Lain Air Asia, lain pula Lion Air, Lain sikap lain pula kebijakannya begitulah kebijakan yang diambil oleh menhub Jonan menyikapi kejadian kemanusiaan luar biasa yang diakibatkan oleh penerbangan Air Asia dan Lion Air. Publik tentu ingat betul, setelah musibahjatuhnya Air Asia menJonan terlihat begitu sigap melakukan segala langkah sidak dan audit sementara pada Air Asia. Publik tentu juga ingat aksi marah – marah menJonan pada kru AA yang berbuah surat kritik terbuka dari salah satu pilot senior Indonesia. Dan tanpa ampun menJonan mengeluarkan kebijakan pengahapusan tiket murah yang kontroversial dengan alasan “Lebih baik tak terbang daripada tak sampai” sesuatu kebijakan yang dikritik semua pihak mengingat memang faktor harga tiket tak berhubungan langsung dengan keselamatan.
Tak pelak, kebijakan kontroversial tersebut dimaknai secara tersirat untuk menghantam Air Asia sebagai raja dan pionir LCC diAsia bahkan salah satu yang terbesar didunia. Kebijakan inipun disinyalir beberapa kalangan adalah upaya proteksi menJonan pada KAI, sebagai bekas anak asuhnya sekaligus pembelaan tak langsung pada maskapai lain yang berdarah – darah jika harus melakukan perang harga dengan Air Asia, terutama Lion Air, sang penguasa LCC Indonesia. Dengan kebijakan ini otomatis Air Asia tak bisa lagi mengadopsi kebijakan globalnya 100% untuk wilayah Indonesia.
Publik pasti faham, tak mungkin LCC domestic bisa menandingi effisiensi Air Asia dalam pengelolaan maskapainya. Kebijakan kontroversial itu lantas banyak diartikan sebagai upaya terselubung menJonan untuk sedikit merintangi gerak Air Asia untuk membangun bisnis maskapai LCC di Indonesia, bahkan itu bisa diartikan sebagai pukulan ganda bagi Air Asia yang ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah apes kena musibah pesawat jatuh masih pula kena aturan yang kontroversial. Namun bukan Air Asia namanya kalau tak bisa lihai menyikapi kebijakan menJonan tersebut. Sebagai upaya tetap menghadirkan penerbangan murah mereka meniadakan beberapa komponen yang selama ini menambah harga tiket seperti fuel surcharge agar tetap murah dan kompetitif harga tiketnya.
Kebijakan kedua menJonan yang cukup kontroversial adalah penghapusan konter tiket pesawat dari bandara yang mulai akan diujicobakan dibandara Soekarno Hatta demi memberangus para calo tiket pesawat. Sebuah langkah mulia sebenarnya, namun selain dipertanyakan kebijakannya juga dipertanyakan pula effektivitasnya. Soal kebijakan ini tentu akan menghadirkan masalah tersendiri bagi orang – orang yang darurat mesti terbang via bandara Soetta nantinya dan tidak sempat memesan tiket terlebih dahulu dan terpaksa langsung go show kebandara, kemana mereka akan mencari tiket untuk kepentingan darurat?
Kebijakan terkait delay massal Lion Air
Setelah dikritik akibat tak sesigap dan tak terlihat sepowerfull biasanya ketika terjadi musibah kemanusiaan kedua, dimana terjadi penelantaran ribuan calon penumpang Lion Air selama puluhan jam tanpa kejelasan, kompensasi makanan dan hotel yang memadai akhirnya menJonan berkomentar juga terkait kebijakan yang diambil menyikapi tragedi delay puluhan jam Lion Air bahwa kemenhub menyatakan tak ada sanksi untuk Lion Air karena ketentuannya telah diatur dalam permenhub nomor 77. Sebuah langkah yang terkesan sesuai aturan namun tentu dipandang tak cukup jika melihat skala, frequensi dan efek kerugian yang ditimbulkan delay massal maskapai Lion Air ini.
Akibat reaksi menJonan yang terkesan diam, menghindar dan cenderung lembut pada Lion Air tentu publik akhirnya berpendapat liar bahwa sikap menJonan tersebut adalah bukan sikap Jonan yang biasanya, baik ketika di KAI maupun ketika menghadapi Air Asia. Ini adalah sikap Jonan sebagai menteri sebagai bawahan presiden yang kebetulan mempunyai wantimpres Rusdi Kirana, sang pemilik Lion Air. Publikpun menduga setegas – tegasnya menJonan akhirnya takluk juga ketika berhadapan dengan pihak yang sangat dekat dengan presiden alias ring satu Jokowi.
Kebijakan menJonan yang tak akan memberi sanksi pada Lion Air tentu dipandang sebagai kebijakan yang tak tegas dan diduga cenderung menjadikan Lion air sebagai anak emas kemenhub, maklum didunia penerbangan Indonesia sudah lama ditengarai ada isu kebijakan maskapai anak emas dan maskapai anak tiri. Rasanya memang tak cukup jika kemenhub hanya berpedoman pada permenhub untuk menyelesaikan masalah delay masal Lion Air jika menilik beberapa alasan dan efek yang ditimbulkannya.
Pertama, Lion air sudah sangat sering terlibat kejadian delay pesawat dan dianggap merugikan penumpangnya bahkan sudah sering kejadian rusuh atau marah – marah Antara para calon penumpangnya pada maskapai satu ini namun tak pernah terkena sanksi berat dari kemenhub sebagai regulator. Publik sudah sangat maklum dan menganggap biasa kalau ketika memilih Lion Air konsekuensinya adalah delay pesawat sehingga sering kali ada celetukan, plesetan dan meme – meme terkait seringnya Lion Air sebagai maskapai yang dianggap paling sering terkena delay dari sekedar “Mau cepat kok bayar murah” sampai plesetan kepanjangan Lion adalah “Late Is Our Nature”. Jadi seolah – olah ada anggapan hobi delay dan Lion Airadalah 2 entitas yang tak terpisahkan.
Kedua, Delay Lion Air terakhir sudah diluar batas kewajaran karena bersifat massal, tanpa kejelasan dan berujung pada penelantaran calon penumpang berjam – jam bahkan puluhan jam karena sampai ada yang terpaksa menginap dan pingsan dibandara karena menunggu dalam ketidak pastian. Untuk sebuah kejadian yang luar biasa tentu tidak tepat jika hanya memakai permenhub yang memang tak dirancang untuk kejadian luar biasa. Apalagi Lion Air disinyalir tidak punya SOP dalam menghadapi sistuasi darurat seperti ini baik dalam soal informasi, penanganan dari manajemen sampai penanganan pada calon penumpang agar tak terlantar dibandara.
Ketiga, Delay Lion Air ini secara langsung juga mencoreng citra dunia penerbangan dan pariwisata Indonesia didunia. Karena selain sangat massif dan tak terkendali sehingga jadi pembicaraan dan pemberitaan diluar negeri juga banyak WNA atau turis asing yang menjadi calon penumpang sekaligus korban delay Lion air. Bahkan dari berita dimedia massa ada rombongan turis Australia yang sampai menangis dibandara karena tak bisa terbang ke Bali, padahal harus mengejar pesawat dan pulang ke Aussie. DiBalipun sebagai surge turis asing ini, delay Lion Airpun jadi pergunjingan mereka, sampai banyak Tour guide terpaksa meminta ma’af pada mereka hanya karena merasa sebangsa dengan maskapai Lion Air.
Menimbang hal – hal tersebut diatas, sudah seharusnya menhub bertindak lebih keras pada Lion Air misal audit kelayakan manajemen dan operasional Lion Air, dan jika terbukti bahwa Lion air tak sanggup mengoperasikan semua rutenya secara professional maka wajib bagi kemenhub untuk menghapus rute Lion Air tersebut dan dilelang pada maskapai lain yang dianggap mampu. Bahkan kalau perlu dilakukan lagi penataan rute agar Lion Air tak terkesan mendominasi dan memonopoli dunia penerbangan Indonesia secara lebih adil dan transparan.
Jika hanya seperti ini kebijakan menJonan pada Lion Air maka jangan salahkan publik jika menganggap menJonan takut pada wantimpres sang pemilik Lion Air. Kalau sudah begini, tak hanya reputasi menJonan saja yang dipertaruhkan tapi juga reputasi dunia penerbangan kita baik didalam negeri maupun dunia internasional.
Jakarta, 21 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H