Mohon tunggu...
Wahyuddin Junus
Wahyuddin Junus Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya menulis untuk tidak menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Banjir Di Sini Salah Siapa ?

14 Januari 2014   17:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389703935937840850

[caption id="attachment_305930" align="aligncenter" width="551" caption="Ilustrasi by Shutterstock"][/caption]

Terkadang kita harus basah bersama hujan di jalan yang mulai membanjir. Banjir telah menjadi berita. Mulai dari semata kaki sampai ukuran sepinggang. Kondisi ini dimungkinkan terbalut rasa kesejukan dalam genangan air yang menemui ruang halaman mata manusia. Keramahan hujan berganti menjadi kemuraman di batas kesadaran yang tak beranjak dari masa yang terlewati. Seolah mengitari siklus waktu yang harus terjalani.

Ah, hujan kali ini sepertinya butuh sealbum Adele atau Air Supply dan ditambah sajian pelengkap segelas kopi susu hangat untuk menikmati banjir sebagai mekanisme alam menjalani rutinitasnya.

Banjir juga telah memasuki singgahsana kesadaran di jalan ‘jurnalisme warga’. Dari sejak pertama dicetuskan oleh Kang Pepih Nugraha, hingga kini Kompasiana telah mengalami banjir tulisan. Merujuk Laporan Transparansi Kompasiana 2013, hitungan sepanjang tahun 2013, ditemui rata-rata ada 700 artikel setiap harinya yang ditayangkan oleh Kompasianer, sebutan untuk penulis Kompasiana.

Karena menampung 234.336 artikel dalam berbagai bentuk liputan, maka posisi Admin akan dibuat sedikit repot menangani banjir tulisan di Kompasiana. Belum lagi jumlah komentar yang masuk rata-rata 5.495 komentar per hari. Semakin menambah banjir kata-kata yang ada di setiap artikel reportase, ulasan, catatan ringan, opini, hingga karya fiksi (prosa dan puisi). Banjir tulisan disetiap akun Kompasioner memberi kontribusi banjir bagi Kompasiana. Termasuk halaman depan Kompasiana (HL, FA, TA), akan banjir pembaca.

Alhamdulillah, sudah menunaikan minum kopi susu sore ini, dan (semoga tidak berlebihan) masuk surgalah wahai engkau orang yang pertama mencetuskan “Kompasiana sebagai media warga’. Sekali lagi, sebagai media warga.

Di sana banjir. Di sini membicarakan banjir sebagai tema tulisan. Di sana berjuang mengatasi banjir. Di sini berdebat soal siapa yang patut dipersalahkan. Di sana rame-rame menyingsingkan celana. Di sini membalut tulisan dengan opini yang tak memberi solusi. Banjir di sini telah menjadi ajang unjukrasa, unjuk ide, unjuk lihai dalam memaknai. Hingga sifat tenggang rasa telah menjadi olah rasa, bahkan menjadi olah raga. Mohon maaf, kebencian dan dendam kesumat terhadap komunisme sepanjang abad lalu seolah bermetamorfosis di sini.

Selamat sore kepada aroma pisang goreng yang berasal dari dapur tetangga, mari membina kerukunan antar tetangga di Kompasiana, bagi dooong....

Di saat banjir seperti sekarang ini, maka terkadang seorang penulis bisa terpeleset.Pada lantai-lantai yang licin saat memperbincangkan politik, soal ilmu dan subyektifitas atas analisis. Ruang komunikasi terjalin tulisan berbalas tulisan. Komentar dibalas komentar. Maka dapat dipastikan akan muncul komentar-komentar beragam. Dari yang mendukung, berempati, bercanda hingga mencibir. Dunia kompasiana begitu berwarna. Saking berwarnanya hingga pada titik paling krusial warna itu tidak dapat bersanding di atas panggung ‘jurnalisme warga’.

Jangan berlama-lama main dengan persepsi, lepaskanlah kacamata paradigma dan lihatlah realitas secara sederhana.

Pembacaan atas suatu artikel ibarat melihat tampilan orang berpakaian. Layaknya melihat busana Madonna dan Agnes Monica yang memang sama bagus, tapi bobotnya berbeda. Memilih pakaian dan cara menampilkannya menjadi pilihan rasional bagi penulis. Maka penilaian menjadi sesuatu yang niscaya untuk meningkatkan kesempurnaan kreasi sang penulis.

Sederhana yang sangat Alhamdulillah, ada Mirai_E-nya Kiroro sambil menatap langit senja sore hari yang hampir sempurna.

Kecintaan kita pada siang sudah selayaknya setara dengan kecintaaan pada malam hari. Maka, betapa pun ganasnya siang harus dapat ditampung oleh malam yang damai. Siang dan malam tak perlu dibedakan, cukup kita rasakan. Tapi, watak siang yang lain selalu mencari dan bergerak, tak suka berdiam diri. Walau begitu, kedatangan malam pun selalu tenang menampung gemuruh pendar siang hari. Dengan sabar ia coba menghanyutkan buih-buih, menikmati kesementaraan. Namun, entah sampai kapan.

Terkadang saya perlu menuliskannya. Itu saja.

Profil dan Bacaan Terkait

Menilai Banjir

Saat Banjir Menuai Kritik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun