Mohon tunggu...
Wahyudi Kaha
Wahyudi Kaha Mohon Tunggu... -

Pembaca buku yang senang jalan-jalan dan suka minum kopi manis. Sesekali menyamar sebagai @sesareyang untuk mainan twitter dan instagram.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bercanda, Berfilsafat!

25 Oktober 2014   08:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:48 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414173413271275066

[caption id="attachment_330999" align="alignnone" width="180" caption="Judul : Si Buta dari Gua Plato dan 99 Anekdot Filsafat Lainnya Penulis : Rif’an Anwar Penerbit : Kanisius, Yogyakarta Tahun: 2011 Tebal : 158 halaman ISBN: 978-979-21-2744-7 Harga : Rp. 29.000,- Peresensi: Wahyudi Kaha*"][/caption]

Setiap manusia ‘normal’ pasti bisa berpikir. Dan setiap yang berpikir tentu memiliki hasrat untuk lebih mengetahui, lebih sanggup memahami. Tetapi tidak semua manusia normal mau berpikir dan memahami filsafat. Apa sebab? Filsafat terlanjur dianggap sebagai ilmu yang rumit. Bahkan lebih buruk filsafat diibaratkan seperti mahluk gaib yang menyeramkan. Maka berhati-hatilah menghadapi filsafat. Salah-salah, bukannya semakin bijak, belajar filsafat justru menggiring ke garis sesat. Singkatnya, filsafat merupakan suatu ilmu yang berat.

Kita kemudian tergugah untuk melibatkan diri berpikir. Bukankah sejatinya filsafat lahir dari rasa penasaran? Bukankah laku berfilsafat dimulai dari aktivitas meragukan dan mempertanyakan? Bukankah muara kepentinganya justru mengarah pada kemantapan? Lantas benarkah anggapan berat atas filsafat?

Kita beruntung. Kita perlu besyukur.

Buku Si Buta dari Gua Plato dan 99 Anekdot Filsafat Lainnya karya Rif’an Anwar, mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ini mementahkan anggapan berat belajar filsafat. Belajar filsafat tidak harus melulu serius, tidak harus dengan kening berkerut. Lagi pula, meminjam istilah Jostein Garder, satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu. Sekali lagi, rasa ingin tahu. Maka demikian pulalah yang kita butuhkan dalam mempelajari filsafat. Rasa ingin tahu perlu kita beri porsi yang lebih besar ketimbang porsi tuntutan untuk paham.

Persis yang tertulis pada judul, kita tidak akan menemukan wacana serius dan apalagi telaah ketat mengenai filsafat dalam buku ini. Yang akan kita temui tak lain adalah anekdot-anekdot cerdas, kritis dan filosofis. Uniknya, melalui anekdot-anekdot Rif’an justru lihai dan seolah tanpa beban mengkritisi, kadang terkesan mempermainkan,pemikiran filosof-filosof handal yang selama ini pemikirannya dikenal berat-abstrak. Tentu saja, Rif’an tidak berangkat dari ruang kosong. Meski anekdot pendek yang ditulisnya kerapkali mengocok perut pembaca, itu bukan karen murni Rif’an mengada-ada. Rif’an mengerti, sebagai anekdot filsafat buku ini tidak dibiarkannya sepi dari rujukan referensi. Rif’an tidak asal memberi informasi.

Bila tidak berangkat dari rujukan refensi yang kuat, saya yakin, Rif’an tidak akan memulai anekdot filosofisnya pada “Epitimologi Alam Gaib” dengan paragraf begini: Buku Wittgenstein, Philosophical Investigations, mulai ia tulis pada tahun 1936 dan baru terbit dua tahun setelah dia meninggal, tahun 1953. Bahkan karyanya yang lebih awal, Tractatus Logio Philosopicus, walau tidak lebih dari 75 halaman, tidak ia tulis seperti main sulap. Tinggal baca mantra dan jadilah. Russel dan Whitehead juga perlu bekerja keras selama sepuluh tahun untuk merealisasikan buku terkenal mereka, Principa Mathematica (halaman 9).

Kata-kata bijak hasil olah pikir tokoh-tokoh filosof tak lupa dihadirkan Rif’an sebagai bumbu bagi anekdot-anekdot kocaknya. Bukan anekdot filsafat namanya bila kekocakannya hanya ditopang oleh adegan-adegan konyol. Anekdot filsafat, saya menyebutnya anekdot yang berbobot. Anekdot filsafat yang ditulis Rif’an ini tidak hanya membuat pembaca menepuk jidat atau terpingkal-pingkal lucu usai membacanya. Lebih dari itu, anekdot filsafat seperti yang akan banyak sekali kita temukan dalam buku setebal 158 halaman ini, sekaligus merangsang daya kritis pemabaca setelah menamatkannya.

Inilah buku yang mengajak kita bercanda sekaligus berfilsafat. Di sini kita akan dihantar pada keadaan dimana kita seolah telah tamat membacanya tapi sebenarnya kita baru saja memulai mempelajarinya. Ditulis dengan bahasa yang bersahaja, kita pun merasa diajak bercanda santai di warung kopi oleh penulisnnya.

Nah, berkenaan dengan warung kopi saya teringat satu anekdot berjudul “Marx Ngopi Bareng Descartes”. Apa yang akan terjadi bila seorang Marx yang materialis dan Descartes yang idealis terlibat dalam sauatu diskusi di warung kopi? Di halaman 2, Rif’an menajawap pertanyaan itu melalui anekdot hebohnya:

Suatu kali kedua pemikir duduk berhadapan. Di mulut Marx ada pipa yang sesekali menyembulkan asap rokok. Dua gelas kopi terletak di atas meja. Sebuah asbak terlihat menonjol di depan Marx. Descartes sendiri sedang asik memerhatiakan asbak. Dia sedang merenungkan tentang asbak. Apakah asbak ini benar-benar ada? Tidakkah asbak ini hanya halusinasi pikiranku saja? Kemudian dia menyimpulkan, “Asbak ini hanya halusinasi, yang benar-benar ada hanyalah apa yang ada di pikiranku.”

Mendengar pernyataan Descartes, Marx langsung mengambil asbak dan melemparnya ke muka Descartes. Kontan Descartes menjerit, “Aduooooh!! Mengapa kamu bersikap anarkis?”

“Saya tidak anarkis. Saya hanya sedang bersikap kritis terhadap pemikiranmu, “ jawab Marx.

Descartes, “....”

Di buku-buku sejarah filsafat mana pun, kita tidak akan pernah menemukan catatan bahwa Marx benar-benar sempat terlibat diskusi anarkis dengan Descartes di sebuah warung kopi. Tapi demikianlah anekdot angkat suara. Anekdot bukan peneliatian ilmiah, memang tidak perlu berangkat dari fakta. Dan demikianlah salah satu contoh keusilan sekaligus kekritisan Rif’an Anwar atas pemikiran filsuf-filsuf mapan. Rif’an piawai mengajak kita bercanda sambil lalu berfilsafat.

Lalu, kita kemudian bertanya. Sebagai mahasiswa filsafat, pernahkan Rif’an merisaukan masa depan dirinya dan masa depan prodi yang dipelajarinya? Jawabannya pernah. Hanya saja, kerisauan seorang Rif’an Anwar adalah kerisauan yang diisi dengan gelak tawa. Lihat saja di anekdotnya yang berjudul “Tugas Filsuf” (halaman 139):

Adakah lapangan kerja bagi seorang filsuf? Apa sebenarnya tugas filuf di dunia ini? Seorang anak kecil ditanya: apa cita-citamu? “Jadi filsuf,” jawabnya. Apa pekerjaan filsuf itu? “Berpikir”. Berpikir tentang apa? “Tentang siapakah aku, apa itu dunia dan sebagainya?” Lalu, siapa yang akan membayarmu? “Nah, itu mas yang saya masih bingung. Mas mau membayar saya nanti?”

Kita tidak perlu khawatir. Tugas filsuf begitu penting di dunia ini. Jangan cemas tidak ada lapangan kerja. Ingatlah Voltaire, seorang filsuf dari Perancis. Voltaire dengan heroik mendedangkan pernyataannya yang terkenal: takhayul membakar dunia, filsafat memadamkannya.

Kesimpulan kita: takhayul membakar dunia, efeknya bikin pemanasan global. Filsafat memadamkannya, artinya filsuf itu pemadam kebakaran.

Jadi filsuf itu tugasnya mencegah supaya pemanasan global tidak terjadi. Begitu angung, begitu mulia, dan begitu saja....

Masih banyak lagi anekdot-anekdot kocak, cerdas nan krtis yang menarik untuk untuk dibaca siapa saja dari buku ini. Jangankan siswa, mahasiswa atau dosen yang memang sempat bersentuhan dengan filsafat, bahkan siapa saja yang sebelumnnya belum pernah mengenal filsafat, saya yakin, buku ini akan segera mendapatkan tempat di hatinya seusai membacanya. Selamat bercanda, selamat berfilsafat!



*aktif di kajian filsafat Lingkarang Metalogi Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun