Mohon tunggu...
Wahyu Cipto Utomo
Wahyu Cipto Utomo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis amatir

Pemerhati Pertanian dan Lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perempuan Tani yang Termarjinalkan

22 April 2021   15:00 Diperbarui: 22 April 2021   15:23 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani perempuan atau perempuan tani merupakan salah satu sumber daya manusia yang penting di sektor pertanian. Perempuan tani selain sebagai petani penggarap juga menjadi pekerja pertanian atau buruh tani perempuan. Menurut data BPS jumlah petani perempuan di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 8 juta orang. Jumlah tersebut sekitar 24% dari keseluruhan jumlah petani yaitu 33,48 juta orang.

Petani bagi perempuan tani menjadi profesi utama untuk menopang hidup. Sebanyak 2,8 juta perempuan tani adalah sekaligus kepala keluarga rumah tangga petani. Sehingga di dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari berasal dari hasil pertanian miliknya maupun menjadi buruh petani di lahan milik orang lain.

Untuk mengukur perekonomian petani dapat diukur dengan indikator nilai tukar petani (NTP). Nilai tukar petani adalah pengukur kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang/jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian. Berdasarkan data BPS, tahun 2019 nilai tukar petani sebesar 103,21. Artinya ada kenaikan sebesar 3,21% harga yang diterima petani. Meskipun ada peningkatan harga yang diterima akan tetapi peningkatan 3,21% ini sangat kecil, sehingga jika dialokasikan untuk tabungan atau investasi masih tergolong kecil.

Bagi perempuan tani yang menjadi buruh tani, mereka hanya membawa pulang penghasilan rata-rata sebesar Rp. 60 ribu/hari. Penghasilan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan UMR atau upah minimum kabupaten/kota di daerah. Penghasilan tersebut tidak selalu bisa diterima setiap hari oleh buruh tani, karena kebutuhan pekerja di sektor pertanian adalah musiman dan tidak selalu ada setiap hari. Buruh tani perempuan dibutuhkan sebagai pekerja untuk menanam, memanen dan pembersihan gulma. Sehingga pekerjaan yang tersedia terbatas. Tidak heran jika banyak petani atau buruh tani adalah termasuk keluarga miskin atau termarjinalkan tingkat kesejahteraannya.

Harga hasil produksi adalah salah satu kunci utama dalam kesejahteraan petani dan buruh tani. Seperti bulan lalu harga gabah kering produksi (GKP) anjlok hingga Rp. 3.500/kg, menurun jauh dari biasanya diatas Rp. 4.500/kg. Sementara Permendag 24 tahun 2020 harga untuk penyerapan produksi oleh pemerintah melalui Bulog yakni harga GKP Rp 4.200/kg dan GKG Rp 5.250/kg. Anjloknya harga tersebut dipicu oleh rencana wacana impor dan kondisi beberapa daerah yang mengalami bencana banjir sehingga kualitas mutu menurun.

Harga komoditas pertanian yang menurun tersebut juga berdampak pada pendapatan perempuan tani. Bagi mereka yang menjadi kepala keluarga tentu sangat kecewa dan sedih karena harga yang rendah dan hanya menutup untuk biaya produksi sehingga laba yang didapat sangat kecil. Terlebih lagi bagi rumah tangga petani yang kepala keluarganya adalah perempuan, pasti membutuhkan tenaga kerja petani laki-laki sehingga ongkos produksi yang dikeluarkan lebih besar lagi.

Ini adalah preseden buruk bagi pertanian di Indonesia. Dimana wacana impor di tengah panen raya telah memukul telak petani terlebih pada perempuan tani.

Seperti yang kita ketahui bahwa perempuan tani di Indonesia mayoritas adalah usia diatas 45 tahun. Sekitar 65,9% perempuan tani adalah berada pada usia 45 tahun ke atas. Dominasi umur paruh baya yang sangat luar biasa dan memiliki efek domino bagi perkembangan sektor pertanian.

Dengan perempuan tani yang begitu banyak didominasi oleh “orang tua” berpengaruh pada tingkat produktivitas, kreasi dan inovasi pertanian yang tidak begitu menggembirakan. Sumber daya manusia dengan usia sepuh atau terlalu tua akan mengalami kesulitan menyesuaikan perkembangan pertanian yang terkini. Tingkat akselerasi mengadopsi teknologi akan terhambat dan cenderung akan lebih konservatif secara tradisional seperti tradisi yang biasanya dilakukan.

Sumber daya manusia perempuan tani juga memerlukan pendidikan yang memadai. Data BPS menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani perempuan sebesar 31,8% tidak/belum tamat SD, berpendidikan SD sebesar 41,7%, mengenyam sekolah menengah 24% dan lulusan perguruan tinggi sebanyak 175.322 orang atau 2% saja. Perempuan tani juga diharapkan berintelektual tinggi untuk mengembangkan sektor pertanian dengan berbagai komoditas. Sehingga komoditas yang ditanam tidak hanya padi dan ketika ada harga anjlok bisa mendapatkan penghasilan dari komoditas lain yang relative prospek harganya bagus.

Harapan untuk perempuan tani Indonesia adalah mari kembangkan pertanian dan mendorong perempuan tani menjadi bagian garda depan sektor pertanian guna mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan nasional. Perempuan tani adalah Kartini sektor pertanian masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun