GETARAN CINTA CEMPLUK WARSIYAH
Oleh Wahyudi Nugroho
Gadis itu memang cantik. Cantik sekali. Â Pantas ia jadi kembang desa yang banyak diperbincangkan orang. Meski sederhana ia selalu berpakaian rapi dan bersih, berbeda dengan gadis-gadis kampung lainnya. Dari tubuhnya terpancar bau wangi, lembut mempesona, membuat nyaman untuk selalu berlama-lama di dekatnya.
Kulitnya coklat sawo matang. Matanya berbinar terang. Terlebih saat ia tertawa, elok matanya seperti bintang kejora layaknya. Gigi putih yang berderet rapi itu menambah jelita, terasa enggan mata beralih pandang melihat parasnya.
Meski banyak pemuda desa mengagumi kecantikannya, namun tak satupun berani menyuntingnya. Mereka menyadari terlalu tinggi menggantang mimpi. Bagai pungguk merindukan bulan, pasti tak sampai. Lebih baik menikmati keindahan jika ada kesempatan, memandanginya jika beruntung bertemu, sepuasnya. Bermimpi memilikinya hanya akan merusak hati.
Namanya Rara Warsiyani. Ada pula yang mengatakan Rara Warsiyah. Mana nama yang benar, tidak ada yang tahu. Juga tak ada yang ingin tahu. Nama itu tenggelam oleh panggilan sayang ayahnya, sejak pertama melihat anak gadisnya dilahirkan ibunya, bertubuh kuat, gemuk, berpipi nyempluk. Ki Ageng Sura Menggala, ayah gadis itu, lebih senang memanggilnya Cempluk.
Baru lima hari Cempluk mengenyam manisnya air susu dari puting ibunya. Kebahagiaan dalam keluarga itu terenggut, ibunya menghembuskan nafas terakhir. Sejak saat itu sampai dewasa ia tinggal bersama ayahnya. Sang ayahpun enggan menikah lagi, rasa cinta dan setianya kepada isteri, ia curahkan kepada Cempluk, putri semata wayangnya.
Meski tinggal di desa wilayah kademangan Kertasari, tapi Cempluk bukan keturunan "wong aceplik", rakyat jelata biasa. Dalam tubuhnya mengalir tetesan darah priyagung, bangsawan. Eyangnya, Ki Ageng Kuthu Suryangalam, adalah seorang adhipati Wengker. Namun ayah Suryalana, nama asli Sura Menggala itu, mati terbunuh, setelah mengadu kesaktian dengan Pangeran Bondan Kejawan, Â atau Bathara Katong, pangeran dari Majapahit.
Pembunuhan itu adalah hukuman yang ditimpakan kepada Ki Ageng Kuthu Suryangalam, karena dianggap balela kepada raja Brawijaya V. Adipati Wengker itu berani meledek raja lewat pertunjukan seni yang dipamerkannya, reyog. Singa barong yang kepalanya diduduki burung merak itu adalah sindiran, atau ejekan kepada Brawijaya V, raja mereka. Semua kebijakannya banyak dipengaruhi oleh seorang wanita dari Campa, Dara Petak.
Sejak kematian Ki Ageng Kutu Suryangalam, Suryalana diperintah Bathara Katong menjadi demang di Kertasari. Ia tinggal di desa Ngampal hingga Cempluk lahir. Karena warisan kesaktian ayahnya ia diangkat sebagai pimpinan prajurit oleh Bathara Katong, Â yang telah mengambil alih kedudukan sebagai adhipati Wengker. Nama baru disematkan padanya, Ki Ageng Sura Menggala.