Mohon tunggu...
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wahyudi Akmaliah Muhammad Mohon Tunggu... profesional -

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dua Penulis yang Membakar Semangat

7 November 2011   15:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun terlahir bukan dari keluarga pecinta buku, dan dilahirkan di negara yang kurang menyukai dunia buku, saya yakin setiap dari kita kemungkinan besar memiliki buku favoritnya dalam hidup. Ada ragam alasan mengapa seseorang menyukai sebuah buku dan menjadikannya menjadi semacam ”kitab suci” yang selalu dibaca berulang-ulang dan pada halaman tertentu selalu dibuka, dihayati, hingga hafal di dalam otak kepala. Ada yang menyukai sebuah buku karena berawal dari gosip dari teman ke teman yang lain, kepopuleran sebuah buku, dan ataupun karena isi dari buku tersebut. Setelah menyukai buku tersebut biasanya akan berlanjut menelusuri rekam jejak penulisnya; latarbelakang kehidupan penulis, alasan penulis menjadi seorang penulis, hingga latarbelakangnya menulis buku. Hal ini akan berlanjut kepada proses untuk meniru menjadi seperti penulis favoritnya. Jikalaupun tidak bisa meniru dan ataupun mengikuti jejaknya, minimal memiliki semangat hidup dalam bidang tertentu untuk tak menyerah menghadapi situasi yang membuatnya buntu, terjebak dalam situasi yang tak mengenakan. Yang paling minimal lagi, sekedar mengamini apa yang terdapat dalam buku bacaan favoritnya tersebut.

Ini dialami juga oleh saya, di mana kecintaan terhadap buku seringkali membuat saya selalu menelusuri jejak rekam seorang penulisnya. Setelah mengetahui, saya akan memutuskan, apakah sekedar menyukai isi bukunya dengan menjadikannya sebagai pengetahuan ataukah juga menjadikan kisah perjalanan hidupnya sebagai upaya meniru dalam kehidupan saya. Terkait dengan dunia buku ini saya memiliki dua penulis favorit yang selalu jadi cermin inspirasi dan semangat dalam hidup, khususnya dalam dunia tulis-menulis, yaitu Muhidin M. Dahlan dan Nurkholik Ridwan. Selain karena produktifitas karya, saya menyukai kedua penulis ini karena ideologi perlawanannya yang diusung dalam menulis. Tentu saja, kedekatan saya dengan kedua orang tersebut juga turut mempengaruhi subyektivitas saya mengapa memilih mereka berdua. Memang, ada banyak penulis yang lebih produktif dan hebat dibandingkan mereka berdua. Bahkan, dari segi popularitas dan intelektual jauh melampaui. Sayangnya, hal itu tidak membuat saya bergeming untuk tetap menjadikan mereka berdua sebagai cermin inspirasi dan semangat.

Perkenalan saya dengan Muhidin M Dahlan diawali dengan bukunya yang berjudul ”Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta”. Selain berisi mengenai pengalaman getir dan pahitnya dalam dunia penerbitan, dalam buku itu ia menceritakan bagaimana kegigihannya untuk hidup dengan dunia menulis dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai pekerjaan satu-satunya dalam hidupnya setelah mengeluarkan diri dari arena akademis jenjang strata satu di IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Negeri Yogyakarta yang sempat ditempuhnya. Karena menulis adalah satu-satunya sandaran hidup, ia berani menentang arus dengan menerbitkan sebuah buku, ”Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”. Memang, buku itu yang melambungkan namanya dan buku itu menjadi mesin yang tak berhenti mencetak uang. Namun, ia harus membayarnya dengan amarah dan cacian bertubi-tubi, khususnya dari para pengkhutbah agama yang berhak menafsirkan dan pimpinan Universitas Matahari Terbit yang menjadi latarbelakang asal si tokoh perempuan tersebut. Amarah itu kemudian dijadikan energi oleh Muhidin dengan menerbitkan buku-buku yang menentang arus, seperti ”Kabar Buruk dari Langit” dan ”Adam dan Hawa”.

Pertemuannya dengan Pramudya Ananta Toer di mana ia pernah menjadi editor di penerbit Lentera Dipantara membuatnya terobsesi untuk menerbitkan berjilid-jilid kronik mengenai Nusantara. Langkah itu dimulai dengan menerbitkan buku ”Lekra Tak Membakar Buku” bersama seorang sejahrawan perempuan dari Universitas Negeri Jakarta yang sempat disegel oleh Mahkamah Agung sebagai bacaan terlarang. Dari sini, perjumpaannya dengan dunia kiri dan aktivitasnya untuk menjadi seorang pengarsip membuatnya menjadi penekun kronik media-media Indonesia dengan membentuk komunitas Indonesia Buku bersama anak-anak muda dari ragam kampus di Yogyakarta. Lagi-lagi, sejumlah pengalamannya itu tak membuatnya bergaya perlente layaknya penulis selebritis yang karya-karyanya laris manis dipasaran. Ia selalu bersahabat dengan siapa saja yang dikenal dan ataupun yang tak mengenalnya. Di tengah kumpulan orang banyak dalam satu acara, ia bahkan kerap hanya menjadi bagian di dalamnya ketimbang menjadi bintang. Memang tak ada yang bisa dipamerkan dengan tubuhnya yang ringkih. Tapi, keringkihan itu tak menutupi tulisan-tulisannya yang menusuk dan menentang kelaziman masyarakat atas apa yang dianggap tabu.

Sementara, perkenalan saya dengan Nurkholik Ridwan diawali dengan sebuah bukunya yang berjudul ”Islam Borjuis dan Islam Proletar”. Buku ini mencoba memberikan kerangka baru dalam melihat kategori Islam di Indonesia dengan menelaah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang terkenal di Indonesia. Di sini, ia menggunakan Marxisme sebagai kerangka analisis dan didukung teori-teori postrukturalis dan poskolonial yang pernah didapatkan dari hasil mengaji selama satu semester di Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Buku itu sangat berkualitas dan berbobot. Nurkholik, secara tidak langsung, mengajarkan saya bagaimana cara membaca fenomena organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan agama dengan semangat borjuasi yang dimilikinya. Tidak berhenti di sini. Ia lalu melanjutkan proyeksi nalar agama borjuis dengan menelaah pemikiran Nurkholish Majid yang seakan menjadi dogma di kalangan pengaggumnya dengan menerbitkan, ”Pluralisme Borjuis, Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur”.  Ia juga menerbitkan buku-buku yang bernafaskan perlawanan terhadap kemapanan agama dan juga kritik terhadap kapitalisme dan Wahabi.

Pada titik ini, saya tak habis pikir dan terus bertanya, ”semangat apa yang membuatnya begitu produktif untuk menuliskan buku dengan tema perlawanan atas kemapanan agama?” Jika ia menuliskan buku-buku tersebut karena uang, hal itu rasanya tidak mungkin. Ini karena buku-buku bertemakan agama dan perlawanan semacam itu memiliki jumlah penggemar yang sangat sedikit di Indonesia, yaitu dunia akademik. Pun dunia akademik tidak semuanya menyukai karyanya ataupun menyukai tema semacam itu. Kalau untuk popularitas menaikkan karir kepenulisannnya, mengapa ia saat ini masih bersikukuh menetap di Yogyakarta dan bergelut bersama anak muda NU di akar rumput? Inilah keunikan seorang Nurkholik Ridwan. Ia menulis, sebagaimana diceritakan oleh orang terdekatnya, untuk memperjuangkan masyarakat bawah yang tertindas oleh gilasan kapitalisme dan keangkuhan atas nama intelektualitas dan tetap memposisikan diri untuk selalu berada dipinggiran. Meskipun beragam tawaran ke Jakarta untuk bergabung di Kelompok Pengkaji Islam berhaluan NU datang menghampirinya. Pun Martin Van Bruinessen, Sarjanawan pengkaji Islam Indonesia dari Belanda yang telah membimbing Doktor-Doktor ilmu sosial dari Indonesia, pernah menawarkan untuk memberikan beasiswa di Belanda untuk menempuh sekolah Pascasarjana, tapi ia tetap memilih Yogyakarta dan bergulat bersama anak-anak muda yang memiliki idealisme untuk memperjuangkan apa yang disebut ”keadilan”, meskipun itu tak mudah.

Dengan demikian, dua sosok penulis itulah yang selalu membakar semangat saya untuk bekerja yang terkait dengan dunia tulis-menulis . Dua sosok itu pula yang menjadi inspirasi bagi saya untuk selalu memiliki keberpihakan dalam berpikir, berpendapat, dan menulis. Dua manusia itu pula yang membuat saya belajar bahwa kekayaan pengalaman dengan sejumlah karya yang dibuat tidak membuat seseorang makin membumbung tinggi, melainkan makin berpijak dan menepak untuk bersama mereka yang terliyankan. Sungguh ini satu pelajaran yang berat dan tak mudah dipegang. Sebab, setiap diri manusia selalu ada sesuatu yang ingin dibagi, dilihat, dan dipertontonkan sebagai satu kenikmatan. Entah dengan cara apapun.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun