang menjadi Gerwani adalah dedek-dedek JKT-48. Hahahahah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H