Terkadang seorang pembaca bisa terpukau. Pada sketsa perjalanan anak manusia. Terkadang pula bisa terpeleset. Pada lantai-lantai yang licin saat memperbincangkan politik, soal ilmu dan subyektifitas atas analisis. Ketika berhadapan dengan hukum dan bukan mempertengkarkan imajinasi dan hanyut dalam perdebatan disamping kusir. Inilah potret keriuhan catatan-catatan Anas diruang pesakitan KPK.
Saya sebenarnya bisa bicara lebih banyak lagi mengomentari narasi soal Anas dan kejatuhan pelaku-pelaku korupsi dalam pemberian liputan yang timpang. Inti kritik saya adalah jangan pernah melupakan bahwa kita sebenarnya kita adakah bagian dari politik masa lalu. Saat ini kita dengan gagahnya menganggap kepopuleran menjadi personal sifatnya. Soal politik dengan latar korupsi yang berlangsung hingga masa sekarang yang dibahas oleh media, adalah kejadian-kejadian yang akarnya sudah merupakan jalinan sejarah. Maka kalau ingin menjawab pertanyaan yang mendasari harapan akan pemerintahan yang bersih dari KKN, kita harus sensitif terhadap perjalanan politik Indonesia. Termasuk masa-masa ketika kekuasaan mampu mengambil kebebasan hak untuk membela diri.
Kebencian dan dendam kesumat terhadap komunisme sepanjang abad lalu seolah bermetamorfosis di kekinian. Komunisme berganti baju menjadi korupsi. Politik dan hukum terkadang berebut tempat untuk menjadi alat penguasa. Pijakan ekonomi tak pernah menemui menjadi solusi. Maka wajarlah kalau masyarakat mengambil keputusan hukum dan politik yang pendek dan sempit. Kalau dulu Orba mampu memanipulasi produk-produk kebudayaan, maka sekarang media ikut berperan menciptakan suasana apa yang terbaik buat masyarakat.
Tak dapat dipungkiri perubahan selalu menimbulkan kegaduhan dan kritik. Manusia ingin berubah, tetapi tidak mau diubah. Ada yang bisa ”melihat”, ada yang ”tak mau” melihatnya. Ada yang mengkritik untuk memperbaiki, tapi banyak yang langsung menolak dan menyatakan tak bernalar, pasti gagal, dan seterusnya.
Saat ini adalah masa di mana semua bergerak dan beropini untuk melucuti Anas yang sesungguhnya KPK tidak butuhkan. Maka, bolehlah saya menuliskan bahwa sebuah jawaban yang sulit berasal dari pertanyaan yang sederhana. " Apa, mengapa, dan untuk apa ? Saya hanya bisa terkesima oleh menjamurnya opini dan komentar tentang Anas secara luar biasa. Juga bagaimana cara mengeksploitasi sekaligus menghakimi begitu banyak kepala, di mana aroma korupsi tampak telah membebankan kutuk pendar pendapat.
Sejak ditetapkannya Anas sebagai tersangka oleh KPK (8/01/2014), saya tahu ada banyak orang yang mendukung keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penahanan Anas Urbaningrum. Mantan Ketua Umum Demokrat itu saat diperiksa sekitar lima jam guna menandai jejak korupsi dalam pembangunan proyek sarana olah raga di Hambalang. Apalagi aroma yang ditandai itu berdasarkan kesaksian mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang mengaku uang hasil dugaan korupsi proyek tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 lalu. Dalam balutan rompi orange, Anas senasip bersama tahanan KPK lainnya.
Saya tahu ada banyak hantaman gelombang pada diri Anas, yang tak dapat ditangkal dan bakal menemani hari-harinya ke depan di Rutan KPK. Bergulung-gulung caki-maki dan menagih isapan lidah di puncak ketinggian Monas akan terus menderanya. Bahkan sejak KPK, menetapkan Anas sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang (22/02/2013) Jum’at silam, buih datang bertubi-tubi. Dugaan penerimaan atau janji berkaitan dengan proses perencanaan pelaksanaan pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, sebagaimana diungkap Juru bicara KPK, Johan Budi saat mengumumkan hal itu di kantor KPK. Dua alat bukti yang cukup inilah Anas ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai mantan anggota DPR 1999-2004.
KPK telah berada di jalur yang benar dalam pemberantasan korupsi. Jerat hukum telah mentasbihkan KPK untuk melucuti pelaku korupsi meski menyentuh lingkar kekuasaan. Namun warna politik begitu kuat menerpa tembok hukum. Kepungan warna itu diserap oleh beragam tingkatan, kebanyakan oleh jiwa-jiwa yang buram dan rindu pada arung dan luap lahar. Anas pun menikmati itu, ia terus saja memancar, menebar dan meletakkan jejak. Bekasnya ada dimana-mana, dan yang paling banyak hinggap pada imajinasi liar para pengamat, pengkaji, ataupun mereka yang selama ini suka menampung warna. Termasuk yang kini ramai diperbincangkan: tulisan-tulisan Anas dari penjara KPK.
Memang, ombak ganas harus ditampung oleh samudra yang damai. Dan Anas menemukan samudra itu. Tapi, watak ombak yang lain selalu mencari dan bergerak, tak suka berdiam diri. Walau begitu, samudra pun selalu tenang menampung gemuruh ombak, dengan sabar ia menghanyutkan buih-buih, menikmati kesementaraan. Namun, entah sampai kapan.
Anas hanya perlu menjawabnya secara hukum. Itu saja.
Profil dan Bacaan Terkait
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H