Pasca arab spring menjadi harapan kebangkitan akan dinamika kehidupan yang lebih baik dan demokratis di kawasan Timur Tengah, justru menampilkan wajah yang lebih menyeramkan. Sebagaimana diketahui Arab Spring merupakan fenomena yang terjadi di negara-negara Timur Tengah yang timbul dari dinamika sosial yang menginginkan orde baru yang dapat mengubah keadaan suatu negara dalam bentuk protes atau pemberontakan yang dilakukan oleh pro-demokrasi di Timur Tengah dan Afrika Utara melawan rezim otoriter di wilayah yang dimulai sekitar tahun 2010 bahkan sampai saat ini. Menurut perkiraan PBB sampai tahun 2019, ratusan ribu orang terbunuh dan lebih dari 10 juta orang terlantar terutama pada perang saudara di Suriah.
Lain lagi pada konflik ekternal pada awal tahun 2020, dunia dihebohkan dengan pembunuhan Komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani, dalam serangan misil yang ditembakkan lewat drone Amerika Serikat di dekat Bandara Internasional Baqdad. Iran berjanji balas dendam sedangkan AS menganggap aksi itu pantas dilakukan untuk menjaga keamanan dan perdamaian di Timur Tengah. Ini dapat memicu perang dunia ke 3. Alhasil, Allah SWT menurunkan sesuatu yang terduga dan membuat dunia menahan diri dan berubah dalam sekejap. Oleh karena itu, Penulis akan membahas Timur Tengah selama tahun 2020 ini.
Pandemi Covid-19
Berdasarkan data yang dihimpun masing-masing Negara, jumlah kasus Covid-19 di Timur Tengah yang dilaporkan telah mencapai 3 juta lebih sampai Jumat (30/10/2020). Menurut hitungan Associated Press (AP), jumlah sebenarnya kemungkinan lebih tinggi. Di seluruh Timur Tengah, ada 75.000 lebih kematian yang dikaitkan dengan virus oleh otoritas kesehatan. Kantor berita AP mengandalkan angka yang dilaporkan oleh masing-masing negara. Ada 2,5 juta pemulihan dari virus penyakit COVID-19. Di Timur Tengah, negara yang paling terpukul adalah Iran, dan juga sebagai episentrum awal virus di wilayah tersebut. Di Iran, ada lebih dari 600.000 kasus virus Corona yang dikonfirmasi, dengan sekitar 477.000 pemulihan dan 34.000 kematian. Namun angka-angka itu diyakini rendah, kata para pejabat Iran.
Pandemi Covid-19, secara umum menjadi alasan menahan diri bagi Negara yang sedang berkonflik. Namun Timur Tengah tampaknya kurang terpengaruh oleh pandemi dibandingkan Eropa karena ulah beberapa Negara. Hal yang terlihat sebagai situasi penting bahwa kediktatoran di kawasan tidak berbagi informasi tentang situasi di negara mereka sendiri dan tidak transparan. Di beberapa negara yang dilanda perang, masih sulit untuk mengetahui cakupan pandemi. Di Yaman misalnya, diyakini sebagian besar kasus di negara itu tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Petugas kesehatan mengatakan hanya mereka yang hampir meninggal yang biasanya dibawa ke rumah sakit.
Dari segi politik, adanya penurunan ketegangan antara Iran dengan AS karena Pemerintah Iran dan AS fokus menangani rakyatnya yang terkena Covid 19. Kasus Covid 19 di Iran dan AS merupakan negara tertinggi dengan warganya yang terpapar virus ini. Begitupun juga ketegangan di satu kawasan antara Iran dan Arab Saudi yang lebih ke perang dingin. Dampak lain dari virus Corona di Timur Tengah juga mengubah kebiasaan masyarakat Timur Tengah yang suka berkumpul dan mujamalah menjadi bertemu serta basa-basi secara digital menggunakan teknologi berbasis internet. Hal ini umum dan hampir berlaku di seluruh dunia. Namun menariknya adalah budaya arab yang orang Arab terbiasa saling merangkul seraya mencium pipi dengan bibir ketika berjumpa dengan teman dekat. Ini suatu perilaku yang dianggap tidak lazim oleh bangsa lain di dunia, dan juga oleh orang Indonesia. Walaupun sesama jenis, orang-orang Arab lazim menunjukkan kedekatan mereka. Jadi, jangan kaget jika melihat seorang pria Arab memeluk tubuh pria lainnya erat-erat. Hal ini bukan karena mereka gay, melainkan karena saling menghormati satu sama lain.
Kompak Boikot Produk Buatan Prancis
Beberapa asosiasi dagang di negara- negara Arab secara terbuka melakukan boikot terhadap produk -produk Prancis. Embargo dilakukan menyusul pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai menghina Islam terkait kartun Nabi Muhammad. Sebelumnya, Gulf Cooperation Council (GCC) menggambarkan pernyataan Emmanuel Macron sebagai penyebar kebencian dan tidak bertanggung jawab. "Pada saat upaya harus diarahkan untuk mempromosikan toleransi, budaya, dan dialog antar-agama, justru Dia menyerukan untuk menerbitkan gambar penghinaan pada nabi Muhammad." kata Sekretaris Jenderal GCC, Nayef al-Hajraf. Macron menjadi sasaran kritikan dan kecaman setelah Samuel Paty, guru Sejarah dan Geografi, dipenggal saat sedang berjalan pulang ke rumahnya. Guru berusia 47 tahun tersebut dipenggal setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad, yang merupakan bagian dari materi kebebasan berekspresi. Macron dikecam lantaran berjanji untuk tidak menurunkan kartun tersebut. Pernyataan tersebut langsung memicu kemarahan oleh negara-negara Arab dan dunia Muslim.
Dilansir dari Al Jazeera (28/10/2020), setelah seruan boikot produk Prancis dari para pengusaha dan asosiasi bisnis, sejumlah toko-toko ritel dan supermarket menarik produk-produk buatan Prancis dari rak-rak penjualan. Seruan tagar #BoycottFrenchProducts menggema di media sosial negara-negara Arab seperti Aljazair, Mesir, Irak, Palestina, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, dan Qatar. Di Kuwait, Ketua Dewan Al-Naeem Cooperative Society, memutuskan bahwa asosiasinya akan memboikot seluruh produk Prancis dan menyingkirkannya dari supermarket. Asosiasi dagang, Dahiyat al-Thuhr, mengambil langkah yang sama. Dia menyebut kebebasan berekspresi tak bisa disamakan dengan penghinaan pada agama yang menyakiti umat Islam. Berbeda dengan Turki yang secara resmi juga melayangkan protes langsung serta melakukan perang statement terhadap pemerintahan Prancis.
Sementara itu di Qatar, Wajbah Dairy, menegaskan memboikot produk Prancis dan menggantinya dengan produk buatan negara lain. "Kami telah menarik produk Prancis dari rak hingga pemberitahuan lebih lanjut," tulis Al Meera. Consume Goods Company, sebuah perusahaan perdagangan barang-barang kebutuhan pokok asal Qatar. "Kami menegaskan bahwa sebagai perusahaan nasional, "kami selalu bekerja sesuai dengan visi yang sejalan dengan agama kami, adat istiadat dan tradisi luhur". Ini menandakan embrio persatuan dari mayoritas negara Timur Tengah yang menyebar ke seluruh dunia sehingga pemerintah Prancis sendiri pun telah meminta aksi pemboikotan diakhiri.
Dampak Kemenangan Biden
Joe Biden, yang memenangkan pemilihan presiden di AS, diharapkan untuk kembali ke posisi AS yang lebih tradisional dan membangun kembali geopolitik regional, membangun kembali hubungan dengan Iran, berbeda dengan kebijakan "impulsif" Donald Trump di Timur Tengah. Strategi tidak konvensional yang diikuti Trump selama pemerintahannya membawa kesuksesan yang memusingkan serta gerakan berisiko dan upaya yang gagal yang mengubah lanskap politik Timur Tengah.
AS memberi lampu hijau untuk pembunuhan Komandan Tentara Pengawal Revolusi Iran Kasim Soleimani, saat menarik diri dari perjanjian nuklir yang ditandatangani dengan Iran pada 2015 selama masa jabatan Trump. Sementara Amerika Serikat, yang memindahkan kedutaan Israel ke Yerusalem, melanggar konsensus internasional tentang masalah ini, kehadiran militer Amerika di wilayah tersebut, yang menurut Trump telah mengurangi kepentingan strategis, telah dibatalkan.
Dengan terpilihnya Biden, diharapkan AS dapat mengambil sikap lebih tegas di bidang hak asasi manusia dan penjualan senjata ke negara-negara di kawasan kaya minyak ini. Dalam laporan Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), disebutkan bahwa pemerintahan Biden akan bekerja untuk mendefinisikan kembali kebijakan AS tentang isu-isu seperti Iran, dan untuk menghormati nilai normatif di seluruh kawasan. Dalam laporan ini bahwa Biden bertujuan untuk melakukan diplomasi dengan Teheran di banyak bidang jika Iran memenuhi tanggung jawabnya. Serta juga hubunganya dengan Arab Saudi. Jika saat ini Trump, dengan kebijakannya yang berasal dari dunia bisnis dan mengedepankan perdagangan, mengikuti metode yang berbeda dari presiden sebelumnya Barack Obama.
Bagaimana hubungan dengan Palestina? Kemenangan Biden disebut-sebut akan memberikan harapan dalam perbaikan "hubungan Palestina-Amerika." Sebelumnya dilansir oleh AFP Abbas mengucapkan selamat kepada presiden AS terpilih Joe Biden. Biden mengatakan pemerintahannya akan mengembalikan oposisi AS terhadap pemukiman Israel, setelah Donald Trump melanggar kebijakan AS dan konsensus internasional yang sudah berjalan puluhan tahun karena gagal mengutuk pembangunan semacam itu. Menurut para ahli, tidak mengherankan jika Biden berdamai dengan warga Palestina yang membenci pemerintahan AS. Menurut Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, kembalinya Biden bantuan AS kepada Palestina, pembukaan kembali perwakilan Palestina di Washington, dan kembali ke posisi dua negara tradisional dalam krisis Israel-Palestina mungkin juga menjadi agenda, melepaskan kebijakan yang mengganggu di era Trump.
Otoritas Palestina (PA) yang dilansir CNN, mengatakan akan memulihkan koordinasi dengan Israel, ini mengakhiri penangguhan yang berlangsung enam bulan. "Dalam kontak internasional Mahmoud Abbas, dan mengingat komitmen tertulis dan lisan yang kami terima dari Israel, kami akan melanjutkan hubungan di antara mereka seperti sebelum 19 Mei 2020," kata menteri urusan sipil PA, Hussein al-Sheikh, Selasa (16/11). "Kami akan melanjutkan kontak dengan Israel tentang masalah keuangan, tentang masalah kesehatan, tentang masalah politik," kata Perdana Menteri Palestina, Mohammed Shtayyeh pada Selasa. Sebelumnya pada Mei, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan penghentian koordinasi dengan Israel, termasuk kerja sama keamanan yang didukung Amerika Serikat sebagai tanggapan atas rencana Israel untuk mencaplok sebagian Tepi Barat.
Dari isu dan realita diatas, dapat disimpulkan bahwa fenomena yang terjadi saat ini sangat mendorong timbulnya perdamaian Timur Tengah yang sekian lama dilanda kekacauan akibat perang saudara. Kebangkitan setelah adanya Arab Spring, pandemi Covid 19, aksi pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW hingga pengaruh pemimpin baru Amerika Serikat menjadi momentum penguatan rekonsiliasi diantara pihak-pihak yang berkonflik. Rekonsiliasi dapat berhasil dengan mengesampingkan arogansi berbagai kepentingan dan mengedepankan persamaan RAS, kebudayaan dan sejarah peradaban. Apalagi mayoritas agama di Timur Tengah adalah Agama Samawi yang mengajarkan risalah kedamaian. Mengutip Benyamin Franklin, “Tidak pernah ada perang yang baik atau perdamaian yang buruk.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H