Mohon tunggu...
Wahyu Dewanto
Wahyu Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota komunitas angkringan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Takbiran, sebuah Manifestasi Konser Kemenangan

29 Agustus 2011   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah sebulan penuh kita berpuasa, takbir adalah laku lanjutan untuk menandai berakhirnya bulan Ramadhan menuju Idul Fitri. Takbir atau takbiran merupakan ekspresi kemenangan terhadap proses penihilan keakuan menuju penghambaan yang hakiki. Bahwa tidak ada yang lebih besar dari  Allah. Dan tiada tuhan selain Allah. Darinya, mengagungkan asma Allah mulai terbenamnya matahari hingga terbit fajar tak ubahnya sebuah konser kemenangan.

Konser kemenangan itu sendiri adalah konser batin sebagai bentuk pengakuan keagungan Allah. Pada akhirnya Allah jualah tempat segala tertuju. Puasa di siang hari, shalat di malam harinya, sodakoh dan amal-amal yang lain tiada lain hanya untuk Allah semata. Takbir menjadi nada yang mengalun memenuhi langit malam.

Maka mengalunlah takbir dari rumah-rumah warga. Bisa jadi dialunkan sembari memasak ketupat atau penganan kecil karena besok akan banyak tamu mengunjungi rumah itu untuk bersilaturahim. Atau justru ada yang sengaja berdiam diri di sudut ruangan untuk melafalkan takbir.  Membangun suasana intim hanya dengan Sang Kudus.

Sebagian mungkin mengalunkan takbir dari koridor rumah sakit karena ada anggota keluarganya yang sakit. Sebagian lagi takbir terucap lirih dijalanan. Karena para pemudik belum sampai ke kampung halaman. Sambil mengendarai sepeda motornya, takbir terlafal bersama deru motor. Takbir juga akan terucap lirih para penumpang bis atau kereta. Di tempat-tempat pelayanan umum, takbir terucap dari bibir para abdi masyarakat.

Dimanapun dan apapun yang sedang dilakukan umat Islam, takbir terlantun sebagai wujud perbincangan mesra antara makhluk dan penciptanya.

Takbir bergema di desa dan di kota,  di mushola dan masjid. Beberapa jamaah sengaja berkeliling dengan gaya khasnya. Yaitu bersama-sama berjalan menyusuri jalanan desa sambil membawa oncor (obor), meski jalanan sudah cukup terang karena sudah ada lampu jalan.

Ada juga yang beramai-ramai menaiki truk. Bahkan bedugpun diangkut serta. Tak jarang mereka berpas-pasan dengan truk serupa. Sesekali terdengar takbir di jalanan, namun setelah dilihat ternyata tukang becak dengan loud speaker besar di bangku becaknya memutar kaset takbiran.
Apapun bentuknya, takbir telah menjadi sebuah konser batin umat Islam menjelang hari raya Idul Fitri. Sebuah konser kemenangan setelah sebulan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Konser batin merayakan kemenangan
Kemenangan merupakan hasil akhir dari sebuah proses. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum kemenangan itu diperoleh. Yakni melewati peperangan. Konon, ada peperangan yang lebih dahsat dari perang fisik. Setidaknya itulah yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW setelah memperoleh kemenangan dalam perang badar. Perang yang dimaksud adalah perang melawan hawa nafsu. Perang melawan hawa nafsu berarti perang melawan diri sendiri.

Bulan Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk menggambarkan bagaimana umat Islam bergelut dengan hawa nafsunya. Pengendalian diri menjadi senjata ampuh agar umat memperoleh keberhasilan. Keberhasilan dalam mengendalikan hawa nafsu dan mengisi hari-hari selama Ramadhan dengan kekhusukan ibadah, pada akhirnya melahirkan sebuah kemenangan. Keberhasilan itu hanya kita pribadi dan Allah-lah yang hanya mengetahui. Pun kekhusukan ibadah kita. Kita semestinya berkuasa atas kekhusukan ibadah yang kita jalankan. Faktor di luar diri kita bukan menjadi soal untuk dipersalahkan apabila ternyata tidak mendukung kekhusukan ibadah. Diri kita sendirilah yang akan menghadirkan kekhusukan ibadah itu.

Demikian juga kemenangan itu. Kita sendirilah yang mampu mengukur apakah kita termasuk pribadi-pribadi yang layak memperoleh kemenangan. Apakah ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan telah mampu menempatkan kita pada posisi ketakwaan. Sebagaimana misi puasa yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 183.

Ketakwaan menjadi keniscayaan bagi orang beriman. Orang yang beriman adalah mereka yang menerima panggilan untuk berpuasa di bulan Ramadhan dan memeriahkan malam-malamnya dengan shalat malam.  Walhasil, memperoleh kemenangan manakala selesai Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun