Mohon tunggu...
Wahyuddin Junus
Wahyuddin Junus Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya menulis untuk tidak menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana : Penulis Membaca dan Pembaca Menulis

6 Januari 2014   16:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_304384" align="aligncenter" width="499" caption="Ilustrasi Shutterstock"][/caption] Saya tidak memikirkan bagaimana suku Bajo mempertahankan nilai kerifan lokalnya, begitu banyak kearifan lokal ditemui di negeri ini. Saya hanya berpikir bagaimana penulis mampu mengisahkan sebuah keadaan, peristiwa, pengalaman dalam bentuk tulisan yang sederhana dan tidak dipenuhi istilah ilmiah yang membingungkan namun mampu menyihir pembaca seolah ada di dalamnya. Ini yang belum saya bisa. Begitulah komentar Tubagus Encep atas penilaian tulisan Yusran Darmawan, Hantu-Hantu Laut Di Wakatobi. Komentar ini mengingatkan saya tradisi post-modernisme, bagaimana otoritas teks tidak lagi berada di tangan penulis, melainkan pada bahasa. Bahasa yang memainkan peran, bukan sang penulis. Posisinya tergantikan oleh bahasa yang dia bungkus, itulah mengapa sampai Kang Encep harus mengekspresikan dengan tepok jidat pada kemampuan Yusran Darmawan menghipnotisnya ketika membaca hasil reportasenya itu. Dalam tradisi post-modernisme, seorang penulis tidak lagi mempunyai tempat dalam teks “pengarang telah mati”, kata Roland Barthes dalam karya monomentalnya The Pleasure of the Tex. Ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi ‘semangat’ dan ‘jiwa’ penulis dalam karyanya. Penulis tidak lagi berbicara. Suaranya menghilang bersamaan dengan munculnya teks atau karya tulis. Begitu berada di tangan pembaca, karya tulis akan terkelupas, meledak, dan tersebar tak terkendalikan oleh penulisnya. Setiap karya dapat ditemukan kode-kode bahasanya, tanpa ‘kehadiran’ penulisnya. Itulah mengapa tulisan dengan reportase mendalam penulis, begitu membekas sampai pembaca melarut dalam isi tulisan. Berbeda dengan tema-tema sensual, semisal Jakarta Undercover karya Moamar Emka, apa yang terbesit dalam ruang pikir kita? Apakah terhanyut bersama Emka lewat goresan-goresan pena yang dituangkan dalam buku tersebut? Atau sebaliknya, ‘mengabaikan’ dia, seraya pikiran kita bebas menafsirkan wacana atau informasi yang dia kemas dengan bahasa-bahasa penggugah gairah seksual? Sejalan dengan rilis terbaru Kompasiana, 10 artikel Kompasiana yang Paling Banyak Dibaca Sepanjang Tahun 2013, menempatkan artikel Pakde Kartono dengan jumlah pembaca terbanyak dengan tulisan Kisah Anak Muda Pacaran, Check In di Hotel Transit sebagai urutan pertama. Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bukan persoalan mudah. Setiap kepala tentu memiliki jawaban berbeda-beda. Dalam pergulatan filsafat, perbedaan jawaban atas pertanyaan seperti itu telah melahirkan karakteristik yang mencirikan dua tradisi besar: modernisme dan post-modernisme. Dalam tradisi modernisme, penulis atau pengarang adalah figur yang sangat penting dan sentral. Sebuah karya tulis selalu diidentifikasikan dengan penulisnya. Figur penulis menjadi ‘jantung’ perhatian pembaca, sehingga batas antara dia dengan hasil karyanya menjadi kabur. Karya dianggap sebagai hasil ‘kejeniusan’ atau ‘kepandaian’ sang penulis. Otoritas dan keotentikkan dilegetimasi melalui ‘tanda tangan’ atau ‘hak cipta’ pengarang. (Yasraf Amir Piliang: 1999). Saya tidak tahu apakah Pakde Kartono menganut paham modernisme atau Yusran Darmawan memilih post-modernisme sebagai pilihan. Tentunya pembaca punya penilaian tersendiri untuk memposisikan kedua penulis berbakat yang dimiliki Kompasiana. Memahami diskursus modernisme pembaca selalu bersikap dingin, tidak berpikir kritis terhadap apa yang dibacanya. Dia terlena dengan ide-ide atau hasil temuan sang penulis, tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pembaca menjadi obyek hegemoni keinginan, nafsu, selera, kegelisahan, kegembiraan, kesenangan, dan totalitas penulis. Keadaan itu membuat pembaca tidak sadar bahwa dirinya sedang dijajah oleh sang kolonial bernama penulis. Mencermati tulisan-tulisan Pakde Kartono, saya memposisikannya sedikit di atas Moammar Emka dengan satu kelebihan punya selera humor yang tinggi. Sosok Pakde Kartono senantiasa menghiasi ruang pikir dan daya kreatifnya. Pada posisi ini, pembaca secara tidak sadar telah memasuki hutan belantara modernisme dan berposisi sebagai ‘makanan siap saji’ sang penulis. Mohon maaf kalo ini berlebihan. Lain halnya dengan tradisi post-modernisme yang justru tega ‘membunuh’ sang penulis. Otoritas teks tidak lagi berada di tangan penulis, melainkan pada bahasa. Bahasa yang memainkan peran, bukan sang penulis. Posisinya tergantikan oleh bahasa yang dia bungkus dalam bentuk susunan kata atau kalimat. Setiap karya dapat ditemukan kode-kode bahasanya, tanpa ‘kehadiran’ penulisnya. Ini kelebihan yang dimiliki Yusran Darmawan, dengan reportase terbaik pilihan Kompasiana Award 2013. Di antara dua penulis yang sebutkan di atas, dimanakah posisi pembaca ? Sesungguhnya kedua penulis adalah berlaku sebagai pembaca ketimbang menulis. Tulisan-tulisan sebagai hasil interaksi dan dialog memungkinkan pembaca dapat menuliskannya kembali dalam posisi sebagai perantara antara penulis dan pembaca. Inilah ruang dimana pembaca sekaligus penulis menghadirkan interaksi dalam setiap tulisannya. Dalam suasana seperti ini maka pembaca memilih kebebasan untuk berpartisipasi menghasilkan banyak makna dalam teks. Tentunya kita berbangga, tanpa kehadiran penulis suatu karya tidak akan pernah lahir dan tak akan hadir menemui pembaca. Fungsi penulis adalah pendistribusi wacana, dimana kehadirannya telah mengharubirukan jagad Kompasiana. Lantas, apa fungsi pembaca selaku penerima teks dan wacana ? Terhadap pertanyaan ini, saya mengambil sikap tetap dibutuhkan pembacaan yang kritik demi menempatkan media sebagai tempat belajar. Menempatkan informasi sebagai suatu realitas yang harus didekati. Kenyataan yang mengharuskan pembaca dekat informasi yang dibutuhkan. Sebagai kontributor wacana, penulis berhak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya dari pembaca, karena dengan bersusah payah membuka jendela informasi bagi banyak manusia. Namun, penghargaan itu jangan sampai membuat kita alergi untuk bersikap kritis terhadap suatu karya. Akhirnya, hanya satu kata untuk menumbuhkan dan merawat sikap kritis: ‘lawan’, Pakde Kartono dan Yusran Darmawan. Salam Kompasiana

Profil dan Bacaan Terkait

Kompasianan Butuh Pembaca Kritis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun