Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 55. Tetirah ke Candi Jalatunda

17 Oktober 2024   01:39 Diperbarui: 17 Oktober 2024   15:05 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TETIRAH KE CANDI JALATUNDA

Oleh Wahyudi Nugroho

Semua persiapan Pangeran Erlangga dan seluruh keluarga hendak pergi tetirah ke Jalatunda telah selesai. Tiga buah tandu untuk kedua isteri dan anaknyapun telah siap. Perbekalan untuk tinggal selama setengah bulan di pesanggrahan Jalatunda juga telah dimasukkan ke dalam pedati. Limaratus prajurit pengawal tinggal menanti panggilan, kapan mereka harus mengiringi rombongan sang pangeran itu.

Sejak Giriwana di dusun Wawatan Mas itu masih berupa barak-barak tempat pesanggrahan Pangeran Erlangga bersama pengikutnya, telah beberapa kali pangeran Erlangga pergi untuk tetirah ke patirtan Jalatunda ini. Tempat itu adalah tempat yang ia anggap suci, tepat untuk merenung dan menganyam gagasan perjalanan hidupnya ke depan.  Dibangun oleh leluhur Gusti Ayu Galuh Sekar, Sri Isyana Tunggawijaya, putri Mpu Sendok yang menjadi ratu Medang, dan di peristri Sri Lokapala pangeran dari Pulau Bali.

Bertempat di lereng gunung Bekel sebelah barat gunung Penanggungan, terbangunlah sebuah candi tiga tingkat yang sangat indah. Air yang memancar dari lubang candi sangat segar, dan dipercaya penduduk memiliki keramat, membuat mereka yang mandi dan minum air dari sana akan selalu sehat dan awet muda.

Itulah sebabnya para emban yang mengiringi bepergian para putri keluarga Pangeran itu sangat senang. Di patirtan itu keinginan mereka akan terkabulkan, setiap hari, pagi dan sore, mereka bisa mandi sepuas-puasnya. Hampir semua emban yang mengiringi Gusti Ayu Galuh Sekar muda-muda, emban yang dianggap tak kuat lagi berjalan jauh ditinggal di istana.

Dyah Tumambong yang telah ditunjuk Pangeran Erlangga sebagai Kepala Prajurit Pelayan Dalam Istana Giriwana, ikut sibuk mengatur semua persiapan perjalanan untuk tetirah itu. Namun saat tengah malam ia keluar untuk menemui salah seorang kepercayaannya, Sawer Welang, yang tinggal di luar keraton. Sebuah lontar ia selipkan dalam kain penutup celananya.

Ketika telah sampai di depan rumah bambu beratap daun kelapa itu Dyah Tumambong segera mengetuk pintu.

"Siapa ?" Terdengar orang bertanya dari dalam rumah.

"Aku. Segera buka pintumu." Jawab Dyah Tumambong.

"Tuan Tumambong kah ?" Terdengar lagi suara dari dalam.

Dyah Tumambong merasa jengkel. Pintu yang terbuat dari papan kayu nangka itu ditendangnya dengan keras. Palang penutup pintu dibalik papan itu patah. Terdengar benda jatuh dari dalam. Ia dorong pintu itu dan bergegas menerobos masuk ke dalam rumah.

Dengan tergopoh seorang lelaki keluar dari kamar sambil menalikan tali pengikat celananya. Lelaki itu gemetar ketakutan dan cepat-cepat duduk bersimpuh di lantai tanah menghadap Dyah Tumambong. Dadanya yang terbuka masih nampak keringat yang membasahi kulitnya..

"Sudahkah kau tuli. Tak mampu membedakan suaraku lagi ?" Tanya Dyah Tumambong.

"Maaf tuan." Jawab lelaki krempeng itu.

Dyah Tumambong curiga, lelaki krempeng anak buahnya di luar kesatuan prajurit pelayan dalam istana itu, sedang tidak sendirian di rumah. Ia sudah hafal kelakuan Sawer Welang, ia pasti baru saja bersenang-senang.

"Apa yang sedang kau kerjakan ? Hingga tak mengenali suaraku ?" Tanya Dyah Tumambong.

"Ampun tuan." Jawab Sawer Welang dengan suara bergetar.

Tiba-tiba Dyah Tumambong berteriak dengan kerasnya. Memerintahkan seseorang yang ia curigai masih ada dikamar untuk keluar.

"Siapa di dalam ? Keluar !! Jika tidak, aku seret kau !!!"

Sejenak kemudian muncul seorang wanita berrambut awut-awutan keluar tergesa-gesa dari kamar. Ia segera menjatuhkan diri dan bersimpuh di depan Dyah Tumambong.

"Ampun tuan, dia calon isteri saya." Tiba-tiba Sawer Welang berucap.

"Setan. Ternyata kau memang bandot sejak dilahirkan Sawer Welang. Sudah berapa wanita yang kau akui sebagai isterimu. Dasar Bandot." Kata Dyah Tumambong sambil memandangi seluruh lekuk tubuh wanita itu.

Sawer Welang diam saja, hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia baru mendongak ketika Dyah Tumambong memerintahkan agar menjalankan sebuah tugas.

"Ada tugas penting untukmu." Kata Dyah Tumambong.

"Siap tuan. Tugas apa yang harus aku kerjakan ?" Jawab Sawer Welang.

"Malam ini kau harus pergi ke barak-barak orang-orang yang kini mesanggrah di hutan sebelah barat dusun Jungabang"

"Siap tuan."

"Sampaikan suratku untuk Kakang Yuyu Rumpung, pemimpin orang-orang yang tinggal di sana. Agar lebih cepat, kau bawa kudaku, esok hari sebelum fajar kau harus kembali." Perintah Dyah Tumambong.

"Baik tuan. Terus tuan kembali ke istana jalan kaki ?" Tanya Sawer Welang.

"Istana tidak jauh. Agar kaki kudaku tidak menimbulkan kecurigaan, aku akan jalan kaki saja." Jawab Dyah Tumambong.

Lelaki itu menerima sebuah lontar dari tangan Dyah Tumambong. Ia segera berdiri dan melangkah mendekati dinding bambu dekat pintu. Sebuah bumbung bambu bertali serat pohon yang bergantung di dinding itu ia ambil, lontar di tangannya ia masukkan ke dalam bumbung.

"Apakah hanya ini saja tuan yang harus saya bawa ?" 

"Setan. Kapan kau tak minta upah jika aku perintah ?"

"Hanya tuan sumber hidup saya yang tak pernah kering."

"Hahaha setan kau." 

Dyah Tumambong mengeluarkan kampil sutranya dari balik baju. Ia ambil lima keping perak dan melemparkannya ke atas tanah. Sawer Welang tertawa senang melihat lima logam berkilat memantulkan cahaya obor kecil di tiang rumahnya.

"Tumben. Tuan dermawan sekali malam ini ? Pasti ada sesuatu yang tuan inginkan." Kata Sawer Welang.

"Enggak. Kenapa cerewet kau. Itu agar kau lekas berangkat saja mengemban tugas ini. Awas !! Jika fajar besuk kau tak kembali, aku hajar kau. Sudah !!! Aku pulang."

Dyah Tumambong segera keluar rumah bambu itu, melangkah tergesa membelah gelap malam.

Sawer Welang segera berganti pakaian. Iapun memerintah wanitanya untuk juga bersiap-siap. Mereka berdua akan pergi bersama menjalankan tugas dari Dyah Tumambong.

Setelah mematikan obor penerang rumahnya, keduanya bergegas keluar rumah. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda dalam sunyi malam itu. Suaranya membelah udara dan menerobos telinga bayangan hitam yang tengah jongkok di pinggir jalan di balik perdu berdaun rimbun.

Bayangan itu lantas berdiri dan bergegas berjalan menuju rumah Sawer Welang. Pintu yang telah kehilangan palang itu nampak terbuka, bayangan itu langsung menyelonong masuk rumah.

"Nyai, nyai !!" Terdengar suara panggilan dari mulut bayangan hitam itu. Namun tak ada suara yang menjawab.

Bayangan itu masuk kamar, mendekati dipan bambu yang nampak remang-remang. Kembali bayangan itu memanggil-manggil lirih.

"Nyai, nyai. Apakah kau sudah tidur."

Tetap tak ada jawaban. Dengan penasaran ia mendekati dipan bambu itu, dan menggerayangkan tangan keatasnya. Tiba-tiba ia marah sekali, tikar diatas amben bambu itu ia renggut dan diseretnya terus membuangnya ke lantai kamar. Dipan bambu itu ditendangnya, hingga kerangkanya patah.

"Setan, demit. Awas kau Sawer Welang. Tunggu balasanku."

Bayangan hitam itu nyelonong keluar rumah dengan terus mengumpat-umpat penuh amarah. Ia terus mengayun langkah menuju istana Giriwana dan menyelinap masuk tanpa diketahui penjaga satupun.

Dua hari ia menunggu Sawer Welang kembali, namun lelaki krempeng yang dinantinya tidak pulang. Lelaki itu membawa salah satu ekor kuda miliknya yang sangat ia sukai.

"Bajingan." Umpatnya.

*******

Sebuah rombongan tetirah berangkat dari halaman istana Giriwana pada pagi hari. Sebelum sinar matahari menyengat kulit, rombongan tersebut telah keluar dari gapura bentar. Sebuah barisan panjang mengular mengikuti tiga buah tandu yang diusung oleh masing-masing empat prajurit. Dibelakangnya dua pedati berjalan pelan mengangkut bekal baha pangan.

Pangeran Erlangga menunggang kuda di depan, diapit oleh Senopati Narotama dan senopati Manggala. Kuda mereka berjalan pelan beberapa tombak dari tiga tandu yang bergoyang-goyang mengikuti irama langkah kaki pengusungnya.

"Bagaimana kabar selanjutnya tentang petani-petani pendatang yang tengah membuka hutan di tiga tempat yang bersamaan itu Kakang Narotama ?" Tanya pangeran Erlangga.

"Mereka masih terus bekerja dinda Pangeran. Tapi belum juga ada utusan yang datang kepada kita, untuk menyampaikan pemberitahuan." Kata senopati Narotama.

"Kita belum punya hak untuk mengatakan bahwa daerah itu kuasa kita. Jika mereka belum mengirim utusan itu hal yang wajar. Terus saja amati perkembangannya." Kata Pangeran Erlangga.

"Tentu dinda. Akan aku perintahkan telik santi untuk terus memantaunya." Jawab senopati Narotama.

"Sebenarnya kami curiga Gusti Pangeran. Tiga kelompok petani yang membuka hutan di tempat berbeda itu sebenarnya berasal dari daerah yang sama. 

Pakaian mereka yang menyerupai petani itu memiliki corak dan cara berpakaian yang sama. Kotak-kotak yang mereka bawa ukuran dan bentuknya sama. 

Hanya saja para telik sandi kesulitan mengetahui apa isi kotak-kotak itu. Apakah benar bahan pangan untuk ransum mereka selama membuka hutan, apakah justru bukan senjata-senjata perang." Kata senopati Manggala.

"Itulah sebabnya saya perintahkan pada paman Manggala untuk membawa pengawal sepertiga dari kekuatan kita di sini. Sisanya untuk menjaga istana jika ada serangan dadakan." Kata senopati Narotama.

"Mudah-mudahan sisa kekuatan itu mampu membentengi istana" kata senopati Manggala.

"Bagaimana perkembangan di kademangan Maja Dhuwur ?" Tanya pangeran Erlangga.

"Jumlah anak muda yang bergabung yang dilaporkan terakhir sudah imbang dengan kekuatan kita di Giriwana Gusti Pangeran. Tapi kemampuan mereka belum teruji. Apakah sudah menyamai prajurit apa belum." Kata senopati Manggala.

"Menurutku harus ada pasukan sandi yang diperbantukan kepada mereka. Tinggal disana dan khusus melayani pemenuhan informasi-informasi yang mereka butuhkan. Bisa jadi mereka tidak tahu jika ada tiga kelompok petani pendatang yang berasal dari daerah selatan." Kata senopati Narotama.

"Segera putuskan pelaksanaan gagasanmu Kakang Narotama. Aku sangat setuju. Kasihan Naga Wulung, jika terjadi apa-apa ia akan terus dibebani rasa bersalah." Kata pangeran Erlangga.

"Sendika dinda." Jawab senopati Narotama.

Sementara itu Dyah Tumambong yang terpaksa ikut rombongan tetirah itu berjalan sambil menundukkan kepala. Sampai keberangkatannya ikut rombongan itu kabar tentang tugas yang diberikan kepada Sawer Welang belum ia dapatkan laporannya. Meski kemarahan ditahannya sekuat tenaga namun ia tak mampu berbuat apa-apa lagi.

"Jika ia berkhianat, akan aku penggal lehernya"katanya dalam hati.

Rombongan tetirah yang mengular jalannya itu, meski berulang kali istirahat, namun akhirnya sampai juga. Menjelang matahari tenggelam di balik gunung di ufuk barat mereka telah memasuki halaman candi Jalatunda.

Hawa dingin di kaki bukit Bekel sebelah barat gunung Penanggungan yang dikeramatkan para brahmana penganut Siwa itu menyergap kulit mereka. Mereka menunggu pengaturan para prajurit yang telah biasa ditugaskan mendahului perjalanan itu.

Sekelompok prajurit yang mendahului rombongan itu, untuk mempersiapkan barak-barak pesanggrahan telah menyelesaikan tugasnya. Kini mereka menyambut kedatangan rombongan itu, dan bergegas  mengatur di mana saja mereka harus beristirahat, sesuai pembagian tempat yang telah mereka atur dengan baik.

******

Yuyu Rumpung telah menerima surat dari Dyah Tumambong yang dibawa Sawer Welang. Semua kalimat yang tergores di atas daun siwalan atau pohon tal itu telah ia baca. Iapun telah memahami isinya, bahwa kesempatan telah datang untuk Maha Dewi Panida membalas dendam kepada keturunan raja Medang.  Ratu Lhodoyong masih terus mendendam, jika ingat riwayat kematian Mpu Panida yang terbunuh dalam maha pralaya di istana Medang Kamulan.

Kini pangeran Erlangga tengah pergi tetirah ke candi Jalatunda, sebagaimana kebiasaan jika tengah merancang kebijakan tertentu. Rombongan tetirah itu diperkirakan tinggal di Jalatunda selama lima belas hari, karena seluruh keluarga istana Giriwana ikut pergi ke Jalatunda.

"Adakah pesan lain yang diberikan oleh Dyah Tumambong ?" Tanya Yuyu Rumpung.

"Tidak tuan. Tengah malam ia datang ke rumahku dan memerintahku untuk mengantar rontal ini kepada tuan." Jawab Sawer Welang.

"Baiklah. Terserah kepadamu. Kamu akan langsung pulang melaporkan tugasmu, atau ikut bersama kami membumi hanguskan istana Giriwana."

"Saya akan mendahului perjalanan tuan. Saya takut Tuan Tumambong marah karena aku terlambat melapor." Jawab Sawer Welang.

"Baiklah. Selamat jalan." Kata Yuyu Rumpung.

Sawer Welang segera melarikan kudanya menuju dusun Jungabang untuk mampir ke rumah orang tua wanita yang pernah dibawanya. Ia sengaja mengajak wanita itu pergi karena ia tahu watak tuannya. Ia tidak ingin meninggalkan ayam betina piaraannya di kandang yang ditunggu seekor musang. 

Ia berniat untuk pergi jauh dari istana Giriwana. Hatinya tak lagi tenang untuk terus mengabdi kepada Dyah Tumambong. Keinginannya untuk mengabdi pangeran Erlangga, menjadi salah satu abdi di istana itu pupus, Dyah Tumambong hanya mengobral janji yang tak pernah ditepati, untuk mengantarkan dirinya menghadap pangeran itu. 

Keputusannya sudah bulat untuk membawa kuda milik tuannya sebagai bekal hidup dengan calon istrinya di negeri yang jauh dari Istana Giriwana.

Sementara itu Yuyu Rumpung segera mengumpulkan beberapa anak buah. Tiga orang di utus pergi ketiga tempat, untuk menemui pimpinan petani di selatan dan utara istana Giriwana. Seorang lagi melaporkan rencana penyerbuan kepada Gusti Maha Dewi Panida.

Ketiga orang itu  dibekali pesan agar pasukan segera merapat ke istana Giriwana tiga hari setelah utusannya menghadap. Kepada utusan yang hendak menghadap kepa sesembahannya di Lhodoyong ia hanya menitipkan sebuah surat.

Iapun memerintahkan sepuluh orang prajurit terpilih untuk mendahului rombongan prajurit lain. Tugas kelompok prajurit terpilih itu untuk melumpuhkan kekuatan pasukan berkuda milik pangeran Erlangga.

"Aku mendengar warta pasukan berkuda itu kuat sekali. Jika tidak dilumpuhkan akan berbahaya bagi pasukan kita. Maka lumpuhkan dulu kuda-kuda mereka." Kata Yuyu Rumpung.

"Siap tuan. Kami jalankan perintah." Jawab pemimpin kelompok itu.

"Dengan apa kalian akan membunuh kuda-kuda itu ?" Tanyanya.

"Mungkin dengan pedang tuan. Kami belum membicarakannya, perintah baru saja jatuh." Jawab pemimpin kelompok itu.

"Bodoh. Berapa hari kalian menggorok leher tiga ratus kuda itu ? Pakai anak panah beracun kuat, kalian bisa lakukan dari jarak jauh. Jika ketahuan kalian bisa cepat lari dan bergabung dengan kita." katanya.

"Baik tuan. Perintah kami jalankan." 

Demikianlah utusan utusan itu segera bergerak menjalankan tugas masing-masing. Hanya sepuluh orang prajurit pilihan itu yang tidak mengendarai kuda. Mereka berjalan sambil menggantungkan busur di pundak, dan menggendong andong di punggung berisi beberapa puluh anak panah beracun.

******

Menjelang pagi sepuluh prajurit pilihan telah sampai di hutan dekat istana Giriwana. Pada siang hari mereka bersembunyi di tengah hutan. Namun ketika matahari tenggelam mereka keluar mengamati barak prajurit Bala Putra Raja. Mereka berputar putar mencari letak kandang prajurit berkuda. Di malam pertama belum diketemukan tempat yang dicari. Namun pada malam berikutnya jerih payah mereka mendapatkan hasil.

Segera mereka mempersiapkan pelaksanaan tugasnya. Menjelang pagi mereka mendekati kandang kuda itu. Mereka mengambil posisi agak berkejauhan, sambil tetap mencari tempat berlindung agar tidak ketahuan para penjaga kuda-kuda itu.

Terbantu oleh beberapa obor yang ada dikandang-kandang kuda itu, mereka mengenal posisi binatang-binatang yang hendak dibunuhnya. Segera saja mereka menyiapkan busur dan anak panah.

Tanpa dikomando prajurit-prajurit pilihan itu segera meluncurkan anak-anak panah. Dengan cepat mereka bekerja untuk bisa membunuh kuda-kuda dikandang itu sebanyak-banyaknya. 

Namun mereka tak bisa membunuh kuda-kuda itu dengan anak panah sekali tembak mati dengan cepat. Para binatang itu melonjak kaget dan berteriak-teriak dengan caranya, ketika merasa kesakitan kena panah. Puluhan kuda yang gaduh itu mengundang beberapa prajurit anggota pasukan Bala Putra raja untuk mendekatinya.

Alangkah terkejut para prajurit Bala Putra Raja mengetahui kuda-kuda mereka banyak yang sekarat. Bahkan ada yang sudah jatuh dan kejang-kejang. Prajurit-prajurit itu baru sadar akan datangnya bahaya setelah beberapa temannya jadi sasaran anak panah pula.

Segera mereka bersembunyi mencari perlindungan. Beberapa prajurit berhasil lolos dan lari menuju barak pimpinan. Dengan tanpa sadar mereka menggedor-gedor pintu kamar Jalak Seta, perwira prajurit yang diserahi keamanan istana selama pangeran pergi tetirah.

Setelah mendapatkan laporan adanya upaya orang-orang tak dikenal menyatroni kuda-kuda mereka, segera Jalak Seta memerintahkan prajurit di barak berkumpul. Diperintahkannya mereka membawa tameng dan peralatan bertempur lainnya. Juga berpesan kemungkinan datangnya serangan anak panah dari musuh tak dikenal.

Dipandu oleh cahaya yang tampak dari kejauhan, dari obor-obor penerang kandang kuda, prajurit-prajurit Bala Putra Raja bergerak dengan berpencar. Dengan setengah berlari sambil berlindung tameng-tameng mereka, langkahnya menuju kandang kuda itu.

Para penjaga yang tahu bantuan datang dari barak-barak prajurit, segera memberi isyarat dimana musuh mereka bersembunyi. Dengan tudingan tangan mereka menunjuk datangnya serangan anak panah beracun dari beberapa orang musuh.

Sambil terus merunduk mereka mendekati musuh yang masih meluncurkan anak panah. Mereka harus berhati-hati sekali jangan ada bagian tubuh mereka terbuka, yang bisa jadi incaran panah lawan. Situasi penuh ketegangan itu berlangsung cukup lama. Namun ketika jarak mereka telah dekat, tinggal belasan tombak, para penyerang itu bergegas melarikan diri dengan cepatnya.

Sejenak para prajurit Bala Putra Raja mengejar. Namun upaya mereka menangkap para pembunuh kuda itu tak berhasil. Meski hari menjelang pagi, telah banyak terdengar ayam berkokok dari sana-sini, namun langit masih terselimuti kegelapan.

(Bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun