[caption id="attachment_306604" align="aligncenter" width="620" caption="potret banjir di Manado (sumber foto: tempo.co)"][/caption]
Bumi selalu merindu rintik hujan. Sebagai tanda cintanya, langit menurunkan hujan. Semesta ikut melapangkan jalannya bagi keduanya. Tercurah, deras, menggerus, kemudian membanjir. Jika bumi tak mampu menampung air yang begitu banyak, itu soal lain. Ketakmampuan manusia mengelolah alam menjadi tulah yang tak kunjung disyukuri. Derai derasnya terkadang di jadikan angin lalu. Tak juga menjadi pelajaran untuk menginsyafi.
Gambaran tersebut adalah sebuah konstruk yang dibangun atas kehendak nafsu duniawi. Bukankah bumi adalah manifestasi Tuhan dalam menghadirkan diriNya. Sementara manusia tak mampu keluar dari tafsir pengembang amanah sebagai wakil Tuhan di atas muka bumi.
Jauh sebelum manusia mendapat mandat mengelolah bumi, Tuhan telah menawarkannya baik kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Namun, mereka menolaknya. Manusialah yang justru menerimanya. Bahkan dengan berani menghancurkan tatanan siklus alam.
Kehadiran banjir memang bukan rekayasa. Tapi selalu ada tuntunan untuk melewati berbagai dampak yang ditimbulkannya. Barangkali banjir kesekian kalinya sedang menjalani ritual untuk menguji spritualitas duniawi. Sebuah pesan pelangi yang lebih universal. Diam-diam hujan datang yang tadi subuh, pergipun diam-diam, malu pada matahari, rapuh pada mata hati. Tapi apa boleh buat, para pecinta ekologi tentu cinta juga pesan Nabi Nuh untuk dunia yang stabil, subur dan sehat.
Terkadang saya hanya perlu menitipkannya. ITU
Profil dan Bacaan Terkait
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H