"Iya iya anak muda. Â Mari kita rawat mereka segera." Â Kata pimpinan pengawal. Â Barulah kerumunan yang mengerubunginya bubar dan berjalan ke arah korban-korban pertempuran.
Sembada menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu di pinggir jalan itu. Â Iapun lantas bergabung dengan para pengawal untuk mengumpulkan korban-korban pertempuran. Â Ada tiga orang pengawal yang tewas, lima orang terluka parah dan sisanya terluka ringan. Â Anggota gerombolan yang tertinggal semua tewas, jumlahnya tujuh belas orang. Â Rata-rata mereka terluka oleh cambuk Sembada pada dada, perut atau pahanya. Â Namun luka cambuk itu tidaklah terlalu dalam, ia hanya melumpuhkannya dari peperangan. Â Namun bekas luka tusukan pedanglah yang mengakhiri hidup mereka. Â Atas kenyataan itu Sembada tidak bisa menyalahkan para pengawal. Â Mereka tentu marah karena sebagian temannya juga tewas dalam pertempuran itu.
Setelah mengumpulkan teman-temannya dan mengobati mereka yang terluka, mereka terpaksa juga mengumpulkan korban-korban dari pihak lawan. Â Mereka tidak bisa membiarkan pergi begitu saja. Â Karena rasa kemanusiaanlah mereka akhirnya menguburkan mayat-mayat itu di tempat terpisah. Â Satu-satu mayat pengawal dibuatkan lubang pemakaman sendiri-sendiri. Â Kemudian memberi tanda jika suatu saat keluarganya ingin mencari. Â Namun bagi para korban dari anggota gerombolan perampok itu dikubur dalam satu lubang yang besar. Â Tujuh belas orang bertumpuk tumpuk kemudian ditimbun dengan tanah.
Setelah kerja yang melelahkan itu mereka istirahat sejenak. Â Nampak matahari sudah jauh turun di barat. Â Mereka memutuskan untuk tidur semalam di tempat itu. Â Sembada terpaksa menunda perjalanannya semalam lagi, karena permintaan pimpinan pengawal dan pedagang itu.
"Anakmas janganlah pergi dulu mendahului kami. Â Terus terang kami masih trauma terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Â Apalagi beberapa wanita yang ada digerobak itu. Â Mereka butuh ketenangan batin hingga besok pagi. "
"Benar anak muda. Â Gadis-gadis putri tuan pedagang ini tentu tak dapat tidur malam ini jika kau bergegas meninggalkan kami."
"Baiklah paman. Â Aku akan menemani paman-paman semua berkemah semalam di tempat ini. Â Aku kira sudah tidak ada yang perlu ditakutkan. Â Kecuali beberapa hewan buas yang telah mencium darah tumpah di sini. Â Mungkin mereka akan datang. Â Namun tentu akan segera pergi kalau melihat perapian menyala di sini."
Pernyataan Sembada menyadarkan para pengawal, bahwa mereka butuh kayu-kayu kering untuk perapian. Â Jika hari telah gelap sulit bagi mereka untuk mendapatkan kayu kering di hutan itu. Â Karena semuanya akan nampak hitam tak terlihat. Â Oleh karena itu beberapa orang pengawal telah berdiri dan berjalan masuk hutan kembali untuk mencari kayu.
Malam itu Sembada jadi pusat lingkaran para pengawal yang duduk di pinggir perapian. Â Beberapa gadis juga ikut duduk di antara mereka. Â Karena mereka merasa aman jika mereka dekat dengan para pengawal.
Lelaki tua pedagang itu menawarkan kepada Sembada pekerjaan sebagai pengawal tetapnya bilamana ia hendak pergi berdagang kemanapun. Â Namun dengan halus Sembada menolaknya. Â Karena kini ia sedang menjalankan tugas yang dibebankan oleh gurunya.
"Terima kasih atas tawaran paman. Â Bukan aku menolak kesempatan yang baik itu. Â Namun sekarang aku masih harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Â Mencari saudara perempuan adik seperguruan saya, putri majikan orang tua saya yang hilang. "