Sujiwo Tejo memang jancuk. Belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah, Presiden Jancukers yang sejancuk Sujiwo Tejo. Dengan kata lain, paling jancuknya Jancukers ya Sujiwo Tejo orangnya. Dia pula Presiden pertama di dunia yang tidak akan murka dipanggil Jancuk atau Cuk. Formalitas yang beku dan kaku digempurnya justru dengan jancuknya yang oleh umum masih diasosiaikan sebagai yang (meng)hina, yang tak mengerti cara bersopan-sopan.
Tapi di Republik #Jancukers tidak pernah ada kesopanan yang dibungkus kepura-puraan. Di mana negara #Jancukers itu berada? Terus terang saya belum tahu jawabannya. Sujiwo sendiri, selaku Presiden kesatu dan satu-satunya di Republik #Jancukers itu tidak pernah menerangkannya. Bahkan dari buku Republik #Jancukers (Kompas, November 2012) dengan ketebalan 400 halaman sekalipun, berharap tahu jawabannya adalah harapan yang berlebihan. Ibarat mencari jarum di kedalaman laut. Dari buku itu, kita memang bisa tahu bahwa diantara kelebihan Republik #Jancukersyang tidak dimiliki Republik Indonesia adalah bahwa di Republik #Jancukerssetiap jomblo diberi pasangan part timer oleh negara. Di Republik #Jancukers mobil kepresidenan mengalah pada mobil yang mengangkut perempuan yang akan melahirkan. Karena tidak ada yang tahu kalau-kalau bayi di kandungan perempuan itu kelak akan jadi presiden. Siapa pun perempuan itu: pakai tas Hermes atau pun tas kresek. Dan di Republik #Jancukers nyaris tak pernah ada bentrok antarsuporter bola karena di stadion, sebelum berlangsungnya laga, puluhan ribu penonton bola sudah dihidangi prasmanan bermutu. Karena sesungguhnya perut-perut kenyang itu lebih dekat pada kedamaian.
Kalau promosi di atas berhasil dan mengundang orang-orang untuk hijrah bahkan berniat pindah negara karena di negara mereka sendiri tidak ada lagi harapan kesejahteraan, sementara kehidupan mereka dipertaruhkan di bawah papan catur politik pemuka negara yang semakin menggila khas Indonesia, maka alangkah jancuknya Sujiwo Tejo.
Dan Sujiwo Tejo memang jancuk. Kesan itu yang pertama muncul di kepala saya sebelum membaca buku Republik #Jancukers yang berisi kumpulan esai Sujiwo Tejo itu. Sebelum membaca saya sudah diundang untuk berkesan jancuk. Betapa tidak? Lihat saja cover buku silver itu. Di situ terpampang foto “heroik” ala Sujiwo Tejo. Rambut gondrong, berkaos warna putih dan diperlengkap dengan pakaian ihram. Tatapannya dan senyumnya meneduhkan; mengingatkan kita pada foto politikus yang bertebaran di jalan-jalan menjelang hari pemilu. Tapi itu cover buku. Bukan baliho politik. Tidak akan pernah ada politikus yang berani tampil dengan gaya jancuknya Sujiwo Tejo. Tidak pernah ada politikus (bedakan dengan politikuswati) yang mau-maunya difoto dengan tangan kanan memegang lipstik, bukan cerutu. Karena memang, politikus kita tidak hanya besar kemauannya, tapi juga besar kemaluannya (harap tidak salah tafsir).
Sujiwo Tejo tidak sepotret dengan politikus kita. Sujiwo Tejo adalah Sujiwo Tejo. Sujiwo Tejo, meminjam bahasa Jakob Oetama, adalah seniman ora lumrah (tidak biasa). Ia potret seniman sekaigus budayawan.Ekspresi berkeseniannya lahir dari pergulatan reflektif atas situasi sosial-politik-budaya masayarakatnya. Itu sebabnya mengapa saat membaca buku Republik #Jancukers tidak hanya pikiran kita saja yang teraduk, hati kita juga. Dengan gaya penulisan yang sama edannya dengan gayanya mendalang, promotor jancuk yang paling jancuk di dunia ini membuat kita geleng-geleng kepala, terkekeh-kekeh sendiri hingga merutuki diri sendiri: Jancuuuuuk! Di situlah kita merasa tidak usah lagi bertanya di mana Republik #Jancukers itu berada. Kalaupun Republik #Jancukers hanya ada di kepala penulisnya, bukan suatu kerugian buat kita. Toh dari sana kita sudah mendapatkan sesuatu yang berharga: sentilan urakan yang meresap sampai ke hati perlahan. Toh kumpulan esai bergaya serba semprul itu juga dibela oleh Jakob Oetama: “Republik #Jancukers tidak sekedar eskapisme dari segala kebuntuan, kondisi karutmarut apalagi sikap pasrah. Melainkan bagian dari membangun kesadaran bersama tentang sebuah kondisi negara yang ideal. Tidak seideal, mungkin utopia, yang digagas Plato, tetapi ideal seperti yang dicita-citakan para pendiri negeri ini.” Sujiwo Tejo ngawur? Ya, itu benar. Tapi ngawurnya Sujiwo Tejo bukan ngawurnya orang ngelindur. Ngawurnya Sujiwo Tejo juga jauh jaraknya dengan sesuatu yang oleh umum dipahami sebagai “yang arogan”.
Sampai saya membaca Republik #Jancukers, kesan pertama tadi tetap bercokol di kepala. Alangkah jancuknya Sujiwo Tejo. Sujiwo Tejo sungguh jancuk dalam kengawuran tulisannya.
Dan kita bisa dengan mudah menemukan kuatnya kejancukan Sujiwo Tejo lewat esainya yang berjudul “Madura” (hlm. 386-388). Di esai itu, kita akan kecewa kalau membayangkan Sujiwo akan berfokus pada persoalan Madura dengan segenap persoalan masyarakatnya. Fokus itu tidak ada. Madura di sana hanya menjadi judul dan selebihnya hanya dibicarakan di tiga paragraf terakhirnya saja. Padahal esai itu terdiri dari enam belas paragraf. Lalu ke mana ketigabelas paragraf lainnya? Jancuk. Jangan terburu-buru, Cuk. Seperti Soto, tulisan juga tidak sedap kalau tidak ada bumbunya. Begitu barangkali kalau saya boleh melakukan pembelaan atas tulisannya. Tanpa bermaksud melupakan bahwa kadang masakan yang kebanyakan bumbu juga aneh rasanya. Heuheuheu..
Jangan terburu-buru. Bukan berarti Sujiwo Tejo melupakan Madura di sana. Esai itu justru ditutup dengan kearifan pribadi orang Madura. Tentang rasa tahu diri orang Madura dan bagaimana mereka menghargai keahlian orang lain. Saya pikir, tulisan ini adalah angin segar bagi orang Madura. Di tengah stereotipe negatif, yang entah dari mana muasalnya, selalu dilimpakan kepada orang Madura. Di saat Madura hanya dibunyikan dengan arogansinya, bukan ketegasan sikapnya. Di saat Madura hanya digemakan kekonyolannya, bukan ketulusannya. Dok. Pribadi WK Saya orang Madura. Lahir, dididik dan dibesarkan Madura. Di tanah rantau, saya tahu betul betapa stereotipe negatif itu sungguh pahit rasanya. Tapi anehnya, semakin rasis orang memandang Madura semakin bangga saya menjadi orang Madura.
Tulisan ini saya maksudkan sebagai semacam cara berterima kasih kepada Presiden #Jancukers Sujiwo Tejo. Salam jancuk, Mbah. Ternyata benar komentar orang-orang: Di balik kengawuran jancukmu itu, terselip kebenaran yang didiamkan. Saya percaya, Mbah, kumpulan esai sampeyan memang pantas disimak siapa saja, mulai dari yang sekedar tak buta huruf sampai yang profersor, tapi tak bisa dibaca oleh siapa pun yang sedang diliputi kemunafikan. Seperti katamu. Karena jancukmu adalah simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Simbol kejujuran...
Pedak Baru, 10 April 2015 || 20:56 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H