Indeks ketahanan pangan selalu menjadi sorotan nasional bahkan internasional untuk mengukur tentang ketahanan dan kerawanan pangan di suatu wilayah. Terdapat aspek untuk mengukur ketahanan pangan yakni aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan, dan aspek pemanfaatan pangan. Dari ketiga aspek tersebut setidaknya terdapat 9 indikator dengan bobot masing-masing yang berbeda.Â
Menariknya dari hasil IKP tahun 2019 menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki indeks lebih baik daripada di daerah kabupaten. Padahal dilihat dari ketersediaan pangan di perkotaan sangat minim areal pertanian dan sebagian besar mendapat suplai bahan pangan di daerah sekitar. Aspek akses dan pemanfaatan pangan menjadi besar karena faktor tingkat kesejahteraan penduduk yang tinggi.
Ketimpangan IKP di daerah perkotaan dan kabupaten tertinggal tentu menjadi PR tersendiri bagi pemerintah setempat. Aspek ketersediaan pangan yang tinggi namun memiliki IKP yang rendah tentu menjadi persoalan besar. Bagaimana mungkin daerah mempunyai pangan yang surplus namun bisa dikatakan ketahanan pangannya rendah.Â
Pengkategorian sejumlah komoditas serealia yang dijadikan sebagai indikator perlu diperluas seperti komoditas sagu, talas, kentang dan sejenisnya yang tidak termasuk dalam indikator, harus dimasukkan agar penghitungan IKP bisa menggambarkan yang sesungguhnya terjadi di daerah tersebut sehingga kebijakan pembangunan yang diambil sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Selain itu, indikator persentase rumah tangga tanpa listrik tidak selalu menggambarkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses listrik rentan rawan pangan, melainkan ada juga justru pada daerah pelosok tidak memiliki akses listrik namun ketersediaan pangan melimpah atau bahkan sebaliknya rumah tangga memiliki akses listrik namun tidak memiliki ketersediaan dan akses pangan yang memadai sehingga rentan rawan pangan.
Nilai IKP tinggi tidak menjamin negara dalam kondisi baik-baik saja. Negara Singapura memiliki IKP tertinggi dunia namun apabila terjadi suatu krisis akan menyebabkan IKP secara tiba-tiba harus berbanding terbalik 180 derajat menjadi rawan. Hal tersebut dikarenakan adanya krisis, baik disebabkan krisis ekonomi, politik dan bencana. Krisis ekonomi (fiskal atau moneter) akan menyebabkan nilai uang menjadi rendah sehingga harga pangan akan meningkat drastis (inflasi). Sementara krisis politik menyebabkan kondisi keamanan dan ketertiban menjadi tidak terkendali sehingga turut mempengaruhi kondisi perekonomian dan ketersediaan pangan itu sendiri. Sedangkan krisis akibat bencana mampu merusak areal pertanian, terputusnya rantai suplai pangan dan rusaknya objek vital jalan, Bandar udara sehingga dermaga sehingga ketersediaan pangan akan menurun.
Ketersediaan pangan menjadi hal yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Pemangku kebijakan harus memandang penting terhadap ketersediaan pangan terutama kemandirian pangan dari daerah masing-masing agar tidak terjadi ketergantungan dan kelangkaan pangan.Â
Pemetaan dan akurasi data tentang pangan mendesak dilakukan untuk melakukan pemetaan secara realtime sentra produksi pangan dengan memanfaatkan teknologi yang mutakhir untuk mendapatkan data yang akurat dalam rangka memastikan ketersediaan pangan dan menentukan kebijakan yang perlu dilakukan negara. Pemerintah tidak boleh berpuas diri dan lengah atas capaian IKP yang meningkat, melainkan harus terus mengevaluasi agar tercapai ketahanan dan kemandirian pangan guna menegakkan kedaulatan pangan dan kedaulatan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H