"Anak muda kudamu dibawa lari."seorang pengawal memberi tahu Sembada. Sembadapun menengok kudanya. Seorang lelaki kerempeng membawa lari kuda. Segera ia melompat menghindari musuh-musuhnya, dan berlari mengejar kudanya. Sepotong kayu di tangannya ia lempar kearah lelaki kerempeng pembawa kudanya. Namun dengan tangkasnya lelaki itu merapatkan badannya ke punggung kuda. Kayu itu melayang tak menyentuh badannya.
Sembadapun segera mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Beberapa saat kemudian lelaki kerempeng pembawa lari kudanya terpelanting. Seutas tali berkarah baja runcing melingkar di lehernya, dengan sekuat tenaga Sembada menariknya dari belakang. Terdengar jerit ngeri, lelaki itu jatuh di tanah dengan leher hampir putus. Darah menyembur deras dari leher itu, tubuhnya mengejang-ngejang sekarat.
Sembada tak memperdulikannya. Ia terus berlari mengejar kudanya. Dengan sekali lompat tubuhnya melayang hinggap di punggung kuda.
Segera ia tarik tali kekang kuda itu. Sang kudapun meringkik dan berdiri tegak. Sembada tetap menempel di punggungnya. Setelah kuda itu meletakkan kaki depannya ketanah segera Sembada memutar arah lari kuda itu. Tangkai cambuk nagageni tergenggam erat di tangannya.
Ketika ia melewati tubuh yang terkapar di jalan bersimbah darah, Sembada turun dari punggung kuda. Ia lepaskan kuda itu untuk melihat keadaan lelaki itu. Setelah memeriksanya ternyata lelaki pembawa kudanya telah jadi mayat. Tak ada udara keluar masuk hidungnya.
"Maafkan aku kisanak. Tak ada niat aku membunuhmu. Namun hanya mencegah kau membawa kudaku. Jika akibatnya seperti ini sepenuhnya bukan salahku." Kata Sembada lirih.
Ia mengusap wajah lelaki yang telah tewas itu. Â Matanya yang masih terbuka ia tutup dengan usapan tangan. Â Kemudian Sembada berdiri dan melangkah meninggalkannya. Â Ia melompat ke atas punggung kuda dan menghela hewan itu mendekati lingkaran pertempuran yang masih menyala.
Sembada benar-benar kaget. Â Para pengawal yang gigih menjalankan tugasnya itu kini terdesak. Â Banyak anggotanya yang sudah terluka dan berdarah-darah. Â Ia kagum dengan tanggung jawab yang tetap dipegangnya, tidak mau lari meninggalkan gelanggang. Itulah yang membuat Sembada mengambil keputusan untuk segera melibas para perampok.
Segera ia hela kudanya memasuki lingkaran pertempuran. Â Cambuknya berputar-putar dan meledak-ledak. Â Ketika dua orang anggota perampok mendekatinya segera mereka terpelanting dan bersimbah darah. Â Kedua orang itu dadanya menganga panjang oleh luka ujung cambuk Sembada.
Melihat itu beberapa orang datang mengeroyoknya. Â Tiga orang dengan kasarnya menyerang Sembada. Â Namun ketiganyapun segera menggeletak di tanah tak bergerak. Â Ketika tak ada lagi yang berani mendekatinya, Sembada melarikan kudanya memutari lingkaran pertempuran itu, sambil melecutkan cambuknya kearah orang-orang yang sedang bertempur dengan para pengawal. Â Ada yang hanya kehilangan pedangnya saja, namun ada pula yang langsung tersungkur karena ujung cambuknya. Â Malang bagi para perampok yang kehilangan pedangnya, nyawanya juga tidak selamat. Â Karena para pengawal memamfaatkan kesempatan itu untuk melibasnya dengan sabetan-sabetan pedang.
Sembada melihat pedagang pemilik barang yang bertempur dengan empat orang. Â Ia kagum dengan kemampuan lelaki itu. Â Meski usianya sudah cukup tua namun ia mampu melayani kekasaran empat anggota gerombolan Gagakijo. Â Namun kondisinyapun sudah memrihatinkan. Â Tangannya nampak sudah terluka dan darah menetes jatuh ke tanah.