Hantu Hutan Bonggan
Oleh Wahyudi Nugroho
Sepasang pendekar muda itu segera meninggalkan pinggir sungai Brantas. Puluhan pasang mata mengikuti keduanya naik punggung kuda dan memacunya kearah barat.
Sekar Arum memacu kudanya seperti angin. Sama sekali tidak mau menunggu senapati Naga Wulung. Menolehpun ia enggan. Hatinya masih panas atas peristiwa yang baru terjadi. Â
"Arum tunggu !! Kenapa kau pacu kudamu secepat angin ?" Tanya Naga Wulung setengah berteriak.
Sekar Arum tetap diam. Bahkan ia menggebrak perut kudanya agar lebih cepat lagi larinya. Terpaksa Naga Wulung mengikutinya, iapun menggebrak perut kudanya agar bisa terus membersamai kekasihnya.
"Kita mampir sebentar ke desa Galuh. Tidakkah kau ingin melihat bekas rumahmu ?" Kata Naga Wulung mengalihkan perhatian. Namun Sekar Arum tetap diam tak memberi jawaban sepatah katapun. Akan tetapi gadis itu membelokkan kudanya ke jalan menuju desa Galuh.
Menjelang matahari terbenam mereka sampai ke tempat yang telah mereka kenal bersama. Puing-puing bangunan istana Medang Kamulan di depan matanya kini telah menjadi hutan belukar. Demikian juga bekas rumah Tumenggung Gajah Alit, semuanya telah tertutup tanaman.
Bangunan di belakang rumah yang dulu tidak ikut terbakar kondisinya sudah rusak parah. Atapnya sudah jebol, sebagian kayunya telah roboh ke tanah. Tanaman perdupun telah banyak tumbuh di sana.
"Kita menginap malam ini di sini saja. Besuk pagi baru kita lanjutkan perjalanan." Kata Naga Wulung.