Sembada berpikir keras, apa yang mesti ia lakukan. Â Satu satunya jalan ia harus menyamar dan melumpuhkan lawan sebanyak banyaknya.
Sejenak kemudian terdengar sorak sorai pasukan lawan di induk pasukan yang tengah seru bertempur.
"Ki demang terluka ki demang terluka. Â Sebentar lagi pasti mampus"
Sembada yang pendengarannya tajam segera menyadari bahaya itu. Â Ia kemudian meloncat turun, dan dengan ilmu peringan tubuhnya ia terjun ke medan pertempuran. Suara cambuknya yang meledak-ledak mengagetkan kawan dan lawan.
Apalagi bagi anak buah gerombolan yang berhadapan dengan pemuda itu, mereka merasakan hawa yang mengerikan sekali. Sekali meledak cambuk itu membawa korban. Tentu ada bagian tubuh lawannya sobek, terpental atau senjata terlepas dari tangan.Â
Mereka berusaha mengurung pemuda itu dengan kepungan bersenjata. Â Namun dengan ringannya pemuda itu melenting dan terlepas dari kepungan. Â Sembada seperti terbang menjelajahi semua medan. Â Mulai dari sayap kiri hingga sayap kanan.
Ki demang yang menyaksikannya sambil bertempur benar benar merasa heran. Kemampuan pemuda itu ternyata jauh dari perkiraannya. Â Ia benar benar titisan pendekar legendaris Kidang Gumelar. Â Kemampuan mereka berdua benar-benar tak dapat dijajagi lagi.
Handaka yang juga menyaksikan manusia bercambuk itu berlaga benar benar takjub. Â Bermimpipun tak pernah diangankan bahwa ada orang yang dapat melontarkan diri dengan ringannya, berpindah tempat ketempat lain di medan perang dengan gampangnya. Ia terbang laksana burung di antara ribuan capung.
Orang yang paling terkejut adalah Sekarsari. Seolah olah ia melihat kembali orang yang mempermalukannya di balik gumuk kecil di perbatasan kademangan Majaduwur. Begitu melihat tingkat ilmunya kini ia benar benar malu, telah berani menyombongkan diri menantangnya berkelahi. Ternyata ilmu orang itu benar benar tak tergapai, rangkap sepuluhpun ia tidak akan menang melawannya.
Sambaya dan Kartika demikian pula. Â Keduanya menyaksikan dengan mulut menganga. Â Namun keduanya memiliki praduga yang sama, bahwa pemuda bercambuk itu adalah Sembada. Perawakanya sama dengan perawakan Sembada, gerak geriknya juga sama dengan gerak gerik pemuda yang ia kenal itu. Namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang usianya sama dengan mereka memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi.
Pemimpin gerombolan yang menyerang kademangan Majaduwurlah yang sangat marah. Â Gagakijo merah matanya, Landakabang mengkerut-kerutkan giginya, demikian pula Macan Belang suami isteri. Mereka mengumpat-umpat dalam hati. Pendatang baru itu benar benar meresahkan hati mereka. Perlawanan berkelompok mereka tidak berarti apa apa bagi orang bercambuk itu.