Mohon tunggu...
Wahyu Desy N
Wahyu Desy N Mohon Tunggu... -

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama, untuk itu jangan biarkan mereka menjatuhkanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

TIME (Beast fanfiction) part 3~end

27 November 2014   04:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:44 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Right now we’re like the clock hands up 12:30. We have our back to each other. Looking at different places.
Tiit. Pintu terbuka pelan. Perlahan dilepas kedua sepatunya di samping boot balel milik Mirai. Ia melirik jam tangan sekilas. 12:30.
“Kau sudah pulang?,” sebuah suara menegurnya pelan~tak ada tensi ataupun emosi. Teguran itu seolah sekadar untuk mengugurkan kewajiban. “Mau kubuatkan sesuatu?,” suara Mirai kembali terdengar. Doo beringsut menuju dapur. Dilihatnya Mirai tengah mengaduk susu~membelakanginya. “Mau kubuatkan juga?,” ucap Mirai lagi tanpa berbalik. Doo masih diam. Tiba-tiba saja ia merasa marah. Tiba-tiba saja ia merasa, ini~perang dingin ini tidak seharusnya terjadi setelah tiga tahun mereka bersama. Ia bias saja meninggalkan semua, jika memang harus. Tapi bukan seperti ini caranya.
“Kau membuatku muak.” Desisnya hampir tak terdengar. Mirai tertegun, suara sendok dan gelas yang beradu diam seketika. Matanya berembun. Ia mendongak menahan tetesan yang memaksa muncul. Mungkin memangini saatnya.
“Ahjussi, Aku…”
Doo menyambar tubuh Mirai cepat. Mendaratkan ciuman ringan di bibir. Sekadar ciuman, tak lebih. Posisi itu bertahan beberapa saat hingga Doo menyadari tangannya basah. Ia melepas ciman.”Kau~ menangis?”
Mirai terdiam. Ia beringsut keluar. Tak ada yang perlu dibicarakan. Doo tidak pernah peduli. Bahkan meski~ dulu ~ ia berulangkali menyinggungnya Doo tetap tak peduli. Semua memang hanya omong kosong.
“kau~”
Doo tak meneruskan ucapannya karena Mirai lebih dulu menutup pintu kamar. Tak lama ia muncul kembali.
“Aku keluar sebentar” ucap Mirai sambil membawa coat merah maroon kesayangannya. “Beristirahatlah, kau harus ke kantor besok.”
Nafas Doo memburu, cepat disambarnya vas bunga yang mereka beli setahun yang lalu. Ia tak sadar. Ia tak ingat kenapa ia harus melakukannya. Ia hanya tahu, saat ini ia ia sedang marah, dan…
Brak!! Vas itu menghantam pintu~ tepat saat Mirai memegang handle pintu. Mirai yang tak sempat mengantisipasi terpekik pelan. Pecahan vas mengores kakinya. Ia meringis lalu berlari menuju kamar. Darah tercecer mengikuti langkah kakinya. Doo bergegas mengikuti Mirai. Direngkuhnya tubuh Mirtai yang masih sibuk mencari kotak P3k. sekali gerakan Mirai ia dudukkan di tepi ranjang. Tak ada suara. Tak ada kata-kata. Ia segera membersihkan luka gores ~yang untungnya tak sedalam yang ia khawatirkan~ lalu diberinya sedikit obat. Mirai meringis menahan perih. Sesekali Doo meniup luka hingga obatnya sedikit mengering lalu membalutnya dengan perban. Perlahan diangkatnya tubuh Mirai lalu dibaringkannya pelan.
Doo tak bersuara sedikitpun. Ia diam~ia tidak berniat diam. Ia diam karena tak tahu harus membicarakan apa dan bagaimana memulai pemicaraan diantara mereka. Dalam hati~ ia sunguh berharap Mirai akan menegurnya. Menanyakan sesuatu meski hanya basa-basi. Apapun itu, saat ini penting baginya. Tapi tidak ada. Masih sepi. Masih lenggang.
Doo melangkah keluar, meninggalkan Mirai yang masih terbujur bak manekin. Mungkin dia sama canggungnya denganku~batin Doo menghibur. Doo kembali ke kamar dengan segelas air. Meletakkannya pelan di meja dekat ranjang lalu kembali berbalik.
“Aku tidur di luar.” Ucapnya pelan. Suaranya bergetar. Dadanya tiba-tiba sesak. Tiga tahun bersama, dan mala mini mereka seolah terlahir kembali sebagai orang asing. Mirai tak menjawab. Hanya diam.
Doo menutup pintu pelan. Ia tersenyum. Menyeringai. Mentertawakanmu kebodohannya. Menghela nafas panjang. Menghembuskannya perlahan. Ini terlalu berat. Ia tidak siap. Ia tidak mempersiapkan diri untuk masa-masa seperti ini. Ia berbaring di sofa. Matanya terpejam ~mencoba mencari ketenangan. Sial~ ia lupa membawa selimut.
Klik. Pintu kamar terbuka. Bunyi langkah tertatih Mirai tertangkap pendengarannya. Langkah itu mendekat. Doo masih diam. Masih terpaku dalam posisinya. Bahkan membuka matapun tidak. Ia terlampau lemah untuk kembali memulai ketegangan.
“Kau sudah tidur?.” Mirai bertanya lirih. Keraguan terdengar jelas dari suaranya. Ia diam di sana sejenak, membungkuk pelan lalu kembali berdiri tegap. Ia tahu, Doo tidak sedang tidur. Mungkin~dia sedang tidak ingin diganggu, batinnya. Ia menghembuskan nafas perlahan, “Hm,~ baiklah”
“Kenapa?” Tanya Doo cepat~ saat dirasanya Mirai bergegas pergi
“Um~ aku tidak bisa tidur” ucapnya gugup. “Apa~ hm~ apa tidak apa-apa kalau~ ah, aku membawakanmu selimut untukmu. Di sini dingin”
“Apa kau mau menemaniku?” pinta Doo pelan, tak ingin menimbulkan ketegangan baru.
“Apa boleh?.”
Mirai merasa tak yakin~ seolah Do akan mengusirnya jika ia tetap tinggal di sana.
“Tentu saja” kali ini Doo tersenyum ~ canggung. Ia menggeser tubuhnya hingga ke sudut sofa, menyisakan ruang yang cukup lapang untuk tubuh mungil Mirai.
“Kemarilah.” Ucapnya sambil membuka lengan ~ agar Mirai bisa meletakkan kepalanya di sana. Mirai berbaring sambil menangkupkan selimut. Mereka saling diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya bunyi jarum jam mengisi ruang kosong diantara mereka.
Doo merapatkan pelukan, mengalirkan hawa hangat yang lama tidak ia rasakan. Ia tidak sedang bersedih ~ kali ini setidaknya belum. Tapi airmatanya seolah memaksa keluar.
“Kenapa kau begitu kurus?” gumamnya, “Bukankah sudah kubilang untuk mengurangi jadwalmu.”
Mirai diam. Ia menangis~ dalam diam. Doo tahu itu, tapi ia tidak sedang ingin menginterupsi. Malam ini, untuk pertama kalinya ia merasa seperti tiga tahun lalu.
***
Even though Im letting go right now. Even though everything has stopped, I believe that broken heart clock will move again.
Sekar baru saja menyelesaikan meeting dengan para donator CH. Ponselnya bergetar pelan. Sudah sejak satu jam yang lalu ponsel itu terus bergetar. Kalau saja ia tidak menonaktifkan nada deringnya, mungkin rapat hari ini bisa berantakan.
Alisnya tertaut saat ia melihat sebaris nama muncul, “Yoboseo.”
“Noona, apa aku bisa bicara denganmu?” selenting suara menginterupsi cepat. Alis Sekar kembali terangkat. Apa dia tidak salah orang?
“Tidak akan lama.” Pemilik suara itu kembali menyela~ seolah khawatir Sekar akan menolak keinginannya. “Noona.”
“Wae.”
“Aku sudah memutuskannya.” Ia diam sesaat, “Noona kau bilang kau akan ikut menyesal jika semua berakhir begitu saja.”
“Ya. Lalu?.”
“Aku~ seperti yang kau bilang,” suara itu diam sejenak, mungkin bingung memilih kata yang tepat. “Aku tidak tahu kenapa harus menghubungimu. Tapi~”
“Tapi?” Sekar memotong kalimatnya. Seolah menangkap kegugupan di seberang sana. Tak ada suara lagi. Ruang tiba-tiba hening. Beberapa saat terdengar helaan nafas panjang. “Aku akan mengaturnya, jangan khawatir.” Ucap Sekar tenang.
“Benarkah?” sentak Doo cepat, “Ah. Gomawoyo noona. Terimakasih. Aku tidak akan melupakan semuanya.”
Sekar tersenyum hangat, seolah Doo bisa melihatnya, “Cukup jaga dia dengan baik.”
Klik. Sambungan diputus. Sekar terpaku sejenak. Tuhan selalu bekerja dengan cara yang luar biasa, batinnya kagum. Ia kembali mengambil ponsel yang sempat diletakkannya setelah menelfon Doo tadi. Ia perlu mneghubungi seeorang untuk hal sepenting itu.
“Anyyeonghasimikka Tuan, apa anda sibuk?” ia menyapa lebih dulu, sebuah suara lembut menyapa salamnya dari seberang. “Apa boleh saya meminta anda datang ke camp akhir bulan depan?. Kami membutuhkan Tuan untuk menjadi saksi seseorang.”
Sekar diam sejenak~ menunggu jawaban dari seberang. “Ah, anda mengingatnya? Benar itu mereka.” Sesaat kemudian ia tersenyum puas, “Terimakasih sudah bersedia datang. Sampai bertemu nanti.”
Sekar termangu, ingatannya kembai ke satu tahun lalu. Saat Doo dengan segala kelebihan ~ Uang, Kekuasaan dan Orang~ membuat camp nyaris bubar hanya untuk memperlihatkan cintanya pada Mirai. Bagaimana tidak? Doo membawa dua buah helicopter untuk untuk membentangkan spanduk berisi pernyataan cintanya. Tak ayal banyak tenda rubuh dan banyak anak-anak berlarian karena panic. Polisi setempat hanya hanya bisa menonton dari jauh karena Doo sudah dulu menjadikan tempat camp itu sebagai area privatnya.
Ratusan media menjulukinya konglomerat gila untuk aksinya itu. Anehnya, bukannya di deportasi, dia malah mendapat jabatan tertinggi diperusahaan.
“Untuk semua keriuhan itu, sudah sewajarnya kalian bersatu. Gumamnya pelan sambil mengulum senyum .
Topoyo, sebelum 12:30

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun