Demokrasi didasarkan prinsip partisipasi yang setara bagi semua warga negara dalam proses politik. Hal ini tentunya termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Namun, dalam realitanya penyandang disabilitas sering menghadapi berbagai hambatan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hambatan-hambatan ini berupa hambatan fisik, sikap, ataupun hukum.
Hambatan fisik dapat berupa tempat pemungutan suara yang tidak dapat diakses, kurangnya materi pemungutan suara yang dapat diakses, dan kurangnya transportasi ke tempat pemungutan suara. Hambatan sikap dapat berupa sikap negatif terhadap penyandang disabilitas, seperti anggapan bahwa mereka tidak mampu mengambil keputusan yang tepat atau tidak tertarik pada politik. Hambatan hukum dapat mencakup undang-undang yang membatasi hak pilih bagi penyandang disabilitas tertentu, seperti pada penyandang disabilitas intelektual.
Selain hambatan fisik, sikap, dan hukum yang disebutkan di atas, penyandang disabilitas juga dapat menghadapi tantangan lain dalam berpartisipasi dalam pemilu. Tantangan-tantangan ini meliputi kurangnya informasi tentang proses pemilu, kesulitan memahami materi pemungutan suara, kekhawatiran akan diskriminasi atau pelecehan di tempat pemungutan suara, serta kurangnya dukungan dari keluarga dan teman.
Tantangan-tantangan tersebut perlu diatasi agar pemilu benar-benar inklusif bagi penyandang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi dan dukungan kepada penyandang disabilitas, serta menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan mudah diakses di tempat pemungutan suara.
Permasalahan-permasalahan yang diuraikan di atas menjadi subyek kajian dalam teori model sosial disabilitas. Teori ini menyatakan bahwa kondisi disabilitas tidaklah disebabkan semata oleh keterbatasan yang dimiliki oleh seseorang, tetapi juga oleh tingkat perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, seseorang dengan keterbatasan fisik dapat dianggap sebagai penyandang disabilitas jika mereka tinggal di lingkungan masyarakat yang tidak dapat diakses pengguna kursi roda. Namun, jika mereka tinggal di lingkungan masyarakat yang sepenuhnya dapat diakses, mereka tidak akan tergolong sebagai penyandang disabilitas (Barnes & Mercer, 1996; Oliver, 1990; Shakespeare, 2013; Thomas, 2007; Humpage, 2007). Teori ini memberikan kerangka pemahaman terhadap kondisi penyandang disabilitas dan kemudian melakukan tindakan nyata untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mereka alami untuk mengakses ruang dan layanan publik.
Selain itu, penting pula untuk menambahkan perspektif hak asasi manusia terhadap kebijakan inklusi disabilitas. Menurut perspektif ini, penyandang disabilitas memiliki hak asasi yang sama dengan orang lain. Artinya, mereka memiliki hak untuk hidup, kebebasan menentukan pilihan, keamanan pribadi, akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, serta untuk berpartisipasi di semua aspek kehidupan (Wedgwood, 2017; Stein & McMorrow, 2016; Bank Dunia, 2015).
Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) menjamin hak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang lain. UNCRPD juga mewajibkan negara-negara untuk mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dalam pemilu.
Karenanya, terdapat beberapa hal yang diterima secara global sebagai langkah-langkah menuju pemilu inklusi. Hal-hal tersebut antara lain membuat tempat pemungutan suara yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas, menyediakan materi pemungutan suara yang mudah diakses, seperti surat suara cetak besar dan surat suara Braille, menyediakan transportasi ke tempat pemungutan suara bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan, mengedukasi pemilih dan petugas pemilu tentang hak-hak penyandang disabilitas, mengubah undang-undang yang membatasi hak pilih penyandang disabilitas.
Beberapa negara telah membuat kemajuan menuju pemilu inklusi. Argentina, misalnya, memiliki sejarah panjang dalam aktivisme hak-hak disabilitas, dan hal ini tercermin dalam undang-undang pemilu. Undang-undang pemilu tahun 2017 di negara ini mewajibkan semua tempat pemungutan suara dapat diakses oleh penyandang disabilitas, dan juga menyediakan alat bantu dan layanan tambahan, seperti penerjemah bahasa isyarat dan surat suara braille.