"Siapakah majikan orang tuamu anak muda ?"
"Kanjeng tumenggung Gajah Alit, salah satu senopati kerajaan Medang."
"Ohh, sebenarnya kau putra siapa di ketumenggungan itu."
"Aku adalah putra pamomong kedua putrinya, Sekarsari dan Sekararum. Â Nama ibuku Nyai Kenanga. Â Ayahku Wirapati, pemimpin pengawal pasukan katumenggungan."
"Tapi ilmumu sungguh mencengangkan kami. Â Sejauh yang aku ketahui ilmu gurumu tidak setinggi itu. Â Ajar Cemara Sewu yang dulu dikenal sebagai Menjangan Gumringsing tidak lebih dari seorang prajurit biasa-biasa saja. Â Meskipun tentu berada diatas tingkatan kami. Â Namun kakak seperguruannya yang agak kesohor, ia pendekar legendaris bersenjata cambuk nagageni."
"Aki kidang Gumelar ? Â Iapun guruku paman. Â Cambuk itu diwariskan kepada saya."
"Ohhh pantas. Â Sekali lecutan saja kau mampu merobohkan para perampok itu."
"Tapi tak satupun yang terbunuh oleh cambukku, kecuali seorang pencuri kuda yang jatuh karena lehernya terjerat ujung cambukku."
"Yah, anak buahku yang menyelesaikan mereka. Â Ketika mereka tak lagi berdaya, dengan geramnya para pengawal menghabisinya."
Demikianlah perbincangan itu berlangsung hingga tengah malam. Â Tak terjadi peristiwa apapun malam itu hingga fajar menyingsing di timur. Â Mereka bergegas bersiap-siap meneruskan perjalanan, meski perut belum terisi apapun malam itu. Â Mereka tak sempat berburu binatang buat makan malam sebagaimana kebiasaan mereka jika terpaksa berkemah di hutan.
Sembada menuntun kudanya di barisan paling belakang. Â Berjalan berjajar bersama pemimpin pengawal dan pedagang itu. Â Kedua orang itu begitu kagumnya kepada anak muda berilmu tinggi dan sopan itu.