Dunia Kompasiana Penuh Dengan Cerita dan Orang-Orang yang MenginspirasiEntah mengapa spirit untuk menulis belum juga datang pada diri saya. Spirit dan energi yang saya kumpulkan selalu saja menjebak rasa frustasi. Dalam rotasi waktu, malah jebakan frustasi itu kian menganga. Di dalam waktu yang terjalani dan disesaki arus informasi, Henry Van Dyke datang menyapa, “Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian.”
Saya perlu mengabadikan waktu yang tak ingin saya lewatkan begitu saja untuk mengintip lukisan sore bersama secangkir kopi. Termasuk melibatkan perasaan saya terhadap tulisan Agung Soni (AS) di Kompasiana. Dari situ saya menemukan sore yang bermakna dengan Agung Soni (AS) di sini. Kenapa saya sebut bermakna, karena reportase AS menggugah saya untuk membacanya berulang-ulang. AS membagi kisah pertemuannya dengan sosok yang menginspirasi bagi sebagai besar kompasioner. Termasuk saya. Siapa lagi kalau bukan Bapak Tjiptadinata Effendi (TE). AS menyapanya dengan Opa Tjip.
Saya ikut merasakan dan menyatu dengan tulisan AS. Berikut salah satu penggalang rasa AS, “Hiks… entah mengapa ada rasa haru menyeruak di dada. Saya berpamitan pada beliau dengan mencium tangannya , juga pipi kiri dan kanan beliau sambil menitikkan air mata. Berat rasanya mau berpisah dengan Opa Tjip.” Ya, saya harus baca berkali-kali untuk bisa menuliskan apresiasi yang sepadan dengan kedalaman suasana yang menyelimuti rasa. Rona perjuangan yang panjang dengan sketsa yang teramat pendek.
Dalam derajat tertentu, saya tak perlu meminjam referensi dan bacaan pemerkaya untuk menulis. Karena itu hanya membuat jadi kaku. Dengan membaca tulisan AS paling tidak sudah memperkaya sketsa hidup yang terjalani. Ditambah lagi sosok Bapak Tjiptadinata Effendi yang selalu menginspirasi pembaca Kompasiana lewat tulisan-tulisannya. Kesan AS bersama TE adalah pesan sederhana atas potret perbedaan yang menyatu. Saya malah curiga yang disebut perbedaan justru mengharapkan persamaan. Sementara spirit persamaan yang dituju adalah perbedaan.
Menuliskan gagasan, melibatkan rasa dalam rangkaian kata, atau pun bergumul dalam kebimbangan atas ketidaksiapan kita untuk berubah. Sementara di sisi media, boleh jadi kita terjebak untuk menerima informasi sebagai sesuatu yang terberi. Pendirian yang tangguh akan berhadapan dengan sosok dan karakter media sebagai makhluk tersendiri. Namun selalu saja ada makna yang dapat disingkap untuk merasakan jalinan harmoni bagi kehidupan manusia.
Walhasil, sangat menarik membaca kisah-kisah inspiratif yang mungkin luput dari jelajah pencarian. Mungkin tidak disadari bahwa Kompasiana sudah menjadi ikatan keluarga tersendiri. Membaca setiap tulisan Kompasioner terasa belum sempurna sebelum menjumpai sosok dibalik tulisan. Saya pun memimpikan besok-besok ingin merasakan ada waktu, bukan saja dengan AS dan TE.
Bagaimana pun sosok TE telah menginspirasi saya. Kehadiran AS memberi jalinan rasa untuk sebuah kemewahan waktu. Setiap kesan yang manis pantas untuk diceritakan pada orang lain. Agar kenangan itu bisa langggeng, maka menuliskannya akan menarik sebagai karya kemanusiaan. Paling tidak kesan yang manis itu bisa memberi pesan, minimal menginspirasi bagi orang lain yang membacanya. Manusia tidak akan pernah sempurna karena dunia selalu berubah. Ikut merasakan dan menuliskannya adalah cara saya untuk menyempurna.
Salam jabat hati
WJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H