Mohon tunggu...
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wahyudi Akmaliah Muhammad Mohon Tunggu... profesional -

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Air Mata Doa

24 Desember 2013   15:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu masih menangis saat aku bangun. Kamu tidak tidur, menangis semalaman karena aku tidak diterima sebagai peneliti di PMB-LIPI, yang diumumkan melalui lamannya pada 9 November 2010. Sebagai suami yang akan menjadi ayah di tengah usia kandunganmu jalan 7 bulan, pada 22 November 2010, sungguh berat bagiku untuk menenangkanmu. Selepas salat subuh, aku lalu memelukmu dan berucap kembali untuk menguatkanmu dan masa depan keluarga kita, “bunda jangan bersedih dan menangis lagi ya, insyallah pasti ada rejeki lain”, kataku dengan suara lembut. Memang, ada kekecewaan tidak diterima di PMB-LIPI, tetapi bukan berarti hidup harus dijalani dengan kecewa. Hidup harus terus dijalani dengan penuh rasa syukur, doa, dan tentu saja kerja keras. Meskipun, aku tidak tahu, sampai sejauh mana batas kerja keras ini. Sudah 40 aplikasi lamaran aku coba. Tidak ada satupun panggilan, apalagi diterima. Aku sudah menghubungi beberapa jaringan LSM yang dahulu aku pernah sempat kerja sebagai peneliti lepas. Tetap saja, mereka belum membutuhkan orang-orang baru. Di tengah situasi itu, aku terus menulis, mengirimkan artikel ataupun tinjauan buku ke media massa lokal dan nasional.

Kamu tahu, aku, sebagai suami, hanya bisa menafkahimu dari sisa-sisa beasiswa pascasarjanaku di International Peace Studies, University for Peace, Costa Rica. Jumlahnya tidak seberapa, tapi cukup untuk menafkahi keluarga kecil kita 3-4 bulan ke depan. Aku tahu, di tengah usia kehamilanmu yang sudah 7 bulan, bulan depannnya kamu harus berhenti dari pekerjaanmu yang telah kamu geluti selama 5 tahun terakhir ini. Perusahaan tempat kamu bekerja tidak mengijinkan perempuan yang sudah melahirkan lalu bekerja kembali. Otomatis berhenti dari pekerjaan adalah jalan yang kamu tempuh. Situasi ini membuat semakin kalut menghadapi masa depan keluarga kita. Begitu juga aku, sebagai tulang punggung keluarga baru, aku benar-benar kalut dan kebingungan bagaimana menatap masa depan kita ke depan. Saat itu, aku ingin menjual saja dua gelar pascasarjanaku agar mendapatkan uang untuk melahirkan anak kita. Aku juga sempat berpikir untuk menjadi sales man saja yang dapat menghasilkan uang lebih cepat dan langsung, meskipun hasilnya tidak seberapa. Aku juga tidak peduli dengan gelar. Yang aku pikirkan saat itu adalah aku dapat pekerjaan dan bisa menafkahi keluarga kecil kita.

Beberapa hari kemudian, 26 November 2010, di tengah rasa frustasi semacam ini, saat aku membuka akun facebook di pagi hari, tiba-tiba Herry Yogaswara, peneliti Kependudukan LIPI, dan juga teman seangkatan di Asian Research Fellowship di ARI NUS, tahun 2007, memberikan sinyal bahwa aku diterima sebagai 1 dari 6 orang mendapatkan beasiswa riset Asian Public Intellectual (API), yang disponsori oleh Nippon Foundation. Sinyal ungkapannya adalah satu kalimat, “memang anak membawa rejeki yah”. Usai itu ia tidak menjawab pertanyaanku. Lalu, aku meneleponnya. Ia menjawab bahwa aku diterima sebagai beasiswa selama 1 tahun untuk meriset di Filipina dengan tema “Remembering the legacies of the Marcos Dictathorship: the formation of Historical Memory and justice in the Philippines”. Aku langsung sujud syukur dan berterimakasih atas berkah dan rejeki yang diberikan. Aku pun meneleponmu yang saat itu sedang bersiaps-siap untuk bekerja di kantor. Aku membaca raut bahagia dalam dirimu. Aku membaca ketenangan dalam tuturmu. Dengan senang, kamu ceritakan hal tersebut kepada keluargamu yang berada di Lampung Selatan.

Aku berpikir barangkali ini yang dimaksud rejeki lain dari Tuhan. Sungguh rasa terimakasih yang terhingga kepada Sang Maha Tak Terhingga. Dengan diterima beasiswa ini aku merasa agak tenang. Setidaknya, aku bisa memperpanjang nafas hidup keluargaku. Aku bisa merencanakan rencana-rencana hidup keluargaku ke depan dan bagaimana aku harus menyikapi karir hidupku sebagai suami yang akan memiliki seorang anak. Beasiswa API ini cukup istimewa bagiku. Selain jumlahnya terbilang sangatlah lebih dari cukup, beasiswa itu dapat membuat aku dan keluargaku bisa hidup selama 2 tahun tanpa bekerja. Tentu saja, dengan pola hidup yang irit di tengah mahalnya tinggal di Ibukota Jakarta. Beasiswa ini juga menjadi semacam obat penawar di tengah kekecewaanku tidak diterima sebagai peneliti PMB-LIPI.

Di tengah rasa syukur ini ternyata Tuhan memiliki rencana lain lagi kepadaku, kamu, dan juga bayi yang ada dalam kandunganmu. Usai pulang dan menjadi pembicara dalam seminar “Hukum dan Penghukuman” yang diadakan pada 28 November 2010-1 Desember 2010, dengan mendapatkan uang honor sebesar Rp.400.000,- di tengah jalan ada dua orang yang meneleponku. Pertama, salah satu perusahaan outsourching di Jl. Jenderal Sudirman, memintaku untuk melakukan tes wawancara terkait dengan lamaran yang aku masukkan sebagai program officer untuk kedutaan Inggris di Jakarta. Kedua, dari BOK LIPI yang mengatasnamakan Pak Sunardi, meminta kesediaan saya untuk menjadi peneliti LIPI, menggantikan Mirna Nur Alia Abdullah, yang lebih memilih untuk menjadi dosen Antropologi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Aku pun memilih LIPI sebagai tempatku berlabuh. Sungguh, momen ini bukan hanya berkah bagi kamu dan aku, tetapi keluarga kecil kita. Momen ini semacam mukjizat, di mana Tuhan sangat berkuasa membolak-balikan perasaan dan posisi hamba-Nya.

Isteriku, air mata yang keluar dari tangisanmu tidak sia-sia. Tuhan tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengabulkan dari setiap doa dan tetesan air mata yang kamu keluarkan. Kini, aku tidak hanya memiliki pekerjaan, tetapi aku dapat bekerja sebuah institusi di mana menulis dan membaca adalah ruh dalam setiap bergerakan aktivitas yang aku lakukan. Dengan demikian, rasa syukur tak terhingga menjadi hal yang patut aku lakukan, diiringi dengan kerja keras. Air mata yang kamu keluarkan berbuah menjadi air mata harapan.

Isteriku, terimakasih atas kepercayaanmu menerima pinanganku, seorang laki-laki yang tak memiliki pekerjaan dan masa depan yang tak menentu. Kepercayaanmu memilihku adalah langkah besar dan keputusan irasional, yang tidak semua perempuan mau melakukannya. Aku berusaha menjaga amanahmu sebagai suami yang bertanggung jawab, kini dan yang akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun