Perjumpaan saya dengan dunia menulis dimulai sekitar tahun 1998. Berawal dari ajakan untuk mengelolah sebuah buletin di kampus Unhas: Katalisis. Media kampus dengan jargon ‘menyibak sains menggapai info’ ini coba diaktifkan kembali setelah sekian lama vakum. Sebuah media komunikasi antara mahasiswa dan jurusan kimia, tempat saya menimba ilmu. Fragmen kenangan dalam bingkai keterampilan menulis masa lalu di ruang redaksi yang kami namakan ‘Creative Room’, yang mempesona dan masih membekas hingga kini.
Dalam kepusingan mengelola buletin saat itu, terkadang kami harus membelah pikiran. Kami harus membagi tugas-tugas, di mana kami harus menjalankan peran masing-masing. Saat itulah terasa adanya tarikan nafas yang berbeda. Dari sana dinamika itu akan menuai senyuman di saat media Katalisisi hadir ke hadapan pembaca. Sepertinya jerih payah menghadirkan gesekan biola, guna melantunkan semangat untuk tetap eksis. Keberadaan flashdisk belum senikmat sejalan, maka mengetik tulisan lembar per lembar menjadi siluet malam di balik meja redaksi.
Saat menggumuli Buletin Katalisis, kami harus bekerja keroyokan. Karena minat, kapasitas, dan personel yang terbatas. Ditengah perkuliahan plus praktikum, kami berjuang untuk menyempatkan diri memberikan titik-titik cerah pada media ini. Betapa banyaknya kesulitan itu selalu saja memberi kami banyak hal yang justru kian dewasakan saya akan makna hidup yang terjalani kini. Segala memorinya masih tersimpan, bahkan dengan cara menggaruknya pun masih membekas di pelupuk mata ini.
Terus terang saya menuliskan kenangan ini bersama secangkir kopi susu. Itu cara saya melancarkan tulisan. Sebuah pijakan rasional patut dikemukakan di sini, bahwa untuk melucuti bangunan kosa kata dalam pikiran terkadang perlu stimulir atau pendukung. Menikmati segelas kopi susu sambil merasakan pahit dan manisnya secara simultan. Para politisi pun acapkali memperlakukan kekuasaan laksana minum kopi susu. Itu pula mengapa laju informasi berbanding lurus dengan tragedi kemanusiaan. Dan saat ini kita disuguhi dengan kepahitan tulisan. Ketika buah tulisan ciptakan ‘kekhilafan ilmiah’ di jagad media.
Duniakepenulisan terkini dihinggapi silang pendapat atas tajuk opini Kompas (10/2/2014). Semua itu bermula atas kritikan yang pahit dari seorang kompasioner bernama "penulis ugm". Aroma duplikasi melucuti aroma kopi yang belum sempat saya cicipi. Pahitnya kopi ini tidak dapat membendung kecemasan saya untuk introspeksi diri. Namun kemanisannya adalah pembelajaran yang tak dapat dibendung. Menulis itu menyimpan jalinan informasi, pada waktu yang akan terjalani.
Mengutip catatan Darwin Ismail, salah seorang teman berdiskusi dikampus, Alkisah, menurut para sufi, Hud-hud adalah burung yang selalu ingin mencapai ilham, inspiring dan intuisi yang benar. Ia menuntun akal (Sulaiman a.s) dan mengendalikan hawa nafsu (Balqis). Semoga burung itu selalu terbang dikerumunan jiwa kita, disekitar diam (baca: pena) kita dan mencerahkan pikiran, tak terkecuali di media ini.
Episode hari ini memberi pelajaran bahwa penulis itu tidak pernah sendirian. Saya hanya perlu meresapi pahitnya kopi tanpa perlu membuangnya. Dan mencoba belajar menulis dari kasus Anggito. Lagi dan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H