Mohon tunggu...
Wahyu Dewanto
Wahyu Dewanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anggota komunitas angkringan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darah Juang

20 Agustus 2011   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:37 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun yang pernah mengenyam menjadi mahasiswa di era reformasi 1998 mengenal lagu Darah
Juang. Darah Juang seakan menjadi pembangkit semangat untuk melakukan perlawanan terhadap
rezim otoriter orde baru. Selebihnya, pegerakan mahasiswa diwarnai dengan upaya-upaya untuk
segera menyudahi rezim yang sudah bobrok. Setiap mimbar bebas atau demontrasi di bulevar
kampus sudah bisa dipastikan Darah Juang dinyanyikan. Lagu ini juga dinyanyikan ketika
mahasiswa melakukan setting aksi.

Lagu Darah Juang diyakini dibuat oleh Andi Munajat dan rekannya sesama mahasiswa Filsafat
UGM yang bernama John Sonny Tobing. Namun ada yang mengatakan jika lirik lagu itu berasal
dari puisi Wiji Tukul. Dalam tulisan ini kita akan membahas hal tersebut di atas. Kita akan
membahas darah juang yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dalam perjalanan menjadi Indonesia seperti yang ada seperti sekarang ini, tidak terlepas
dari kisah-kisah perjuangan. Bentuknya bisa beraneka macam. Mulai dari perlawanan fisik
hingga buah-buah pemikiran membangun bangsa. Perjuangan-perjuangan itu dilakukan oleh
pendahulu-pendahulu kita. Sebutan pendahulu bukan tidak memiliki arti apa-apa. Mereka yang
bersedia mendahului berarti orang-orang yang berani mengambil risiko. Termasuk kematian.
Mereka menjadi martir bagi revolusi yang mereka ciptakan sendiri.

Perlawanan (baca: perjuangan) melawan penjajah merupakan antitesis dari kehadiran orang-
orang asing yang berlagak tidak sopan dan angkuh. Bukan saja telah menganggap orang pribumi
tidak lebih dari kumpulan orang-orang yang tak memiliki peradaban, namun juga membawa hasil
bumi ke tempat asal mereka seolah-olah itu miliknya. Mereka menganggap diri sebagai tuan dan
menganggap pribumi sebagai budak. Untung saja ada pribadi-pribadi yang memandang hal
tersebut sebagai ketidakadilan. Merekalah yang kemudian mengobarkan semangat revolusi.

Untuk menyebut pribadi-pribadi itu, kita mengenal dalam buku sejarah yang diajarkan di
sekolah. Pattimura di Ambon, Hasanudin di Makassar, Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di
Sumatra Barat, Cut Nyak Din di Aceh, dan masih banyak lagi.

Barangkali kita berpikir bahwa yang mereka lakukan masih dalam ranah lokal. Tapi pernahkah
kita berpikir bahwa yang mereka lakukan adalah pada nantinya berimbas pada bentuk Indonesia
seperti saat ini. Sebuah kesatuan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Sebagai kesatuan rasa
dari Miangas sampai Rote.

Pada awal abad 20, perjuangan melawan penjajah mengalami perubahan. Perlawanan fisik yang
menjadi model selama itu berubah menjadi perjuangan pemikiran. Dr. Sutomo, Dr. Wahidin,
Suwardi Suryaningrat adalah tokoh-tokoh yang bisa disebutkan.

Selanjutnya lahir tokoh-tokoh Agus Salim, Soekarno, Hatta dan Syahrir. Bahkan setelah
kemerdekaan dicapai muncul tokoh-tokoh yang mempertahankan kemerdekaan. Panglima Besar
Jenderal Sudirman adalah tokoh tersebut. Tentu saja kita tidak bisa melupakan peran kyai-
kyai yang merelakan santrinya untuk ikut berjuang dan arek-arek Surabaya yang hanya memiliki
dua pilihan: Merdeka atau Mati.

Revolusi yang mereka kobarkan tidak lain untuk kepentingan bangsa dan kedaulatan negara.
Tidak lebih. Selain karena kekayaan yang melimpah, kita patut bersyukur karena bangsa
Indonesia memiliki darah juang. Darah juang itu senantiasa mengalir tak putus-putusnya di
setiap kelahiran anak bangsa. Buktinya, kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan bukan
pemberian. Banyak negara yang mendapatkan kemerdekaannya hasil dari pemberian negara yang
menjajahnya. Tapi bukan Indonesia.

Darah juang itu hingga kini terus mengalir. Melewati perjuangan mahasiswa dan pelajar pada
tahun 1966. Penolakan terhadap modal asing di tahun 1974 yang pada akhirnya menimbulkan
peristiwa Malari. Dan masih segar dalam ingatan kita, darah juang juga mengalir disetiap
mahasiswa di tahun 1998. Gerakan reformasi telah menumbangkan rezim otoriter orde baru dan
memaksa Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Gerakan apapun namanya merupakan antitesis dari keadaan status quo. Agar tidak diam maka
harus bergerak. Saat ini negara kita bisa dibilang dalam keadaan diam. Sama sekali tidak
bergerak. Apalagi maju. Kita ditakdirkan memiliki darah juang. Kini saatnya untuk
menggelorakan darah juang dalam diri kita. Agar kita bisa menatap optimis masa depan negara
kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun